Senin, 13 Desember 2010

PKL Pekaroso Temui Ketua Dewan


Karangasem (Solo) - Paguyuban PKL Jl Ronggowarsito atau yang sekarang dikenal dengan nama PKL Pekaroso, siang tadi (13/12) menemui ketua DPRD Kota Solo, YF Sukasno, di rumah dinasnya untuk meminta masukan konsep shelter yang akan dibangun untuk menampung PKL di Jl Ronggowarsito yang terpaksa pindah karena proyek tamanisasi pemkot.

Dalam pertemuan tersebut, dimunculkan sebuah gagasan untuk menggandeng pihak di luar pemkot (sponsor swasta) dalam pembuatan shelter, dengan konsep tersebut dimaksudkan agar bisa meminimalisir anggaran dari APBD, sekaligus untuk mendorong tingkat partisipasi mereka (swasta).

foto-foto (doc. pribadi)

Gb. 2 Ketua DPRD Solo (Sukasno)


Gb. 3 Perwakilan dari PKL Pekaroso, Dodik,
saat memberikan keterangan kepada media

Rabu, 08 Desember 2010

Buka Dulu Topengmu!


Diskusi sore, mulai dari Solo yang penuh dengan topeng sampai rencana 'spy' ala 'dukun'. Banyak yang mengeluh tentang gaya kepemimpinan AD 1 di periode kedua ia memimpin, yang dirasakan sangat berbeda dengan awal ia menjabat sebagai Walikota. Harapan masyarakat yang sempat naik, kini mulai surut. Banyak program yang menjadi ikon pencitraan keberhasilan beliau, seperti penataan PKL, mendorong partisipasi masyarakat dsb hanya menjadi sebatas formalitas dan semu. Ibarat topeng yang banyak terpampang di beberapa sudut kota, wajah yang bopeng tertutup oleh topeng, atau dengan kata lain kebobrokan birokrasi tertutup oleh pencitraan semu.

.......... Tanpa penutup

Selasa, 07 Desember 2010

Garuda 2 - Gajah 1



Dramatis! itulah gambaran pertandingan Piala AFF, Indonesia vs Thailand, selasa malam (7/12) yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Kemenangan 2-1 diraih setelah tertinggal terlebih dahulu oleh gol indah pemain Thailand. Bambang Pamungkas menjadi pahlawan dengan dua golnya dari titik penalti, mengantarkan tim Indonesia memuncaki grup A dengan poin sempurna, sekaligus menyingkirkan rival abadi, Thailand. Dua gol tersebut menjadi gol 'penting' untuk dia, setelah pada dua pertandingan terakhir melawan Malaysia (5-1) dan Laos (6-0), namanya sempat tenggelam dengan munculnya bintang-bintang baru seperti Irfan Bachdim, Oktovianus dll.

Euforia kemenangan masih terus berlanjut sampai pagi... mulai dari berita, acara gosip, (dan mungkin) hingga obrolan antar teman di sekolah, kantor; semua ramai membicarakan keberhasilan ini.



Namun perjuangan belum selesai, terus melaju Garudaku!!!

Kamis, 02 Desember 2010

Korupsi dan Keterbukaan Informasi

Beberapa waktu yang lalu, sebuah lembaga transparansi mengeluarkan sebuah hasil riset Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada 50 kota di 33 provinsi. Dua kota dari Jawa Tengah, diantaranya Tegal dan Solo menduduki peringkat tiga teratas di bawah Kota Denpasar, Bali, yang dinilai sebagai kota di Indonesia yang paling bersih dari kasus-kasus korupsi. Denpasar meraih skor 6,71 dari rentang indeks antara 0 (nol) sampai dengan 10, di mana 0 (nol) dipersepsikan sangat korup dan 10 sangat bersih.

Khusus bagi Kota Solo, hal ini menjadi sebuah keberhasilan tersendiri bagi Pemkot, khususnya kepada Walikota Joko Widodo yang memang sejak awal terpilih memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi di Kota Solo. Namun, apakah keberhasilan di level pimpinan ini juga diimbangi di tingkatan level birokrat (pegawai pemkot), masih menjadi pertanyaan tersendiri bagi kita bila kita pandang dari perspektif keterbukaan informasi. Keterbukaan informasi ini menjadi penting, bila kita kaitkan dengan salah satu asas keterbukaan dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana sebuah daerah bisa disebut sebagai daerah yang bersih dari korupsi, kalau belum bisa memenuhi unsur keterbukaan ini?

Sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pada Pasal 7 ayat 1: bahwa setiap Badan Publik (BP) wajib menyediakan, memberikan dan atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. Serta pada ayat 2 yang berbunyi: Badan Publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.

Melalui ketentuan ini, setiap BP dari level pusat sampai daerah, termasuk yang ada di dalamnya adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) wajib memberikan informasi yang bersifat terbuka kepada publik, baik ketika diminta ataupun tidak. Keterbukaan informasi inilah yang kemudian bisa dijadikan parameter tersendiri bagi publik untuk bisa menilai apakah daerah mereka termasuk bersih dari korupsi atau tidak.

Fakta yang ada, menunjukkan bahwa banyak BP yang belum siap atau bahkan belum merespon UU KIP ini. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Seknas FITRA, dalam temuan uji akses dalam informasi anggaran di level pemerintah pusat, hanya 13 lembaga dari 69 lembaga yang memberikan respon (FITRA, 2010). Kondisi ini ternyata juga tidak jauh berbeda dialami di daerah, sebagai contoh di Kota Surakarta, baru 8 SKPD yang memberikan respon atas uji permintaan informasi yang dilakukan oleh Diskominfo Kota Surakarta.

Menjadi ironi, ketika komitmen penegakan pemberantasan korupsi dicanangkan tinggi di level pimpinan, namun ternyata pada tahap implementasi teknis ternyata belum bisa didukung sepenuhnya oleh segenap level pendukung di bawahnya melalui keterbukaan informasi kepada publik.

Bersih dari Korupsi

Untuk membentuk sebuah pemerintahan yang baik (good governance) dan bersih dari korupsi, tentu perlu didukung sinergitas ataupun kesatuan gerak dan dukungan dari semua pihak, baik dari pemerintah sendiri maupun masyarakat. Terkait dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ini, tiap-tiap pemerintah daerah semestinya sudah mengimplementasikannya sampai ke level paling bawah. Langkah yang secepatnya dilakukan oleh Pemkot adalah, pertama, Pemkot mesti segera memberikan pemahaman kepada segenap aparat birokrasi, entah dengan sosialisasi ataupun pelatihan bagaimana mewujudkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ini di tingkat daerah, agar kemudian tidak terjadi lagi ada petugas dari dinas terkait yang dimintai informasi yang bersifat terbuka oleh publik, kemudian menolak memberikan dengan alasan tidak mau membocorkan rahasia negara. Artinya, perlu diberikan pemahaman juga mana informasi yang harus dipublikasikan dan informasi yang bisa dikecualikan. Hal ini memang akan membutuhkan proses, mengingat paradigma di sebagian kalangan birokrat kita yang masih tertutup, apalagi bila dimintai informasi masalah anggaran.

Kedua, harus ada kejelasan mekanisme pengelolaan informasi baik di level Sekda, SKPD, sampai pada level Unit Pelayanan Terpadu (UPT). Hal ini menyangkut efisiensi pengelolaan informasi, dan akan lebih baik jika informasi yang bersifat umum dikelola melalui satu pintu. Kemudian di pelayanan terhadap permohonan informasi juga harus ada mekanisme yang jelas, kepada petugas bagian apa, ketika ada publik yang hendak meminta informasi atau data. Karena seringkali, peminta informasi merasa diping-pong oleh petugas ketika hendak menanyakan sebuah informasi. Hal ini bisa jadi disebabkan karena belum jelasnya mekanisme pelayanan tadi.

Ketiga, perlu segera dibentuk Pusat Pengelola Informasi Daerah (PPID) agar jelas struktur pelaksanaan akses informasi. Namun, pada intinya pelaksanaan akses informasi tidak memerlukan struktur baru, tetapi mengoptimalkan kinerja struktur yang telah ada. Keempat, untuk menghindari adanya sengketa informasi publik, tiap SKPD terkait yang dimintai informasi oleh publik, mesti segera memberikan respon. Mengingat ancaman sanksi denda lima juta rupiah dan atau kurungan satu tahun bagi yang tidak menaati Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ini, semisal menolak memberikan informasi kepada publik

Keempat hal tadi merupakan langkah awal yang seharusnya sudah dilakukan Pemkot sejak lama, mengingat UU KIP ini sebetulnya sudah disahkan sejak dua tahun yang lalu. Masyarakat jualah yang seharusnya ikut berpartisipasi mendorong terwujudnya UU KIP ini. Karena dari keterbukaan ini, akan banyak menguntungkan masyarakat sendiri, untuk bisa lebih berpartisipasi dalam penegakan pemberantasan korupsi dan kontrol terhadap kinerja pemerintah.

Dengan terwujudnya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di segenap aspek Badan Publik di Kota Surakarta ini diharapkan akan semakin memperkuat persepsi dari kota ini, sebagai salah satu kota yang bersih dari korupsi. Serta bisa mewujudkan slogan Kota Solo “Berseri Tanpa Korupsi” dengan sebenar-benarnya.

