Sabtu, 29 Mei 2010

PKL Solo, Riwayatmu Kini...

JOGLOSEMAR-Opini

Tim verifikasi nasional, menilai bagus proses relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sejauh ini dilakukan Pemerintah Kota Solo. Relokasi tanpa adanya kekerasan, dipandang sebagai hal positif yang perlu ditiru daerah lain (Joglesemar, 22 Mei 2010). Masih lekat dalam ingatan kita beberapa tahun lalu, saat prosesi pemindahan (relokasi) sejumlah PKL dari Monumen Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi dengan prosesi kirab. Prosesi tersebut menjadi semacam simbol keberhasilan Pemkot Solo dalam menata PKL, dengan menggunakan pendekatan tanpa kekerasan. Keberhasilan tersebut juga menjadikan Kota Solo sebagai rujukan dalam hal penataan PKL, terbukti banyak instansi dari daerah lain yang melakukan studi banding penataan PKL ke Pemkot Solo.
Pada kurun waktu sesudah relokasi PKL ke Pasar Notoharjo tersebut sampai sekarang, tercatat Pemkot Solo telah melakukan kebijakan pengelolaan PKL dengan visi dari Walikota sendiri, yakni zero growth population. Dengan visi ini, Pemkot hendak mengarahkan kebijakan untuk menekan pertumbuhan jumlah PKL di Kota Solo, dengan mengubah status mereka dari PKL menjadi pedagang kios. Kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan dengan membuat konsep kawasan ataupun kantong-kantong PKL di beberapa tempat melalui metode relokasi, shelter, gerobak, dan tenda.
Realisasi dari kebijakan itu dapat kita lihat, semisal di daerah Jebres. Sebagian PKL yang ada di sekitar kawasan Jalan Ki Hajar Dewantoro (belakang kampus UNS) dipindahkan ke pasar yang dibangun tak jauh dari tempat itu. Di tempat lain, sejumlah PKL juga dipindahkan ke Pasar Ngarsopuro. Sedangkan pada program pemberian gerobak, bisa kita temukan pada PKL di sekitar Stadion Manahan.
Memang, secara teori dengan konsep pengelolaan yang sedemikian rapi diharapkan akan menjadi produk kebijakan yang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada, serta mencapai tujuan yang hendak dicapai dari kebijakan tersebut. Namun, apakah pada kenyataannya harapan dan tujuan tersebut sudah terlaksana dengan baik? Meminjam lirik lagu Bengawan Solo yang diciptakan Gesang, maka bagaimanakah nasib PKL di Solo sekarang?


Menyimpan Masalah
Di balik semua keberhasilan yang digembor-gemborkan Pemkot Solo tersebut, ternyata masih menyimpan banyak permasalahan di dalamnya. Permasalahan yang ada meliputi, payung hukum (Perda) tentang pengelolaan PKL yang belum jelas implementasi pelaksanaannya. Selain itu pemetaan persebaran dan pendataan PKL yang masih belum komprehensif, serta belum adanya sinergitas antara kebijakan yang dikeluarkan Pemkot dengan kebutuhan PKL itu sendiri.
Peraturan terbaru untuk pengelolaan PKL yang dikeluarkan Pemkot, yakni Perda Nomor 3 tahun 2008 menggantikan Perda lama, Perda Nomor 8 tahun 1995 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi, belum juga dibuat peraturan turunannya yakni Peraturan Walikota (Perwali). Ini berarti Perda yang terbaru pun belum bisa diimplementasikan. Padahal dengan Perda baru tersebut, para PKL bisa mendapatkan kejelasan payung hukum yang menaungi keberadaan mereka, seperti yang tercantum dalam pasal 4 dan 8.
Sesuai prosedur, semestinya Perwali tersebut bisa segera diimplementasikan setelah satu tahun produk kebijakan tersebut dikeluarkan dan disosialisasikan, yakni pada tahun 2009. Namun, sampai sekarang sudah lebih dari dua tahun berlalu tanpa ada kejelasan, dan pada akhirnya kebijakan penataan PKL di Kota Solo, masih menggunakan Perda lama yang sebenarnya sudah tidak dianggap sesuai dengan visi dari Walikota sendiri. Ini bisa kita maknai, bahwa keberadaan PKL belum memiliki kejelasan payung hukum, dan keberadaan mereka masih tergantung kepada kebijakan pimpinan yang ada.