* Penulis adalah mahasiswa FE UNS/ aktivis PMII Solo

(Dimuat di Harian Joglosemar, 29 Nov 2010)

Jumat, 26 November 2010

PKL Ronggowarsito Batal Direlokasi



"Perjuangan kami ternyata tidak sia-sia, sedikit membuahkan hasil...". ok lanjutkan!!!
Harian Joglosemar-
TIMURAN—Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di Jalan Ronggowarsito batal direlokasi. Keputusan tersebut diungkapkan Kepala Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) Kota Solo, Subagiyo setelah melakukan rapat koordinasi dengan perwakilan Paguyuban PKL Ronggowarsito, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) serta Dinas Perhubungan pada hari Rabu (24/11) di Kantor DPP lalu.
Subagiyo mengungkapkan, bila trotoar, taman, atau pun jalur hijau tidak diperuntukkan untuk berdagang. Tetapi, lanjut dia, para pedagang mengajukan konsep untuk mengelompokkan tempat dagangan yang jauh ramah lingkungan.
“Beberapa pedagang yang mewakili paguyuban memiliki usul konsep, untuk penataan PKL sehingga mereka masih dapat diberi kesempatan untuk berjualan di sana,” ungkap Subagiyo kepada Joglosemar, Kamis (25/11).
Pedagang Kuliner
Nantinya para pedagang mengusulkan untuk ditempatkan di pinggiran tembok Taman Putra yang tidak mengganggu akses jalan Ronggowarsito dan juga akses keluar masuknya kendaraan di Taman Putra.
Sehingga PKL ditempatkan di sisi utara Jalan Ronggowarsito. Selain itu, pada pertemuan tersebut, pedagang meminta supaya Pemerintah Kota dapat membuatkan shelter yang telah dikonsepkan.
“Kita menunggu konsep dari para pedagang terlebih dahulu, setelah konsep kita terima baru usulan konsep tersebut kita ajukan kepada Walikota. Dan yang terpenting proyek tamanisasi dari DKP tetap berjalan,” sambung Subagiyo.
Dia menambahkan, shelter pedagang hanya diperuntukkan bagi pedagang kuliner dan kelontong. Sehingga bagi pedagang nonkuliner maupun nonkelontong, seperti pedagang pakaian, bengkel, servis, mebel harus dipangkas ataupun dipindahkan.
Sementara itu, Ketua Paguyuban PKL Ronggowarsito, Suyadi mengungkapkan, senang dengan keputusan Pemkot yang tidak jadi menggusur para PKL yang ada di Jalan Ronggowarsito.
“Kita telah mengukur lahan yang akan digunakan untuk tempat menampung para pedagang yakni sepanjang 75 meter. Nantinya lahan tersebut dapat menampung sekitar 30 pedagang yang masuk ke dalam paguyuban,” terang Suyadi. (har)

*foto: sumber SUARAMERDEKA

Beribu Jalan ke Makkah-Bukan Kisah TKW Loh Yo (Part 2)

"batik-batik....batiknya pak, bu...” teriak para pedagang saat ada calon pembeli yang lewat.

Lalu-lalang para kuli membawa masuk barang dari luar Pasar. Suasana di luar pun tak kalah ramai, jalan yang searah ke barat dipadati mobil, motor, becak, dan para pejalan kaki yang saling ingin mendahului satu sama-lain. Di pangkalan becak, Pak Andi bersama teman-temannya, menunggu datangnya penumpang, ada pula sebagian dari mereka yang masih tertidur pulas di becaknya.

Khusus setiap hari jumat, Pak Andi biasanya hanya menarik sampai jam 11, kemudian dilanjut lagi setelah Jum’atan.

”Becak, pak?” tanyanya kepada seorang bapak yang sedang lewat di depannya.

”Oh, iya,” tanpa banyak bicara, bapak yang berpakaian santai ini naik ke atas becak.

Anu, saya mau jalan-jalan saja pak, nanti tolong saya diantarkan saja ke tempat-tempat bersejarah, di kota ini” lanjutnya

Pak Andi langsung bergegas menarik becaknya, tempat yang pertama dituju daerah Sriwedari, sebentar mampir ke Museum Radya Pustaka. Setelah puas, kembali lagi menuju ke Kraton Solo. Selesai di sana, Pak Joko, mengajak lagi ke Mangkunegaran.

”Sekarang sampun jam 11 lebih pak, saya mesti pulang” kata pak Andi

”loh, kan belum selesai muter-muter-nya?”

Anu pak, kalau hari jum’at saya biasanya narik sampai jam 11 saja, mau siap-siap jum’atan, tapi kalau bapak mau nanti setelah jum’atan saya antar lagi, pripun?”

”Ya sudahlah, nanti saya bisa naik taxi saja, ongkosnya berapa pak?”

Mpun mboten usah, gratis mawon”

”Loh, kok gratis itu maksudnya bagaimana? wong, bapak sudah mengantarkan saya jalan-jalan sampai sejauh itu kok?”

”Sudahlah pak, khusus hari jum’at saya memang biasa menggratiskan becak saya, tanpa terkecuali”

”Jadi bagaimana saya mesti membayar?”, “andaikata saya membayar lebih pun saya mampu kok pak? Tegas pak Joko

Di tengah perdebatan itu, terdengar adzan berkumandang.

Nggih mpun, kita lanjutkan nanti. Sekarang kita shalat jum’at dulu”

Keduanya kemudian menuju masjid terdekat. Pak Joko masih belum habis pikir, kenapa Pak Andi tetap menolak untuk diberi upah narik becaknya. Sementara Pak Andi, santai saja mendengarkan khutbah. Selesai shalat, keduanya bertemu lagi.

”Kalau bapak tetap menolak untuk dibayar, ya sudah. Tapi saya juga punya permintaan untuk bapak, sekiranya saya bisa membantu kira-kira keinginan bapak yang belum terwujud selama ini apa?”, ”siapa tahu saya bisa membantu,” ujar Pak Joko

””itu juga sebagai balasan dari saya atas kebaikan bapak hari ini. Terus terang hati saya terketuk, melihat bapak yang, mohon maaf, tukang becak saja bisa bebuat amal untuk orang lain. Nah, saya juga ingin seperti bapak, memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain” lanjutnya.

”Kalau itu, saya sejak dulu ingin sekali menunaikan kewajiban saya sebagai seorang muslim, yakni berangkat haji, tapi bapak tahu sendiri, saya ini hanya seorang tukang becak, yang penghasilannya untuk makan sehari-hari saja terkadang masih kurang,”.

”Baik, kalau itu yang menjadi keinginan bapak, tahun depan bapak mesti segera menyiapkan diri untuk mendaftar haji, masalah biaya, saya yang menanggung,”.

Pucuk dicita ulampun tiba. Masih dalam keadaan setengah tak percaya, Pak Andi bertanya lagi,

”Betul, pak”

”Iya” jawab Pak Joko

”Alhamdulillah...” tersungkur lemas badannya, sujud syukur atas apa yang dilimpahkan untuknya. Pertolongan dari Tuhan, bagi hamba-Nya yang ikhlas dalam niat dan perbuatan.



Sodipan, 2010

Beribu Jalan ke Makkah-Bukan Kisah TKW Loh Yo (Part1)

Hari sudah semakin sore, namun uang yang dikantonginya baru Rp. 14.000. Pak Andi yang sudah menarik becak sedari pagi, memutuskan untuk segera pulang.

”lumayan, cukup untuk jatah makan malam,” ucapnya lirih, sembari mengayuh becaknya melewati perempatan jalan.

Baru beberapa meter ia berjalan, berseru kumandang adzan maghrib dari masjid Agung, tapi tetap tak menyurutkan laju becaknya untuk pulang ke rumah.

Dari dalam rumah, terdengar suara kedua anaknya, Tini dan Ahmad, sedang mengaji bersama Tuminah, istrinya. Sambil menidurkan Dani, anaknya yang masih bayi, Tuminah mengajari anaknya membaca huruf hijaiyah.

”alif fathah a, alif kasroh u,” Tini membacanya dengan keras

”Coba ulangi lagi ndhuk, alif kasroh?” tanya Tuminah mencoba membetulkan bacaan anaknya.

”U, eh I” jawab Tini, sambil menudingkan seutas lidi ke arah tulisan yang sedang dibacanya.

Pak Andi masuk mengucapkan salam, dan langsung bergegas ke belakang. Istri dan anak-anaknya biasa berkumpul bersama setiap waktu setelah senja. Tak ada hiburan televisi atau radio di rumahnya. Istrinya meskipun tak pernah tamat SMP, tapi pernah nyantri lima tahun di salah satu pondok pesantren di daerah Jawa Timur. Makanya, ia sendiri yang mengajari anaknya belajar mengaji, ditambah dengan kondisi ketidakmampuan untuk memasukkan anaknya ke TPA.

”Ini Rp. 14.000 bu, yang Rp. 12.000 silahkan kamu pakai untuk kebutuhan besok, sisanya Rp. 2000, seperti biasa, disimpan untuk tabungan haji kita” Kata Pak Andi

Nggih, pak”

Sejak tahun ketiga menikah, Pak Andi memiliki sebuah tekad yang kuat untuk bisa berangkat haji. Niatan yang sungguh tak masuk akal bagi orang awam, melihat pekerjaan Pak Andi yang hanya seorang tukang becak, dan istrinya, buruh cuci pakaian. Namun tidak bagi keduanya, mereka meyakini bahwa segala sesuatu apalagi yang menyangkut kewajiban, harus dilaksanakan, dan tidak hanya sebatas angan-angan ataupun niat belaka, tapi harus ditunjukkan dengan tindakan yang nyata, ya mengumpulkan uang Rp.2000 per harinya.

Penting niate sing ikhlas bu,” pesannya sebelum keduanya tertidur.

***

Senin, 15 November 2010

Lapak Pedagang Jalan Ronggowarsito Dipangkas

BANJARSARI (Harian Joglosemar)—Sekitar 7 Pedagang Kaki Lima (PKL) Jalan Ronggowarsito memangkas separuh lapak mereka. Hal itu dilakukan setelah mereka mendapatkan peringatan sebanyak lima kali.
Mereka diperingatkan untuk memindahkan lapak mereka dari atas selokan yang seharusnya dibuka. “Tidak ada jalan lain, terpaksa lapak dipotong menjadi setengahnya,” kata salah seorang PKL, Mulyono kepada Joglosemar Minggu (14/11).
Dikatakan, sebelumnya mereka memiliki lapak yang cukup luas untuk berjualan sekitar 4 x 2 meter. Namun karena diperingatkan untuk mengosongkan lahan di atas selokan, terpaksa mereka memangkas lapak yang berada di atas selokan. Sehingga lapak mereka kini hanya tinggal, 2 x 2 meter.
“Yang separuhnya sebelumnya di atas selokan. Jadi harus dibongkar. Kata petugas selokan akan kembali difungsikan, jadi kami harus pindah,” ungkap dia.
Dia menjelaskan, sebenarnya luasan itu sangat sempit untuk berjualan. Namun mereka tidak memiliki pilihan lain. Supaya masih diperbolehkan berjualan di kawasan itu, terpaksa mereka memangkas lapak mereka. “Kami ini hanya numpang berjualan, mau tidak mau yang harus mengikuti peraturannya,” terang dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh PKL lainnya, Ny Rujak. Menurutnya, kalau mau pindah dia tidak memiliki alternatif tempat lain untuk berjualan. “Daripada pindah, mendingan lapak dikecilkan. Kalau mau pindah ya ke mana?” ungkap dia.
Ia menuturkan, Pemkot Solo sudah memasang patok batas dimana PKL boleh mendirikan lapaknya. Sehingga lapak yang menjorok dari tanda batas yang ditentukan harus segera dibongkar atau dimundurkan.
“Petugas sebenarnya sudah lama memasang patok, pendirian lapak tidak boleh melebihi dari batas yang sudah ditentukan itu,” ujar dia.
Padahal, ia menambahkan, jika dimundurkan, di belakang lapak semipermanen itu, sudah masuk ke lahan pekarangan milik orang lain. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali harus memotong lapak. “Kalau lapak dimundurkan, akan mengenai pekarangan orang, ya terpaksa dipotong,” terang dia. (sul)

Minggu, 14 November 2010

Membangun Jiwa, bukan sekedar membangun Keindahan


Angkringan, Wedhangan, HIK atau apalah namanya tidak hanya menjadi sekedar tempat kuliner untuk mengenyangkan perut, lebih dari itu tempat-tempat ini memiliki makna tersendiri ibagi para pembelinya yang mayoritas dari kalangan menengah ke bawah.

Berbagai macam individu yang berkumpul duduk di bangku panjang mengelilingi sebuah gerobak yang berisikan aneka 'jajanan pasar', hadir dengan berbagai kepentingan. Dari yang sekedar duduk untuk nongkrong karena tak ada pekerjaan, atau memang berniat cari menu makan yang 'murah tapi kenyang', ada pula yang datang ke sana hanya untuk mencari teman diskusi/memang menjadi ruang diskusi, mulai seputar topik sehari-hari sampai kritik kebijakan ekonomi-politik, bahkan setting aksi demonstrasi pun sering dilakukan di sini.

Bagi beberapa pembeli, tempat-tempat ini juga menjadi semacam ruang katarsis (penyucian diri yg membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan). Mereka mengaku menemukan pelepasan 'rasa sumpek', setelah menjalani penatnya aktivitas keseharian, di tempat ini. Ada pula cerita seorang bapak yang sengaja datang ke sebuah angkringan joss yang terkenal kopinya, namun ternyata bukan karena kopi di tempat tersebut rasanya lebih nikmat dari buatan istrinya, melainkan karena memang di situlah ia bisa menemukan kawan-kawan 'diskusi', 'bermain', dsb.

Jadi, sangat disayangkan kalau kemudian pemerintah kota/kab, dengan kebijakannya kemudian menggusur ruang-ruang ini, hanya karena tolak ukur hitungan rupiah, dan menggantinya dengan pembangunan mal, gedung, taman, dsb. Karena dampaknya tidak hanya sekedar rupiah yang hilang, tapi juga ruang katarsis, ruang rakyat yang ada juga akan ikut lenyap. Alangkah baiknya jika antara keduanya bisa disandingkan, kebutuhan pembangunan atau kebijakan memperindah kota akan lebih terasa indah, kalau mereka juga bisa turut merasakan pembangunan dan keindahan tersebut. (dirangkum dari sebuah diskusi singkat di sebuah angkringan).

http://mysukmana.wordpress.com/2008/06/20/sejarah-angkringan-jogja-hiksolo/

Jumat, 12 November 2010

PKL Jl Ronggowarsito Demo Ke Dewan


Kurang lebih 50 orang PKL Jl Ronggowarsito datang ke Gedung DPRD Solo, Jumat (12/11) dan diterima oleh Ketua DPRD, YF Sukasno. Kedatangan mereka bertujuan untuk mempertanyakan 'kejelasan nasib' mereka, setelah menemui jalan buntu dengan pihak Pemkot, yakni tidak ada kesepakatan yang pasti apakah jadi direlokasi atau tidak.

Ketua Paguyuban PKL Ronggowarsito, Suyadi, mengatakan secara tegas bahwa mereka menolak untuk direlokasi, tetapi mau ditata. Ia juga menyampaikan usul dari sejumlah pedagang kepada Ketua DPRD, tentang pembuatan shelter di beberapa titik Jl Ronggowarsito untuk tempat berjualan. Usul tersebut dumaksudkan untuk menengahi kebijakan tamanisasi yang akan dilakukan oleh Pemkot, yang harus dilaksanakan pada akhir Desember nanti, dengan keinginan para PKL sendiri, yakni tetap bertahan berjualan disitu.

Sementara itu, Ketua DPRD, menyambut baik usulan tersebut dan akan segera menindaklanjuti permasalahan tersebut.

Selasa, 09 November 2010

PKL Jl Ronggowarsito Menolak Relokasi

Aksi penolakan Relokasi PKL Jl Ronggowarsito, Solo, rupanya tidak main-main. Mereka menggelar spanduk penolakan di depan tempat mereka berjualan setiap hari. Aksi ini serentak dilakukan oleh para pedagang, setelah audiensi dengan Pemkot, Selasa (9/11) tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan awal antara PKL dan Pemkot, yakni tidak adanya relokasi PKL di Jl Ronggowarsito.

Rencananya, PKL Jl Ronggowarsito, akan mengadukan kasus ini ke anggota dewan agar memperoleh kepastian izin untuk berjualan.



Foto: (dok. pribadi)

Jumat, 05 November 2010

PKL Belakang Kampus UNS Direlokasi


KIOS PKL — Kios pedagang kaki lima yang terletak di Jalan Ki Hajar Dewantara, Jebres, Solo, Rabu (4/11). Rencananya pedagang tersebut akan dipindah di kios PKL belakang Kantor Kecamatan Jebres menyusul selesainya pembangunan tahap II.
(espos)

Selasa, 02 November 2010

Partisipasi warga dalam pengelolaan APBD

Pembahasan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Solo tahun 2010-2015, yang sudah diserahkan ke DPRD, masih menyisakan beberapa masalah.

Beberapa hari menjelang dilaksanakannya pembahasan RPJMD tersebut, muncul pemberitaan tentang rendahnya tingkat penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Solo, yang baru terserap 33 persen dari total APBD 2010 hingga triwulan ketiga (SOLOPOS, 24/10).

Indikasi yang pertama dari penyebab rendahnya penyerapan APBD ini adalah rendahnya kinerja pengelolaan pembangunan dan administrasi keuangan. Bahkan Sekda sendiri mengakui hal ini. Rendahnya serapan kegiatan yang bersumber dari APBD Solo, dikemukakan Sekda, terjadi pada hampir semua pelaksanaan program Pemkot dan kegiatan pembangunan.

Pemkot memang perlu mengambil langkah untuk mendorong percepatan penyerapan APBD agar segera terserap habis. Dalam waktu yang masih tersisa, yakni dua bulan (November-Desember), Pemkot mesti segera melakukan percepatan penyerapan APBD yang harus tepat sasaran, tepat mutu dan tepat guna.

Namun bukan itu saja yang harus kita cermati. Apakah dalam waktu yang cukup singkat tersebut ada jaminan partisipasi masyarakat dapat berjalan optimal dalam pelaksanaan APBD tersebut. Jadi, penyerapan (menghabiskan) APBD itu persoalan yang “mudah”, tetapi bagaimana Pemkot juga tidak melupakan partisipasi masyarakat di dalamnya.

Perlu ditegaskan kembali dalam UU No 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, proses tahapan pembangunan yang dimulai dari penyusunan, penetapan, pengendalian pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan perencanaan yang semestinya tetap menyertakan peran serta partisipasi masyarakat di dalamnya.

Refleksi dari proses Musrenbang yang lalu, idealnya stimulus yang telah diberikan Pemkot melalui dana blockgrant atau Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) yang terus naik, berkorelasi positif terhadap tingginya tingkat partisipasi masyarakat.

Namun kenyataannya, berdasarkan data yang dilansir oleh Lampu (2009), tingginya dana stimulan DPK ternyata belum signifikan untuk membangkitkan kembali partisipasi dan keswadayaan masyarakat. Pun dalam permasalahan penyerapan APBD kali ini, apakah masyarakat juga bisa dilibatkan dalam pengendalian pelaksanaan yang waktunya juga sudah mepet.

Secara teori, perimbangan keuangan yang diberikan Pemkot Solo dalam bentuk DPK, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Jika kenyataannya tidak mampu berdampak pada partisipasi masyarakat maka harus diteliti faktor teknis seperti kapan DPK itu direalisasikan. Karenanya pemerintah perlu membuat terobosan salah satunya adalah transparansi keterbukaan informasi pelayanan dan kebijakan yang memungkinan masyarakat dapat terlibat aktif dalam perbaikan pelayanan publik dan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang menghargai hak warga.