Tak ada payung hukum yang jelas mengenai usaha mereka, akan semakin melemahkan posisi para PKL. Dengan mudah mereka bisa digusur dari tempat jualan mereka kapan saja, seperti halnya kasus yang terakhir yang dirasakan para PKL di sepanjang Jalan Kapten Mulyadi, Pasar Kliwon. Dengan alasan akan dibuat proyek pelebaran jalan, sebanyak 195 PKL harus tergusur dari tempat tersebut (Joglosemar, 18 Mei 2010).
Permasalahan yang lain, yakni masalah pemetaan persebaran dan pendataan jumlah PKL di Kota Solo. Relokasi yang telah banyak dilakukan dan pengubahan status PKL menjadi pedagang kios (sesuai dengan visi walikota), ternyata juga belum efektif untuk menekan pertumbuhan jumlah PKL. Dari beberapa data yang ada, dari sampai tahun 2009 pertumbuhan PKL rata-rata per tahun sebesar 17 persen (Jurnal Akatiga).
Salah satu penyebab kurang efektifnya kebijakan tersebut, dari pihak Pemkot, dalam hal ini Dinas Pengelolaan Pasar (DPP), belum memiliki data yang jelas berapa jumlah PKL Solo. Sebagai contoh kecil, data terakhir jumlah PKL dari DPP, bahwa jumlah PKL di Transito sejumlah tiga orang. Namun setelah dilakukan pengecekan langsung di lapangan, jumlah PKL di sana bertambah menjadi 35 orang.
Hal ini akan berdampak pada proses pengambilan kebijakan yang berdasarkan asumsi saja, bukan data riil, yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah produk kebijakan yang kurang optimal dan menyeluruh. Oleh karena itu, mutlak perlu adanya pendataan kembali jumlah dan persebaran PKL di Kota Solo.
Rencana pembatasan pemberian izin berjualan, hanya kepada para PKL yang memiliki KTP Kota Surakarta, sesuai dengan yang tertera pada Perda baru Pasal 6 ayat 3, juga patut dipertanyakan. Sudah menjadi risiko bagi sebuah kota untuk didatangi warga dari luar kota. Dalam kasus penentuan izin berjualan ini, pendekatan sektoral akan lebih cocok diterapkan daripada menggunakan pendekatan teritorial. Dan menjadi sebuah pekerjaan bagi Pemkot untuk bisa menyikapinya dengan bijak.
Hal lain yang patut menjadi perhatian, adalah belum adanya sinergitas antara kebijakan yang dikeluarkan Pemkot dengan kebutuhan PKL itu sendiri. Sering kali PKL kurang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan tempat keberadaan mereka dulu berjualan, ataupun sesudah direlokasi. Sebagai contoh, apakah dengan adanya relokasi PKL tersebut, akan memberikan efek positif kepada PKL yakni menaikkan pendapatan mereka? Atau justru dengan adanya pemindahan tersebut akan menurunkan pendapatan mereka?
Ketiga permasalahan di atas merupakan catatan kecil tentang permasalahan penataan PKL di Kota Solo dari permasalahan lebih besar, yakni pengelolaan kota itu sendiri. Bila kita kaitkan pada substansi tujuan pengelolaan PKL yang diamanatkan Perda Nomor 3 tahun 2008, yang meliputi peningkatan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum, dan kebersihan lingkungan, maka klaim keberhasilan dalam penataan PKL yang digaungkan oleh Pemkot selama ini, masih jauh dari kata berhasil. Dan harapannya untuk PKL, yang kita analogikan sebagai “bunga trotoar” yang tumbuh sepanjang musim, mereka semestinya ditata bukan “dibuang”.