Dalam penyelenggaraan pembangunan, masyarakat sewajarnya ikut berperan atau dengan kata lain pemerintah harus bekerja bersama masyarakat. Pada hakikatnya pemerintah bekerja bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk masyarakat. Upaya ini merupakan rangkaian proses untuk menuju penguatan peran masyarakat, bukan sekadar peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan (community driven development).

Dengan kuatnya peran masyarakat, penyelenggaraan pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel dan berorientasi pada rakyat atau dengan kata lain bernuansa good governance di segala lapisan.
Permasalahan penyerapan anggaran yang masih rendah di awal tadi, seharusnya bisa dihindari Pemkot manakala pengelolaan keuangan dan administrasinya tertata dengan baik. Pertama, harus ada kesadaran dari tingkat SKPD untuk berusaha tepat waktu.

Kedua, kepala daerah perlu memberikan target kinerja kepada SKPD dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan. Rapor pencapaian itu sebagai pertanggungjawaban kepada kepala daerah dalam memimpin SKPD yang dipercayakan kepadanya.

Ketiga, umumnya SKPD yang mengelola kas daerah masih bersikap pasif terhadap persentase pencapaian penyerapan keuangan. Sebagai dampaknya maka SKPD yang mengelola keuangan ini juga bekerja sesuai dengan kebiasaan.

Kita sering mendapati pernyataan bahwa berkas pencairan sudah masuk kepada keuangan tapi tidak tahu kapan dana itu bisa dicairkan. Artinya “jantung pemerintahan” yang mengurus keuangan yang dibutuhkan oleh semua SKPD pun belum memiliki standar pelayanan yang menjamin SKPD lainnya mampu memberikan pelayanan kepada warga secara lebih baik

(dimuat di Solopos, 2 November 2010)

Senin, 01 November 2010

Peraih Bung Hatta Anticorruption Award 2010: Jokowi Kandangkan Pentungan saat Relokasi PKL

Suaramerdeka- Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, belum lama ini mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award (BHAA) 2010. Kegiatan apa saja yang menyebabkan keduanya memperoleh penghargaaan tersebut? Berikut laporannya.

TIDAK mudah memindahkan para pedagang kaki lima (PKL) dari tempat mereka berdagang ke tempat baru. Alasannya, di tempat yang baru tersebut apa bisa mendatangkan keuntungan seperti di tempat lama. Tapi, di tangan Wali Kota Surakarta Joko Widodo, merelokasi PKL tanpa adanya gesekan pun dapat dilakukan.

’’Awalnya memang sulit, tapi kenapa tidak dicoba,’’ kata Joko Widodo kepada Suara Merdeka, akhir pekan lalu.
Ya, formula baru ’’merayu’’ PKL untuk pindah tempat pun diambil oleh pria yang akrab disapa Jokowi ini. Yakni, mengundang para pedagang dalam sebuah jamuan makan. ’’Tidak tanggung-tanggung, saya mengundang ratusan PKL Monjari (Monumen Banjasari-red) itu sampai 54 kali. Ya undangan makan siang, makan malam untuk mereka. Dan, ternyata berhasil,’’ jelasnya.

Menurut dia, masalah mengundang makan para PKL itu pun perlu kesabaran dan ketenangan. ’’Undangan pertama hingga mendekati terakhir ya masih kami minta mereka hanya menikmati jamuan makan saja. Nah, pada undangan makan terakhir baru kami jelaskan kalau mereka (PKL-red) ini mau dipindah. Dan, mereka ternyata tidak menolak. Mungkin peke- wuh,’’ paparnya sembari tersenyum.

Menurut suami dari Iriana Jokowi ini, formula jamuan makan itu lebih dipilihnya daripada harus mengeluarkan tameng dan tongkat pentungan (Satpol PP-red) untuk menghadapi para pedagang luar pasar.
’’Cara ini lebih elegan. Dari sini kami bisa mengetahui kemauan mereka sebenarnya itu apa. Jadi, tempat mereka yang baru itu dibangun sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Bayangkan kalau kami menggunakan Satpol PP’’.
Ya, berkat formula baru inilah Jokowi baru saja menerima penghargaan Bung Hatta Anticoruption Award (BHAA) 2010. Bersama dia, juga terpilih Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto.

Sebenarnya, menurut juri BHAA, pengelolaan PKL bukan salah satu penilaian Jokowi berhak menyandang penghargaan tersebut, dia juga dianggap sukes melakukan reformasi birokrasi. Banyak yang telah dilakukannya. Salah satunya terkait pelayanan pengurusan berbagai izin dan pembuatan KTP secara cepat.

’’Saat ini buat KTP cukup lima menit jadi. Untuk perizinan maksimal selesai enam hari. Jadi, tidak ada yang lama. Kalau dulu memang harus berhari-hari baru izin keluar,’’ jelasnya.
Jokowi mengaku tidak mudah untuk melakukan semua itu. Tapi bermodalkan keyakinan, proyek yang dinamakan One Stop Service itu pun bisa terlaksana.

’’Saya itu tidak pandai komputer, apalagi tentang programer. Tapi bisa terlaksana karena ada niat. Caranya ya panggil orang yang ahli komputer dan programer. Bilang kalau kami minta dibuatkan tentang program ini. Selesai dan sekarang bisa dinikmati hasilnya.’’
Terlepas dari perolehan penghargaan itu, Jokowi menyatakan pihaknya memilih untuk lebih fokus terhadap perbaikan program-program pelayanan publik yang dilaksanakan Pemkot. Sebab, dengan kondisi pencapaian program layanan kepada masyarakat yang baru tercapai 40 persen, Pemkot perlu berupaya keras meningkatkan kualitas layanan.

Bukti Pengakuan

Penghargaan BHAA yang diterima Jokowi mendapatkan tanggapan dari sejumlah kalangan. Ketua DPRD Surakarta, YF Sukasno menyambut gembira penghargaan tersebut. Dia menilai penghargaan itu sebagai bukti pengakuan atas kinerja selama memimpin Solo sejak 2005.
’’Itu penghargaan yang patut disyukuri. Selama ini masyarakat pun bisa menilai bagaimana kinerja beliau sebagai pemimpin. Terbukti pada pemilihan wali kota Solo periode 2010-2015 Jokowi terpilih dengan perolehan suara yang luar biasa, mencapai 90 persen lebih.’’

Dia mengingatkan agar Jokowi bisa mempertahankan komitmennya untuk tetap bersih dan mampu menjadi pemimpin yang baik bagi warga Solo. ’’Dalam mengabdi dan melayani masyarakat, jangan memasang target yang namanya penghargaan ataupun sanjungan. Tentunya harus dilakukan tulus sesuai dengan janji melayani. Dan ini sudah disadari betul oleh Pak Jokowi sejak awal memimpin Solo.’’
Dia juga meminta Wali Kota lebih meningkatkan koordinasi antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD), mengingat hingga menjelang akhir tahun anggaran ini serapan APBD baru 33 persen.

’’Koordinasi antar-SKPD itu diperlukan agar jajaran birokrasi bisa lebih memahami dan akhirnya bisa menerjemahkan keinginan Wali Kota. Sehingga program pembangunan bisa berjalan sesuai harapan dan tepat waktu.’’

Sementara itu, Pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Surakarta Alif Basuki meminta kepada Jokowi agar menjadikan penghargaan itu sebagai sebuah tantangan. ’’Ini secara tidak langsung bisa menjadi tantangan untuk Jokowi sendiri. Bagaimana dirinya mempertahankan predikat antikorupsi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang masih ada,’’ kata Alif, kemarin.
Menurutnya, penghargaan yang diterima Jokowi secara pribadi menunjukkan komitmen dalam pembentukan good government dan reformasi birokrasi berjalan dengan baik. Penghargaan ini pun menunjukkan Jokowi yang bersama Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang menerima penghargaan serupa, sudah lebih baik dibandingkan kepala-kepala daerah lainnya.

Meksipun begitu, pria berkacamata ini melihat Jokowi tidak berbesar kepala dengan penghargaan yang diterimanya. Sebab, sejumlah bidang memang masih perlu pembenahan. Dia mencontohkan untuk kerja Pemkot dalam hal pengadaan barang dan jasa.
Menurutnya, untuk yang satu ini Pemkot masih belum sepenuhnya transparan seusai dengan amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik.

’’Saat ini masih ada SKPD yang melakukannya belum tersentralkan sebagaimana amanat undang-undang. Padahal, proses pengadaan barang dan jasa salah satu contoh tempat terjadinya korupsi,’’ tegas dia.
Sedikit menggelitik apa yang diutarakan budayawan Kota Solo Murti Jono.

Menurutnya, penghargaan antikorupsi BHAA yang diterima Jokowi tidak pas parameter-parameternya. ’’Kalau saya melihat di teve, paramaternya kenapa Jokowi menerima penghargaan itu karena keberhasilannya menata PKL sehingga berdampak meningkatnya PAD. Ini bagus, tapi paramaternya kok nggak nyambung,’’ kata Murti.

Namun Murti mengapresiasi tinggi penghargaan yang diterima Jokowi sebagai Kepala Daerah. Menurutnya , penghargaan ini jauh lebih bergengsi dibanding penghargaan lain seperti Piala Adipura atau penghargaan lainnya yang diberikan pemerintah.
’’Kalau ini diberikan oleh lembaga yang benar-benar independen. Jadi lebih bergengsilah,’’ imbuhnya. (Gading Persada, Aniek R Rosyidah-35)

CeRi

Cemas dan rindu
Membuncah menjadi satu
Perlahan bayangan itu meskipun samar
Terlihat di sudut kamar

Menemani dalam kesunyianku
Wanita malam, engkaukah itu?