baca: Artikel terkait

Kamis, 27 Mei 2010

Penataan 5.817 PKL Capai 62%

Joglosemar-
BALAIKOTA—Penataan 5.817 Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Solo yang dicanangkan mulai tahun 2005 lalu dan ditargetkan rampung pada tahun ini, tampaknya belum bisa tercapai. Lantaran, hingga pertengahan tahun 2010 ini, penataan PKL masih menyentuh angka 62 persen.
Menurut Walikota Solo, Joko Widodo, pihaknya belum bisa menyelesaikan penataan PKL secara keseluruhan dalam lima tahun ini karena terkendala ketersediaan lokasi. “Targetnya memang tahun ini seharusnya 100 persen, semua PKL bisa tertata, tetapi kita terkendala persoalan nonteknis. Misalnya saja anggaran penataan sudah ada, tetapi solusi tempatnya belum siap,” terang Jokowi, begitu ia biasa disapa, kepada wartawan, Rabu (26/5) di Balaikota.
Ia menyebutkan sejumlah lokasi PKL dan belum mendapatkan solusi kemana akan dipindahkan, seperti PKL Gilingan, PKL Purwosari, PKL Baron dan juga yang di timur Stasiun Balapan. Menurut Jokowi, sebenarnya para pedagang tersebut bersedia untuk dipindah, namun tempat atau lokasi untuk penataan belum siap.
Namun demikian, Jokowi optimis, setelah penataan tersebut rampung, pertumbuhan PKL di Kota Solo akan berada di titik nol. “Saya kira, setelah ini (2010, red) pertumbuhan PKL di Kota Solo bisa dikatakan nol. Kalaupun ada, paling satu dua saja, tidak banyak. Karena selama lima tahun ini sudah kita tata hingga 62 persen,” paparnya.
Sementara itu, secara terpisah, Kepala Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) Kota Solo, Subagiyo mengatakan, 62 persen PKL yang telah ditata saat ini telah menempati sejumlah pasar tradisional, shelter yang telah disediakan Pemkot, menempati tenda pada lokasi yang telah ditentukan, serta mendapatkan batasan waktu beroperasi seperti yang ada di kawasan Kota Barat. Sejumlah kawasan yang telah mendapatkan penataan PKL pada tahun ini di antaranya Jalan Dr Radjiman, Jalan Veteran, Jalan Suparman, serta Jalan Monginsidi.
Meskipun, belum mencapai target maksimal, namun Subagiyo mengatakan, pihaknya tetap melakukan penataan PKL yang telah teragendakan dalam rencana lima tahun ke depan. “Nanti sisanya PKL yang belum kita tata akan kita masukkan dalam rencana lima tahun selanjutnya,” ujarnya, dijumpai di Balaikota, kemarin. (dya)

Selasa, 25 Mei 2010

16-04-2010

Tepat mulai tanggal itu, KTP-ku yang lama sudah tidak berlaku lagi, dan sebagai warga negara yang baik aku harus mengurus untuk memperpanjangnya. Terhitung 5 tahun berlaku dari tahun 2005, sewaktu aku baru saja lulus dari SMA, sampai tahun ini masa berlakunya telah habis.

Ini juga berarti usiaku telah bertambah 5 tahun menjadi 23=(18+5), sori gak undang makan2 hehe gak penting banget...