Solo, 011110

Minggu, 31 Oktober 2010

Atas Nama Kemanusiaan

08.30... Rombongan relawan yang sebagian terdiri dari anggota PC PMII Solo dan KMK, berangkat dari Wisma Mahasiswa Surakarta dengan menaiki 2 mobil. Mobil pertama, mengangkut para relawan (11 orang) dan yang kedua berisi 3 relawan beserta barang-barang (sembako dsb) yang akan didistribusikan ke Posko pengungsian di daerah Boyolali-Muntilan. Rencana awal, berdasarkan 'maping' yang sudah dilakukan tim awal, ada 2 titik yang akan kami tuju, daerah Tlogo Mulyo (Boyolali) dan Sawangan (Kab. Magelang). Setelah melewati jalan Selo-Muntilan, rombongan langsung menuju ke titik yang pertama, Tlogo Mulyo. Meskipun sempat 'nyasar', namun akhirnya sampai juga di tempat yang kami tuju.

10.45... Di titik yang pertama ini, yang notabene termasuk dalam daerah KRB (Kondisi Rawan Bencana) 3, nampak suasana di kampung sudah sepi, hanya tersisa bapak-bapak dan para pemuda yang menjaga rumahnya masing-masing. Sedangkan para wanita dan anak-anak sudah diungsikan ke daerah KRB 4, di daerah bawah. Setelah bertemu dengan Bapak (?), kami dibantu 2 petugas SAR yang ada di situ, menurunkan barang-barang yang sudah kami beri tanda 'B'. Selesai semua, kami langsung pamit untuk bergerak lagi ke tujuan yang kedua.

12.00... Untuk menuju ke pos yang kedua yang letaknya berada di bawah, jalan yang kami tempuh di sepanjang jalannya hampir semuanya 'hijau' dan sejuk di mata. Aku berpindah bersama Joko dan Sigit, di belakang mobil bak terbuka, yang sebagian isinya sudah diturunkan. Joko bercerita, dulu pernah ketika dia naik di mobil bak terbuka seperti ini, hampir saja ia jatuh karena penutup di bagian belakang terbuka. Tapi untungnya waktu itu, katanya, mobil berjalan pelan, jadi dia tidak sampai jatuh ke jalan.



12.30... Sekitar setengah jam perjalanan, kami menghampiri posko pengungsian yang terletak di tengah lapangan, namun bukan pos ini yang kami tuju, lanjut lagi kami pun sampai di pos yang kedua. Dari pintu masuk aku baca 'plang'nya: "SMP Sawangan" (Muntilan). Temanku ada yang nyletuk: "waduh sekolah kok dijadikan tempat pengungsian, padahal kondisinya belum terlalu darurat di daerah ini (KBR 4), kasihan kalau harus mengorbankan KBM". (Ya sudahlah, namanya aja kondisi darurat, kataku dalam hati :) Memang, kalau aku bandingkan, sangat berbeda kondisinya dengan titik yang pertama, karena di sini menjadi tempat (pusat) pengungsian warga dari berbagai desa setempat. Ruang kelas disulap menjadi tempat istirahat, ruang kantor menjadi gudang logistik, di dalam mushola juga kulihat ada adik bayi yang sedang tertidur pulas di samping ibunya. Hujan yang turun bersamaan dengan kedatangan kami, menambah dingin hawa di daerah tersebut. Selesai kami menurunkan, kami tidak langsung pulang, beberapa teman-teman ada yang ingin melihat maupun mengetahui kondisi para pengungsi (atau foto2?? ^^). Rencana setelah ini, kami akan mengambil bantuan yang ada di Muntilan kemudian mendistribusikan kembali ke sini. Namun setelah kami rembug, mengingat mobil yang disewa ini terbatas waktunya, maka kami memutuskan untuk langsung pulang ke Solo.


Foto: Suasana Kota Jogja pasca hujan abu (foto diam

13.50 melewati Muntilan-Salam-Sleman-Jogja. Mulai masuk daerah Sleman-Jogja, bekas hujan abu kemarin masih nampak, di pinggir jalan masih terlihat putih, pun dengan atap rumah daun di pepohonan, semua nampak tertutup debu. Lebih parah lagi, ketika kami melewati ring road utara, melintasi Jl Kaliurang, debu masih menghiasi pemandangan Kota. Jogja seperti bukan kota yang aku kenal. Para pengendara motor mesti memakai masker agar tidak terganggu pernapasannya. Sampai di perbatasan Jogja-Klaten, rombongan beristirahat di sebuah Warung Bakso Jepang. Maknyusss pokoe lah...

15.42 Rombongan sampai di Wisma Mahasiswa Surakarta, Kestalan (Belakang RRI)

Rabu, 27 Oktober 2010

Doa-ku untuk 3 M (Mentawai, Merapi, Maridjan)...


Belum reda duka yang menimpa belahan timur Nusantara, dalam waktu yang beruntun, kabar serupa kembali terdengar dari berbagai penjuru nusantara. Mentawai yang digoyang gempa dan dihantam tsunami, menyusul Merapi yang kembali bergejolak, awan panas atau yang biasa dikenal dengan 'wedhus gembel' yang keluar dari dalam, menerjang pemukiman penduduk dan menelan korban jiwa.

Terserah kita mau menafsirkan apa gerangan yang menjadi penyebab semua ini, adzab-kah? kesalahan manusia-kah yang semena-mena terhadap alam? kesalahan pemerintah yang kurang tanggap bencana? dll. Tapi yang pasti, di setiap bencana ada duka di sana, pun ada hikmah yang tersembunyi di baliknya, tergantung bagaimana perspektif kita terhadapnya.

Mbah Maridjan, sang 'juru kunci' Gunung Merapi, yang berakhir hidupnya di sana jua, membuktikan sendiri hal itu. Bagi mereka yang ditinggalkan, menjadi perasaan duka dan kehilangan. Tapi sebaliknya, bagi beliau mungkin itu adalah hikmah dan kebahagiaan, ketika beliau dicabut ruhnya dalam keadaan sujud (sholat), posisi puncak kehambaan seorang abd kepada sang Ma'bud. wallahu a'lam bi shawab. untuk segenap korban yang meninggal, allahummaghfirlahum, warchamhum, wa'afihi wa'fu 'anhum..

Senin, 12 Juli 2010

Bubur Haritsah

Ada makanan yang khas di masjid riyadh-Solo yang disajikan hanya pada saat acara Khatmil Bukhari, yaitu bubur haritsah atau di daerah Gresik dinamakan 'bubur dempul'. Makanan ini terbuat dari campuran bijih gandum dengan daging kambing, dan bumbu-bumbu dan minyak samin, yang diaduk terus dalam api kecil hingga keseluruhan dagingnya hancur lumat menjadi suatu adonan yang kental berwarna kelabu pekat.

inilah bubur haritsah. tapi gak termasuk tangannya loh ya.. hehe

Bagi yang tidak biasa memakannya, bisa muntah sebelum menyentuhnya. Ada yang bilang seperti muntahan kucing, dan macam-macam persepsi yang negatif. Tetapi bagi yang suka akan makanan berbumbu bernuansa timur tengah, haritsah ini merupakan sesuatu yang sangat [bahkan sangat] istimewa. Istimewa karena langka, dan istimewa karena rasa yang sangat khas. Orang Arab sendiri [Arab Indonesia dan Arjo alias Arab Jowo] sangat rindu akan makanan ini, tetapi sudah sulit memperolehnya.

Tentang Bubur Haritsah ini pernah pula menjadi 'kisah indah' tersendiri antara Rasulullah saw bersama istri-istri beliau. Pada suatu hari Rasulullah saw berada di rumah Aisyah ra. Kebetulan pada waktu itu Aisyah sedang memsak bubur haritsah. Bila bubur itu masak dia menghidangkannya kepada Saudah ra dan Rasulullah saw. Tetapi Saudah lalu berkata :
“Maaf, saya tidak suka makanan ini.”
“Demi Allah, kamu harus makan buburku ini atau kusapukan ke mukamu,”jawab Aisyah.
Lalu segera Aisyah mengambil sedikit bubur dan disapukan ke muka Saudah. Begitu juga yang dilakukan oleh Saudah lalu disapukan ke muka Aisyah. Melihat kejadian itu, Rasulullah saw hanya tersenyum simpul. :)

Khatmil Bukhari di Masjid Riyadh (Solo)

Dari namanya anda mungkin bisa menebak acaranya, ya sepertri halnya khatmil qur'an (penutupan/pengkhataman membaca al-qur'an), acara majlis khatmi bukhari yang setiap bulan Rajab diadakan di Masjid Riyadh (Ps. Kliwon-Solo) ini merupakan acara penutupan atau puncak dari kajian kitab shahih bukhari yang telah dibaca dan dikaji secara rutin di masjid riyadh setiap tahunnya.

Kitab Shahih Bukhari ini merupakan kitab (buku) koleksi hadits yang disusun oleh Imam Bukhari (nama lengkap: Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja'fai) yang hidup antara 194 hingga 256 hijriah.

Kitab Shahih Bukhari

Acara seperti biasa dimulai dengan pembacaan qasidah dan shalawat, dilanjutkan pembacaan beberapa nukilan daripada hadist-hadist yang termaktub dalam kitab Shahih Bukhari. Setelah itu ditutup dengan doa khatmil dan untaian nasihat/ceramah dari para ulama.