Yang masih kuingat, dari pembuatan KTP-ku pertama kali, waktu itu aku menitipkan urusan syarat-syarat administrasi kepada tetanggaku yang bekerja di Kantor Kecamatan Kedungwuni (sekarang bernama Kec. Kedungwuni Timur), lalu beberapa hari kemudian dia mengkonfirmasi bahwa persayaratan pembuatannya tinggal satu, yaitu pas foto dan tanda tangan, yang tidak boleh diwakilkan (hemm jadi gak bisa diganti fotonya Tom Cruise y hehe), untuk sesi pemotretan yang sudah menggunakan kamdig, ditarik uang sebesar 10 ribu kalo gak salah. Selesai semua, KTP belum bisa langsung diambil, tapi masih menunggu satu atau dua hari berikutnya.

***

tahun 2005 berlalu dengan cepat, dan tibalah saatnya untuk kembali memperpanjang KTP. Kali ini aku sengaja pulang dari Solo jauh hari sebelum mepet hari H, sekalian untuk mengurus perpanjangan kartu SIM yang juga sudah mau habis. Dan untuk mengurus segala syarat administrasi aku urus sendiri (udah gede nih ceritanya B-)). Prosesnya ternyata lumayan rumit, dari pembuatan surat pengantar dari pak RT (gak bayar cz pak RT nya baik), kemudian mesti mendapat stempel dari kantor kelurahan (bayar 3 ribu kalo ndak salah), dan berakhir di kantor kecamatan (prosesnya hampir sama dengan yang dulu, bayarnya 10 ribu).

Besoknya kartu sudah jadi, langsung kuambil (sip potone mantep daripada yang lama ^_^). Selesai sudah dan dengan begitu aku sudah melaksanakan kewajibanku sebagai warga negara. wasalam

NB: Bagaimana proses pembuatan atau perpanjangan KTP di daerah lain? kabarnya dipersulit dari mulai proses pembuatan dan kadang ditarik pungli segala (di Solo ada yang sampai Rp. 50 ribu)?

Jumat, 21 Mei 2010

Endless Love; Mbah Sido and Mbah Yem... (Part 2)

Keduanya sudah saling mengenal sejak kecil, mereka adalah teman sepermainan. Dulu, mereka tinggal di daerah sekitar UNS, sebelum akhirnya harus tergusur ketika ada proyek pembangunan kampus UNS tahun 1970-an. Jalinan persahabatan mereka terus berlanjut sampai akhirnya mereka menikah. Dan lebih dari 50 tahun sejak pernikahan mereka, sampai sekarang keduanya masih tetap menjalani hidup bersama. Meskipun tak lepas dari berbagai masalah yang biasa melanda kehidupan rumah tangga, namun mereka bisa tetap bertahan sampai sekarang.

Mbah Yem dengan penuh keikhlasan mengabdi kepada suaminya, di usianya yang sudah sangat renta, pun dengan segala rutinitas yang dijalani setiap harinya. Untuk menghilangkan kesepiannya, mereka sering mengundang kami ataupun tetangga sekitar untuk 'dolan' ke rumahnya, sekedar ngopi/ngeteh bareng, plus cemilan karak atau kadang 'beton kluwe'.

Mbah do, yang saya salut, di saat fisiknya yang semakin melemah tak menyurutkan semangatnya untuk tetap mengais rezeki, "yang penting gak nganggur" kata beliau.

Semoga Allah membalas kebaikan dan jasa-jasa beliau.... Usia mereka yang panjang, semoga senantiasa memberikan keberkahan bagi kita semua, karena (salah satunya) orang-orang seperti mereka lah Allah masih memberikan kepada kita Rezeki dan Pertolongan

(هل ترزقون وتنصرون إلا بضعفائكم)

NB: Mungkin kisah ini tak menarik bagimu. Namun, untukku kisah cinta mereka akan senantiasa terpatri di hati... matursuwun mbah ^^

Endless Love; Mbah Sido and Mbah Yem... (Part 1)


Kalau anda pernah mampir ke kosanku (Kaplingan-Jebres-Solo), tepat di samping kirinya ada sebuah rumah atau bisa juga disebut gubuk kecil yang berukuran kira2 4x3 m2. Rumah tersebut dihuni oleh pasangan lansia (sepuh) Mbah Sido dan Mbah Yem (Usia keduanya sudah lanjut, mungkin sekitar 75-80an). Kedua orang tersebut tinggal sendirian, jauh dari sanak keluarganya yang ada di Sragen.

Setiap harinya, mereka berdua mengisi waktu dengan berbagai aktivitas rutin. Ketika adzan shubuh berkumandang dari Masjid di belakang kosku, Mbah do, panggilan beliau, bangun dan bergegas ke belakang untuk mandi dan wudhu. Setelah itu berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah. Sedangkan Mbah Yem tetap di rumah, seperti halnya kebanyakan aktivitas ibu rumah tangga yang lain, menyiapkan sarapan untuk suami tercinta.

Dapur yang sangat sederhana dengan seperangkat peralatan yang tertata rapi, karena seluruh rumahnya juga masih 'berlantaikan' tanah. Beliau masih memasak dengan menggunakan kayu bakar. Disamping nasi, mbah yem biasanya juga memasak sayur oseng, kadang cuma mie rebus plus lauk tempe goreng, dan kadang karak (nasi yang dijemur kemudian digoreng). Tapi saya akui masakannya memang enak, karena kebetulan saya dan teman-teman di kos sering ditawari untuk ikut makan di sana (dan dasar mahasiswa, kalau ada makan gratisan pasti susah untuk nolak hehe).

Mbah do, sepulang dari masjid biasanya ngeteh sambil mendengarkan radio dakwah favoritnya, *** FM (males tak sebut hehe). Setelah agak siang, beliau dengan sepeda kebo/onthelnya pergi bersilaturahmi ke tempat kawan-kawannya. atau terkadang beliau mengisi waktunya membersihkan rumput liar yang ada di depan rumah gedongan di seberang jalan dan memotong kayu untu digunakan sebagai kayu bakar. Dan memang hanya pekerjaan itu yang bisa dilakukan oleh beliau, tak seperti dulu sewaktu fisiknya masih kuat untuk mengayuh becak.

(Bersambung... tak tinggal futsal sek yo) ^^

Dan Ternyata, Wanita (tak selalu) Ingin Dimengerti...

Dan Ternyata, Wanita (tak selalu) Ingin Dimengerti...

Karena (lelaki) tidak pernah bisa mengerti

Bagaimana bisa mengerti tanpa pernah diberi tahu?

Karena kepekaan tiap orang tidaklah sama, pun keinginan untuk mengerti

Bisa jadi karena sedang terhijab sesuatu, kepekaan jadi tak nampak karenanya

Hilangkan saja hijabnya kalau dianggap perlu!

Jangan pernah tergesa untuk membuka tabirnya, nanti bisa robek. Bukalah dengan halus, sangat halus...

Karena ia (memang) ingin dimengerti...

(sebuah diskusi 'mbulet')

Kamis, 20 Mei 2010

Endless Love; Yusuf and Zulaekha... (Part 2)

Seperti roda yang berputar, begitulah kehidupan ini, tidak statis namun dinamis dan kapan saja bisa berubah, Yusuf yang dulu hanya seorang anak yang ditemukan dari sumur oleh para kafilah, sekarang menajdi seorang pembesar Kerajaan, bahkan kedudukannya hampir sama dengan sang Raja karena setiap kali ada permasalahan Raja selalu menyerahkan kepada Yusuf. Dan dengan berbagai kebijakannya, Tahun demi tahun berlalu dengan kemakmuran negeri.

Lantas bagaimanakah kabar Siti Zulaekha, perempuan cantik, yang pernah tergila-gila pada ketampanan Yusuf, namun hasratnya tak sampai karena ditolak oleh sang pujaan hati. Zulaekha yang menjebloskan Yusuf ke penjara, sekarang kondisinya menjadi sangat jauh berbeda dengan dirinya yang dulu. Kalau dulu ia dikenal sebagai seorang perempuan yang cantik sekarang menjadi perempuan tua, kulitnya keriput, dan matanya buta. Bisa jadi kondisi sekarang merupakan balasan dari Tuhan atas perlakuannya terhadap Yusuf.