Ada makanan yang khas di masjid riyadh-Solo yang disajikan hanya pada saat acara Khatmil Bukhari,... (Bersambung baca http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest&note_id=409539031516)

Parade Rebana; Solo Bershalawat 2010

Berbagai event pawai kerap digelar di Kota Solo, baik yang bertema budaya maupun kebangsaan. Namun pada Ahad kemarin (11/7/2010), diadakan acara yang berkonsep memadukan unsur budaya dan Religi. "Parade Rebana; Solo Bershalawat 2010", merupakan event tahunan yang baru dua kali diadakan (2009 dan 2010) di Kota Solo. Acara biasanya diagendakan bertepatan dengan hari Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, 27 Rajab.

Ribuan 'pasukan shalawat' berbaris di sepanjang jl. Slamet Riyadi

Pada acara parade rebana tahun ini, peserta yang ikut lebih banyak dibandingkan pada tahun sebelumnya. Tercatat ada ribuan peserta dari berbagai majelis ta'lim yang ikut dalam rombongan pawai berjalan dimulai dari Lapangan Kota Barat dan berakhir sampai pada Balai Kota Solo, acara kemudian ditutup dengan pembacaan mahalul qiyam yang diikuti -+ 5000 peserta tepat di lapangan depan pendhapi balai kota.

http://www.youtube.com/watch?v=BWVLwDKN6e8 (video mahallul qiyam)

baca juga http://harianjoglosemar.com/berita/tebarkan-aura-islami-di-kota-solo-19777.html

Selasa, 06 Juli 2010

Riwayat Singkat Mbah Nurul Anam (Kranji-Pekalongan)

disarikan dari kitab manaqib mbah nurul anam yang ditulis oleh salah satu cicit beliau, mbah Kiai Munawir (Gringsing-Batang). Manaqib ini juga dibacakan setiap tahunnya pada saat acara haul, pada waktu saya ikut dibacakan oleh Kiai Busro Khofi (Karangdowo).

Makam Mbah Nurul Anam di Kompleks Pemakaman Kranji

A. Masa Kecil Mbah Nurul Anam

Beliau lahir di Desa Geritan (Wonopringgo-Pekalongan) pada tahun 1650 M. Dahulu desa tersebut belum bernama Geritan, tapi kemudian diganti namanya untuk mengingat tahun kelahiran Mbah Nurul Anam, yakni dari penghitungan 4 huruf 'abajadun': Ghain (1000), Ra' (200), Ta' (400), dan Nun (50), jadi bila dijumlah menajdi 1650. Kelahiran beliau pada waktu subuh awal bulan Rajab. Yang menjadi salah satu tanda dari kewalian beliau, adalah pada hari pertama beliau dilahirkan, yakni subuh sampai maghrib (seperti layaknya orang yang berpuasa), menolak untuk disusui. Begitu terus berlangsung sampai tiga bulan (Rajab-Sya'ban-Ramadhan).

Ayah beliau adalah M. Nur (P. Bahurekso) yang garis keturunannya ke atas sampai kepada Sunan Ampel dan terus sampai kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan Ibu beliau adalah seorang wanita salehah, Nyai Maryam binti Kiai Tholabuddin yang nasabnya sampai kepada Sunan Giri dan akhirnya sampai kepada Sayyidati Fathimah Az-zahra binti Nabi Muhammad saw. Dalam hal pendidikan agama, beliau dididik langsung oleh ayah beliau.

Mbah Nurul Anam pernah suatu ketika melakukan riyadhah dan dzkrullah di atas lautan selama 25 tahun tanpa menggunakan perahu atau alat lainnya. Kemudian setelah itu beliau pergi haji dan menuntut ilmu ke Mekah.... (bersambung MEMBANGUN PONDOK DI ALAS ASEM KRANJI)

Haul Mbah Nurul Anam (Kranji-Pekalongan)

Dua tahun absen dari acara yang diselenggarakan tiap setahun sekali ini, alhamdulillah tahun ini aku bisa ikut hadir dalam peringatan haul Mbah Nurul Anam, yang diadakan pada hari Sabtu kemarin (26 Juni 2010 kemarin atau 13-14 Rajab 1341 H). Seperti biasa, berbagai rangkaian kegiatan diselenggarakan oleh warga Dukuh Kranji-Kedungwuni-Kab.Peka
longan. Mulai dari anak-anak, remaja, sesepuh, putra, putri, semua tak mau ketinggalan untuk meramaikan kegiatan haul ini.

Dari juma't sore, para remaja putri dari IPPNU, dan Fatayat serta siswa-siswi dari madrasah diniyah berbondong-bondong datang ke kompleks makam, acara yasinan dan tahlilan diadakan sampai menjelang maghrib. Malam harinya, bakda isya (kalau dulu bakda maghrib) diadakan lagi yasinan dan tahlilan untuk umum. selesai itu, acara dilanjutkan dengan khataman al-qur'an 30 juz bil ghaib.

Rombongan peziarah berkumpul di sekitar komplek makam Mbah Nurul Anam

Pada hari kedua, acara haul pun dilangsungkan di kompleks pemakaman Mbah Nurul Anam dan para sesepuh Kranji. Setelah dibacakan manaqib (riwayat hidup) Mbah Nurul Anam, acara diisi ceramah oleh KH. Sholeh Basalamah dari Brebes. Beliau menerangkan diantaranya adalah, dua pelajaran yang bisa dipetik dari peringatan haul Mbah Nurul Anam, yakni urgensi pendidikan anak (merujuk pada metode pendidikan yang diterima Mbah Nurul Anam dari ayah beliau, M. Nur) dan anjuran untuk menjadi 'pelanggan' Allah swt dengan senantiasa berdzikir kepada-Nya.

KH. Sholeh Basalamah, seusai memberikan ceramah...

Rangkaian acara haul ini kemudian ditutup pada malam harinya, dengan acara peringatan isra' mi'raj Nabi Muhammad saw.

Jerman 2010, (akankah) mengulang kesuksesan Prancis 1998? Indonesia?

Kesuksesan tim Jerman melaju sampai ke babak semifinal dengan berbagai catatan kemenangan yang fantastis, tak lepas dari peran para pemain kuncinya seperti Klose, Podolski, Oezil dan lainnnya. Mereka menjadi motor penggerak tim panser dalam melibas lawan-lawan tim besar seperti Inggris dan Argentina.

Yang menarik, disamping keberhasilan mereka sementara di Piala Dunia 2010 kali ini, adalah komposisi dari para pemain Jerman. Nama-nama pemain yang tadi telah disebutkan merupakan beberapa dari nama pemain yang lahir di luar Jerman atau berdarah campuran.

Mereka adalah penyerang Miroslav Klose, Lukas Podolski dan Piotr Trochowski (Polandia) Marko Marin (Yugoslavia), Jeronimo Cacau (Brasil). Pemain belakang Jerome Boateng (Ghana), Mario Gomez (Spanyol), Dennis Aogo (Nigeria). Serdar Tasci dan Mesut Oezil (Turki), Sami Khedira (Tunisia).

Kombinasi multi-etnis ini dikatakan oleh Kanselir Jerman, Angela Merkel, menjadi sebuah kekuatan tersendiri bagi tim Jerman.

Resep ini sebetulnya pernah dipakai oleh Tim Perancis saat menjuarai Piala Dunia '98 dan Euro 2000. Dengan Komposisi pemain macam Zidane (Aljazair), Desailly (Ghana), Karembeu (Kep. Solomon), Thuram (Guadeloupe), Makelele (Zaire/ Kongo), Vieira (Senegal), Henry (French-Antilles), dan Trezeguet (Argentina).

Dengan resep 'gado-gado' tersebut, Prancis pernah menjadi tim sepakbola yang terbaik dari masa tahun 1998-2001. Namun, keputusan Pelatih Aime Jacquet untuk memasukkan banyak pemain multi-etnis di dalam timnya juga tak berjalan dengan mulus. Waktu itu sempat muncul kritik dari salah satu pimpinan partai kanan Prancis, Jean-Marie Le Pen. "Skuad Prancis terlalu didominasi pemain kulit hitam. Timnas sekarang tidak mewakili Prancis yang sebenarnya," cetusnya.

Namun kritik tersebut tak digubris oleh sang pelatih, dan dari para pemain yang sempat dipertanyakan nasionalismenya, akhirnya justru mampu mempersembahkan Juara Piala Dunia yang pertama kalinya untuk Prancis.

***
Jerman di Piala Dunia 2010, mampukah mengulang resep juara Prancis 1998 dengan semangat multikulturalisme-nya?

Bagaimana dengan Indonesia, yang memiliki potensi yang sama dan bahkan lebih dari yang dimiliki oleh Prancis dan Jerman. Dalam sepakbola, mungkinkah resep tersebut bisa menjadi jalan untuk meraih keberhasilan di saat surutnya prestasi timnas kita?

Yah, minimal kalau ndak bisa juara dunia ya lolos gitu ke putaran final piala dunia.... eh, piala asia dulu ding... hehe

Jumat, 18 Juni 2010

TOR Dialog Multikulturalisme

Term of Reference

Dialog Interaktive

“Solo, Perlukah Perda Multikulturalisme?”

Radio RRI, Jum-at, 18 Juni 2010

Pendahuluan

Dalam catatan sejarah, Kota Solo setidaknya pernah mengalami 15 (lima belas) kali kerusuhan dengan berbagai latar belakang dan sebab musababnya. Kota Solo merupakan satu kota kecil yang berada di jalur persimpangan dan penghubung dengan wilayah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atas dasar hal tersebut, wajar seandainya Kota Solo dihuni oleh berbagai macam etnis, agama, budaya dengan berbagai ragam budaya yang berbeda. Keragaman masyarakat Solo yang seperti ini bisa menjadi masalah tersendiri jika tidak diantisipasi. Berbagai peristiwa kerusuhan yang terjadi di Kota Solo menjadi salah satu bukti tentang hal ini.