Sampai pada suatu hari. Ketika Nabi Yusuf sedang berkumpul bersama rakyatnya (entah kunjungan atau turba kalau dalam istilah sekarang), beliau mendengar ucapan kalimat yang terdengar dari kerumunan tersebut,

"Maha Suci Allah yang memuliakan orang karena ketaatannya" (maksudnya Nabi Yusuf)
"Maha Suci Allah yang menghinakan orang karena kedurhakaanya" (maksudnya dirinya)

Yusuf yang mendengar suara tersebut kemudian mencari sumber suara tersebut, lantas ia menghampirinya dan yang ia temukan adalah seorang wanita tua, keriput, dan buta yang tak lain adalah Zulaikha. Melihat kondisi yang demikian terhadap orang yang pernah menyakitinya, beliau justru mengucapkan sebuah kalimat yang mungkin akan membuat kaget khayalak umum.

"An Yuhibbal mar'u laa Yuhibbuhu illa lillahi"

"Maukah kau menikah denganku?" kata Nabi Yusuf kepada Zulaekha. Bagaimana bisa seorang pembesar kerajaan yang tampan seperti Nabi Yusuf mau menikah dengan seorang wanita tua, keriput, dan pernah menyakitinya sedemikan rupa.

Zulaekha pun terperanjat dengan pertanyaan itu dan menjawab "ho'oh... :-)"

Akhirnya seperti yang kita kenal seperti sekarang Nabi Yusuf pun memperistri Siti Zulaekha. Tak berhenti sampai di situ, karena berkat kemuliaan Nabi Yusuf sebagai seorang Rasul Allah, maka di malam pertama, Siti Zulaikha yang tadinya tua dan keriput, berubah kembali menjadi seorang perempuan muda yang cantik jelita (ajiiib). Dan jalinan cinta keduanya terus berlanjut sampai akhir hayat mereka.

:-) Wassalam

Endless Love; Yusuf and Zulaekha... (Part 1)


Sedikit yang bisa saya ceritakan dari kisah perjumpaan (kembali) Nabi Yusuf dan Zulaekha. Seperti yang kita ketahui, kisah keduanya diceritakan dalam Al-Qur'an, tatkala Yusuf digoda oleh seorang perempuan cantik, yang tak lain adalah istri majikan/orang yang merawatnya, Siti Zulaekha. Yusuf meskipun digoda untuk melakukan hal yang tidak senonoh, pun di tempat yang sepi, tetap menolak ajakan Zulaekha.

Singkat cerita ketika Yusuf berbalik untuk meninggalkan Zulaekha, baju belakangnya robek karena ditarik oleh Zulaekha yang masih tetap menggodanya. Namun atas perlindaungan Allah swt, Yusuf selamat dari fitnah itu. Kecewa dengan penolakan Yusuf, Zulaekha malah melaporkan kejadian ini, dengan menuduh Yusuf hendak memperkosanya. Yusuf yang meskipun tahu ia tak bersalah, memilih diam, bukan karena takut tapi ia selalu mengingat, bagaimanapun juga Zulaekha adalah istri dari orang yang pernah merawatnya, setelah ia selamat dari peristiwa penceburan dirinya ke sumur yang dilakukan kakak2nya.

Ia pun dijebloskan penjara. Namun, Allah berkehendak lain, justru di dalam penjara inilah kemudian ia dikenal sebagai ahli tafsir mimpi dan sampai akhirnya ia menafsirkan mimpi sang raja, tentang akan adanya musim paceklik yang akan menimpa negeri tersebut. Yusuf pun memberikan saran kepada Raja untuk segera mempersiapkan bekal hasil panen, untuk menghadapi musim paceklik. Dan benar apa yang disampaikan oleh Yusuf. Selang beberapa tahun kemudian terjadi paceklik hebat, namun dengan persiapan yang matang, Negara tersebut bisa melewatinya jua.