Disisi yang lain, paska kerusuhan tahun 1998 maupun tahun 1999 Kota Solo bisa dikatakan relative lebih aman. Namun demikian berbagai bentuk kekerasan maupun intimidasi dalam skala yang lebih kecil hadir dan ada ditengan-tengah masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari data yang dikumpulkan oleh Commitment dalam kurun waktu 1 tahun terakhir yang menemukan bentuk-bentuk kekerasan yang didasarkan pada satu keyakinan tertentu. Berbagai kasus yang berhasil dikumpulkan oleh Commitment meliputi; penutupan tempat ibadah, sweaping oleh sejumlah organisasi masyarakat, pelarangan terhadap berbagai kegiatan yang bersifat tradisi dsb.

Beberapa kasus/ peristiwa diatas bisa menjadi satu masalah tersendiri ditengah-tengah kehidupan masyarakat Solo yang multikultural. Satu pernyataan cukup menarik disampaikan oleh Johny Nelson Simanjuntak, SH (anggota komisioner Komnas HAM) yang menyatakan bahwa "Saya akui penanganan PKL, perempuan, dan anak terlantar, serta pluralisme di Solo ini relatif cukup bagus. Namun sayangnya hanya berdasarkan kebijakan wali kota," (Sinar Harapan, Rabu 24 Maret ”10). Lebih lanjut Johny mengatakan bahwa berbagai kebijakan tersebut selama ini masih sebatas kebijakan walikota sehingga dipandang tidak cukup kuat. Jika didasarkan pada kebijakan Walikota maka dia mengkhawatirkan akan berubah ketika jabatan itu diganti oleh orang lain. Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan perda tentag PKL, perempuan, anak terlantar, dan pluralisme agar posisinya lebih kuat.

Untuk membedah wacana diatas, COMMITMENT bermaksud melakukan kegiatan dialog interaktive yang akan mengupas tentang Perda Multikulturalisme/ Pluralisme di Kota Solo seperti yang telah diwacanakan oleh Johny Nelson Simanjuntak diatas. Pertanyaan mendasar yang ingin kami ajukan adalah, sejauh mana urgensi/ pentingnya Perda Pluralisme ada di Kota Solo?. Apakah Perda Pluralisme akan mampu menjamin kehidupan masyarakat Solo secara aman, damai dalam masyarakat yang multikultural ini? Apakah Kota Solo telah memiliki SK Walikota tentang perda pluralisme?

Tema

Berangkat dari beberapa hal diatas, dialog interaktif kali ini akan mengupas satu tema dengan judul ”Solo, Perlukah Perda Multikulturalisme?”.

Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah:

1.Melakukan bedah wacana tentang perda multikulturalisme/pluralisme sebagai landasan hukum perlindungan kehidupan keberagaman masyarakat Kota Solo.

2.Menggali respon serta pandangan dari masyarakat tentang pentingnya perda multikulturalisme di Kota Solo.

Waktu, Tempat Pelaksanaan dan Narasumber:

Kegiatan dialog interaktif ini akan dilakukan pada:

Hari/ Tanggal : Jum-at, 18 Juni 2010

Waktu : 19.30 WIB – 21.00 WIB

Tempat : Radio Republik Indonesia ( RRI )

Jl. Abdul Rachman Saleh No. 51 Surakarta

Pembicara : 1. Johny Nelson Simanjuntak, SH (Komisioner Komnas HAM)

2. Supartono, SH (kepala Bagian Hukum dan HAM Pemkot Surakarta)

3. ST. Wiyono (Seniman/ budayawan)

Peserta

Peserta dialog interaktive sebanyak dua puluh (20) orang yang merupakan; organisasi massa keagamaan, tokoh local, instansi pemerintah dan LSM.

Penutup

Demikian Term of Reference ini dibuat, melalui program ini, diharapkan akan muncul konsep hukum untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan multikulturalisme di kota Solo.

Rabu, 16 Juni 2010

PKL Tuntut Revisi Perda No 3/2008

Joglosemar- BALAIKOTA- Paguyuban Pedagang Kaki Lima (PKL) Solo menuntut revisi Perda nomor 3 tahun 2008 tentang pengelolaan PKL. Mereka beranggapan, setidaknya ada 5 pasal dari Perda itu yang tidak sesuai dengan pengelolaan PKL di Kota Solo. Akibatnya, PKL merasa semakin disudutkan. Sementara itu, dengan adanya beberapa relokasi PKL yang dinilai kurang tepat, menyebabkan beberapa PKL bangkrut.

Salah satu PKL yang berasal dari Mipitan RT 03/RW XXIX Mojosongo, Sukir Atmo Wiyono menginginkan perubahan judul Perda, dari pengelolaan PKL menjadi pemberdayaan PKL. Menurutnya, PKL adalah sektor mandiri dan tidak bisa disamakan dengan pedagang-pedagang yang ada di pasar. Oleh karena itulah, ia sangat menolak relokasi PKL ke pasar.
Ia menyoroti pemindahan PKL di sekitar kampus UNS ke Pasar Panggungrejo. Pasalnya Pasar Panggungrejo dinilai lokasinya terlalu jauh dari jalan raya. Sedangkan Pemkot kurang mengusahakan promosinya. Maka tak ayal, saat ini banyak kios yang tutup karena sepi. Selain itu, modal pedagang juga habis lantaran tak diimbangi dengan penjualan.

Lebih dari itu, ia beranggapan, bila relokasi yang dilakukan Pemkot ke Pasar Panggungrejo yang setengah-setengah, menimbulkan kecemburuan bagi PKL lain. “Saya kecewa. Mengapa relokasi ke Pasar Panggungrejo tidak serentak. Dan ini menyebabkan kecemburuan antar pedagang,” katanya.
Sukir juga menolak pasal 6 ayat 2, dimana penerbitan izin penempatan yang harus disyaratkan pada KTP Surakarta. Dirinya juga tak sepakat terhadap denda pelanggaran Perda yang dinilai terlalu memberatkan. “Hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Model pendekatan geografis dengan kartu identitas, dikhawatirkan mengenyahkan PKL,” ungkapnya saat audiensi dengan Pemkot Solo, Rabu (16/6).
Sementara itu, Ketua Paguyuban PKL Ronggolawe, Mukti berpendapat, relokasi bukanlah solusi terbaik. Menurutnya, PKL tetap diperbolehkan berjualan di pinggir jalan yang cukup lebar, namun ditata dengan manajemen yang baik. “Mengapa PKL di Jalan Radjiman disuruh pindah? Kan jalannya masih lebar. Seharusnya ditata bukan direlokasi,” katanya.
Di bagian lain, Sekretaris Daerah (Sekda) Solo, Budi Solo mengatakan, dengan tegas sulit untuk merivisi Perda itu pada tahun ini. Sebab tak ada agenda pembahasan Perda yang berhubungan dengan Perda PKL. Namun dimungkinkan, bisa dilakukan pada tahun depan. “Saya tak akan memberikan ‘angin surga’ dengan mengatakan bisa merevisi tahun ini. Karena memang tak ada agendanya. Paling cepat dibahas tahun 2011,” kata Sekda. (nun)

Selasa, 15 Juni 2010

Kisah Luqman Hakim dan Telatah Manusia...

Dalam sebuah riwayat diceritakan, pada suatu hari Luqman Hakim masuk ke dalam pasar dengan menaiki seekor keledai, serta anaknya mengikutinya dari belakang. Melihat tingkah laku Luqman itu, orang berkata, “Lihatlah orang tua itu tidak memiliki perasaan, anaknya dibiarkan berjalan kaki sedangkan ia naik di atas keledai."
Mendengar perkataan dari orang-orang itu maka Luqman pun turun dari keledainya itu lalu diletakkan anaknya di atas keledai itu. Melihat yang demikian, orang-orang tadi kembali berkata, "Lihat orang tuanya berjalan kaki sedangkan anaknya keenakan menaiki keledai itu, sungguh kurang ajar anak itu."
Mendengar kata-kata itu, Luqman pun terus naik ke atas belakang keledai itu bersama-sama dengan anaknya. Kemudian orang berkata lagi, "Lihatlah dua orang itu menaiki seekor keledai, sungguh tersiksa keledai itu."
Karena tidak suka mendengar percakapan orang, maka Luqman dan anaknya turun dari keledai itu, kemudian terdengar lagi suara orang berkata, "Dua orang berjalan kaki, sedangkan keledai itu tidak dikenderai."
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Luqman Hakim menasihati anaknya tentang sikap manusia dan dengan katanya-katanya, "Sesungguhnya tiada terlepas seseorang itu dari percakapan manusia . Maka orang yang berakal tidak mengambil keputusan melainkan kepada Allah swt saja. Barang siapa memberi kebenaran, maka itulah yang menjadi satu keputusan."

Minggu, 13 Juni 2010

Pameran Buku: Kampanye Minat Membaca atau ....???

Gelaran pameran buku (10-15 Juni) yang bertajuk 'Solo Book Expo 2010' bukanlah hal baru di Kota Solo. Tercatat, meskipun sudah ratusan kali acara semacam ini diselenggarakan, namun minat masyarakat untuk berkunjung tak pernah surut. Lewat pameran buku tersebut, diharapkan akan meningkatkan tingkat literasi dalam masyarakat.

Ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa, tingkat literasi (melek huruf) dengan harapan hidup masyarakat. Ternyata ada korelasi yang positif antara keduanya, artinya semakin tinggi tingkat literasi sebuah masyarakat semakin tinggi pula harapan hidupnya.

Literasi sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat.

(Sebagai catatan, peringkat literasi negara-negara lain di dunia, Indonesia berada pada urutan ke-95 dari 176 negara, dibawah Malaysia, Vietnam, Singapura dan Filipina).