Atas jasanya, Yusuf dibebaskan dari penjara, dan memang sebetulnya tak pernah terbukti bahwa beliaulah yang hendak memperkosa Zulaekha, dari bukti yang ada, baju Yusuf yang robek adalah bagian punggung dan bukan depan. Berkat kepintarannya, Yusuf pun kemudian diangkat menjadi seorang penasihat raja, segala permasalahan di Negara tersebut mampu ditangani berkat saran-saran yang bijak dari Yusuf. Negara tersebut makmur karena berkah Nabi Yusuf dan pertolongan Allah swt.

Rabu, 19 Mei 2010

Suara PKL Solo

PKL: Bunga trotoar yang bersemi sepanjang musim. Butuh ditata bukan "dibuang"
"Setelah tergusurnya kami dalam mencari nafkah (berdagang), kami lalu mendeklarasikan bahwa saat ini kami menjadi oposisinya Pemkot Solo! Karena, kebijakan Pemkot selama ini kami anggap menciptakan kemiskinan. Pemindahan (relokasi) PKL yang menjadi prioritas program pemerintah selama ini apakah sudah berhasil? Menurut kami, tidak sama sekali! Justru menumbuhkan problem sosial baru bagi kami. Apalagi soal City Walk yang sudah mulai dibangun, kami tidak pernah sama sekali dilibatkan dalam rencana pembangunannya. Anggota kami, PKL di sepanjang jalur city walk itu, nanti pasti akan kena dampaknya, ini sangat kami sayangkan. Apalagi, keinginan kami untuk dialog dengan Walikota tidak ditanggapi. Akibatnya, bisa jadi pengangguran nanti semakin banyak, karena PKL kesulitan mencari lahan baru untuk berdagang. Kami ingin ada dialog dengan pemkot, agar kemiskinan ini tidak semakin tambah dan bagaimana penyelesaian secara bersama-sama?"

Joko Suryadi (Ketua Forum Komunikasi PKL Surakarta)
--disarikan dari buku 'Memuseumkan Kemiskinan; Pattiro Surakarta 2007---

Kamis, 13 Mei 2010

Kerja Bakti on Thursday

Hari yang cerah... para santri PP Nurul Musthofa bergegas berganti pakaian setelah selesai mengaji. Hari ini ada jadwal kerja bakti, semua santri diharapkan untuk berpartisipasi, boleh saja dia izin gak ikut kerja tapi sebagai gantinya dia mesti membeli lampu atau minim membelikan makanan.

Dari 9 orang santri, hanya 6 orang saja yang ikut kerja bakti, sisanya ada yang hanya tidur2an d kos, ada pula yang izin pergi ke Lawu. Namun, tidak mengendorkan semangat kami untuk bisa menyelesaikan 'PR' kerja bakti ini. Sebetulnya, program kerja bakti ini sudah direncanakan sejak lama, tapi dasar mahasiswa sok sibuk, mereka baru bisa melaksanakannya pas libur tanggal merah (kenaikan isa) ini.sambil ngepel poto mejeng dulu coi.. hehe


Segera saja, masing-masing mengambil tugasnya, ada yang mengambil sapu, menggosok dinding, menguras kamar mandi, mencuci karpet dan yang terakhir bersama-sama mengepel seluruh lantai ruangan, yang terdiri dari dua lantai. Semua tampak bersemangat, entah mungkin karena bangunan pondok yang baru ini, rencananya akan diisi santri putri, untuk program tahfidzoh.

Setelah selesai, para 'kuli' langsung menyerbu makanan di dapur, sungguh terasa nikmat dengan nasi lauk tempe dan sayur kacang panjang, setelah capek bekerja dan perut juga keroncongan belum sarapan. mantep lah...