Untuk meningkatkan tingkat literasi masyarakat yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah meningkatkan minat bacanya. Masyarakat dengan minat baca yang rendah tentu tingkat literasinya juga rendah. Tetapi jangan salah, minat baca belum tentu dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, orang kaya belum tentu mempunyai minat baca yang tinggi. Minat baca lebih dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap informasi. Apakah menilai informasi berguna bagi kelangsungan hidup dan masa depan atau tidak?

***

Kembali ke acara 'Solo Book Expo 2010'. Menurutku acara pameran kali ini, masih kurang meriah dibandingkan pada acara serupa yang pernah diadakan sebelumnya. Terlihat dari banyak stand yang kosong dan juga jumlah pengunjung yang tak terlalu padat. (mungkin karena aku datang di malam hari, bertepatan dengan jadwal nonton Piala Dunia).

Buku yang dijual pun seperti biasa, dipenuhi buku2 'populer'; yang 'renyah' dibaca. Pun, dengan novel-novel 'islami' yang semakin 'mewabah' dengan tema cinta-cinta an. Kecewa pokoe...

Tapi pada akhirnya, 'lumayanlah' dengan sering diselenggarakannya pameran buku ini (cz di daerahku jarang sekali ada acara serupa) juga karena buku yang dijual pun murah2, berkisar antara Rp.5000-Rp.20.000... Tertarik? Silahkan datang, tapi bersiaplah untuk kecewa,,, haha

Sabtu, 12 Juni 2010

Psikoanalisis

Psikoanalisis yang dipopulerkan oleh Sigmund Freud, adalah suatu cara bagaimana seorang terapis berusaha membongkar pengalaman traumatik masa lalu pasiennya yang mengendap dalam alam bawah sadarnya. Psikoanalisis bisa berguna untuk menyelidiki dinamika psikologis dan membongkar keinginan-keinginan terdalam individu.

Misalnya, seorang cewek yang sudah memiliki logika biologis dan libido bisa dilihat dari ketertarikannya pada seorang cowok. Mungkin ia bisa menyembunyikan perasaannya itu dalam suatu situasi dan budaya yang tidak memungkinkan seorang cewek mengatakan cinta lebih dulu pada cowok. Kesadaran seksualnya mungkin hanya ia pahami sejauh ia membayangkan gambaran romantisasi yang terpancar (secara tidak sadar) dari keinginan terdalamnya, yaitu ketertarika seksual (antarlawan jenis). Atau mungkin dia sadar dan tahu bahwa dia menginginkan cowok pujaannya.

Tapi, dalam budaya dan sistem kepercayaan yang tidak memungkinkan terjadinya aktivitas pemenuhan tersebut dalam realitas, tentu saja ia harus meyembunyikan keinginan itu untuk dirinya sendiri (mungkin hanya bisa dibuka untuk orang yang paling dipercaya). Kegagalan keinginan dan kemunafikannya yang tidak semata-mata gagal tidak butuh pengorbanan berupa munculnya tindakan-tindakan sebagai mekanisme pengalihan (metode sublimasi) atau berupa perubahan karakter psikologis yang ada pada dirinya.

Ia stress dan frustasi, sehingga muncullah mekanisme pengalihan dari kegagalan keinginan yang disembunyikan itu pada dirinya. Mekanisme pengalihannya macam-macam, bahkan tak terdefinisikan. Bagi seorang cewek yang hanya menyimpan dan lemah, mungkin ia hanya bisa menangis memendam keinginan-menangis adalah metode penurunan ketegangan dan emosi. Bagi cewek jenis lain, mungkin mekanisme pengalihannya berupa kegiatan ngelantur, berteriak sesukanya, dan dia tidak menyadari bahwa ucapanya itu adalah ucapan yang tidak diinginkan pada saat ia sadar.

Kasus yang sama juga bisa terjadi di kalangan cowok. Akan tetapi, cowok biasanya lebih terbuka daripada cewek.

Jumat, 11 Juni 2010

Solo Menyambut Piala Dunia...


Terdengar teriakan-teriakan dari arah timur, tepatnya di perempatan Gladag. Ini bukan aksi demo memprotes kebijakan pemerintah seperti yang biasa dilakukan para mahasiswa dan aktivis, tetapi puluhan orang yang memakai kaus sepakbola dan berdandan ala suporter yang akan mendukung kesebelasannya bertanding.

Ada yang memakai atribut topi, wajah yang dicat dan lain-lain, semua ternyata bersorak-sorai dalam euforia penyambutan Piala Dunia (PD) 2010 yang diselenggarakan di Afrika Selatan. (ironisnya Indonesia gak ikut je.. hehe)
















Karnaval mobil dan dokar yang dihias atribut PD, turut mewarnai acara. beberapa suporter cewek (atau SPG?) juga ikut 'meramaikan' suasana sore di dekat Patung Slamet Riyadi tersebut. ^^ 17++
















dan sekian reportase kontributor TERKEPAL (Buletinnya PD 2010), Ajie Najmudin, langsung dari 'Capek Town' :-) nantikan liputan 'eksklusif' kami berikutnya. salam olahraga!!! ^^

Atas Nama Warga, Rakyat...

















Penasaran dengan rencana Pemkot Solo yang akan segera memindahkan sejumlah PKL di sepanjang Jl. Kapten Mulyadi, Pasar Kliwon-Solo, akhirnya siang tadi aku iseng pergi ke sana. Tiba di lokasi, aku masih melihat banyak PKL yang masih berjualan di pinggir jalan tersebut. Kabarnya sih ada 200 lebih PKL yang akan direlokasi hingga akhir Juni nanti (alasan dari Pemkot katanya lokasi tersebut akan dipakai untuk proyek pelebaran jalan, kemudian akan didesain seperti halnya Pasar Ngarsopuro).

Pada sebuah gang terpampang sebuah spanduk yang bertuliskan : "WARGA PASAR KLIWON; MENDUKUNG PENATAAN KAWASAN JL. KAPTEN MULYADI"



Aku hampiri salah satu PKL yang ada di depan spanduk itu, aku tanya ttg wacana pemindahan itu, tapi dia gak mau banyak berkomentar (tapi bahwa intinya dia sudah tahu wacana ini tapi belum mau pindah), dan karena terburu aku tak sempat untuk menanyakan alasannya dan jugai kepada PKL lain.

Hemm.. Tapi apa benar warga sekitar mendukung hal tersebut? atau ada permainan dari para penguasa. seperti yang dikatakan (kalau g salah) oleh Dan Nimmo tentang fungsi komunikasi politik atau perkataan Herbert Marcuse (One Dimensional Man) tentang 'bahasa keseluruhan pemerintahan'. Dalam hal ini Pemkot/DPRD sebagai komunikator politiknya.

Sama juga mungkin bila saya kaitkan dengan wacana 'dana aspirasi' yang sempat diusulkan oleh F-Golkar yang mengatasnamakan kepentingan rakyat dan sebagainya. Ya, ya semuanya mengatasnamakan rakyat, warga dsb tapi apa kenyataannya memang demikian? (Serupa Tapi Tak Sama)

Rabu, 09 Juni 2010

Pak Dokter dan Nabi Musa

Suatu kali dalam sebuah acara kajian yang membahas kisah para Nabi, dikisahkan oleh sang penceramah tatkala Nabi Musa diceritakan bertemu seorang dua orang yang sedang berkelahi, kemudian dengan maksud hendak melerai beliau menghampiri keduanya, tapi yang terjadi justru orang tersebut marah dan menyerang Nabi. Pukulan dari Nabi Musa yang mengenai salah satu orang tersebur, mengakibatkan ia langsung meninggal. (Dari sini akar ceritanya, bahwa dalam satu versi mengatakan bahwa tindakan Nabi Musa memukul kemudian mengakibatkan orang tersebut meninggal adalah sama dengan Nabi Musa membunuh orang tersbut).

Namun adapula ulama yang hati-hati dalam mengomentari kejadian ini, beliau berkata bahwa ketika Nabi memukul orang tersebut, bertepatan pula dengan 'timing' malaikat izrail hendak mencabut nyawanya. Jadi bukan pukulan nabi yang membuat ia mati, tapi memang 'ndilalah nepaki' (dan sangat berdekatan) dengan waktu orang tersebut untuk menemui ajalnya. (beliau berpendapat demikian karena menganggap Nabi memiliki sifat ma'shum). wallahua'lam

***

Kebetulan, dalam majlis tersebut ada seorang dokter yang kemudian menceritakan pengalamannya, yang (katanya) mirip dengan cerita Nabi Musa tersebut di atas.

Ketika itu beliau yang membuka praktek di rumah, kedatangan pasien seorang lurah. Singkat cerita, Pak Lurah yang rupanya mengeluh karena sakit yang diderita, diperiksa, kemudian diberikan obat sesuai dengan resep, dan disuntik sejenis vitamin (atau apa aku juga lupa, pokoe obat ringan lah ^^). Nah, sepulang dari berobat, Pak Lurah mendadak sakit dan selang beberapa saat kemudian meninggal. Apa ada kaitannya dengan berobat ke Pak Dokter tadi ya?

Mungkin secara logika (yang berorientasi pada hukum sebab-akibat), tentu kita akan mengatakan atau langsung menyimpulkan bahwa Pak Lurah meninggal karena obat atau karena suntikan vitamin yang yang diberikan oleh Pak Dokter. Tapi, bisa jadi 'timing' kematian Pak Lurah berdekatan dengan berobatnya ia kepada Pak Dokter, sehingga dokter tadi bisa jadi dituduh melakukan malapraktek?

Kira-kira ada nyambungnya g antara cerita Nabi Musa dan Pak Dokter di atas?