Senin, 31 Januari 2011

85 Tahun NU; Belum Optimal Sentuh Kemiskinan

Oleh: M Ajie Najmuddin*

Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya 85 tahun silam, telah memainkan peran yang tidak bisa dianggap sebelah mata bagi perkembangan bangsa ini. Perjuangan baik melalui bidang dakwah agama, politik, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya memberikan manfaat yang besar kepada umat. Salah satunya dalam bidang ekonomi, khususnya dalam gerakan pengentasan kemiskinan, peran ini telah dimulai sejak cikal bakal berdirinya NU pada tahun 1926. Hal itu dilakukan melalui wadah Nahdlatul at-Tujar (Kebangkitan Para Saudagar) ketika para tokoh NU merintis gerakan ekonomi kerakyatan yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh dari NU.

Kemiskinan memang menjadi permasalahan kompleks umat yang terus terjadi sepanjang tahun. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari Sensus Penduduk 2010, dalam laporan yang dibawa ke Pertemuan Tingkat Tinggi PBB mengenai Tujuan Pembangunan Milenium yang berlangsung pada 20-22 Desember 2010 di New York, angka kemiskinan yang dilaporkan adalah 13,3 persen atau jumlah penduduk miskin sekitar 31,02 juta.

Di Indonesia, dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diperuntukkan bagi orang miskin, penerima bantuan iuran dari pemerintah berjumlah 76,4 juta orang. Mereka adalah penduduk yang dapat menggunakan jaminan itu ketika sakit. Angka itu lebih dari dua kali lipat dari angka penduduk miskin menurut BPS. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan upaya dari semua pihak untuk bisa mengatasinya.

Dalam konteks upaya pengentasan kemiskinan ini, NU secara lembaga telah menegaskan komitmennya. Berdasarkan Keputusan Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama Nomor 00-/MNU-31/12/2004 tentang Program Lima Tahun NU dinyatakan bahwa Visi NU adalah terwujudnya tatanan masyarakat sejahtera, berkeadilan dan demokratis atas dasar Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja).

Untuk mewujudkan visi tersebut, maka NU menetapkan tiga misi yang mesti dilaksanakan. Pertama, mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara lahiriah maupun batiniah dengan mengupayakan sistem perundang-undangan dan mempengaruhi kebijakan yang menjamin terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang sejahtera. Kedua, mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dengan melakukan upaya pemberdayaan dan advokasi masyarakat. Ketiga, mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berakhlakul karimah.

Komitmen ini kemudian coba diwujudkan dalam tataran struktural NU, mulai dari Pengurus Besar hingga level paling bawah. Di samping juga lembaga yang memang berkaitan dengan hal itu seperti LP Ma’arif di pendidikan dan sebagainya, muncul pula lembaga-lembaga baru yang fokus kegiatannya dalam usaha membantu pemenuhan kesejahteraan masyarakat, seperti halnya di PCNU Kota Pekalongan yang mendirikan Nahdliyyin Centre (NC), sebuah lembaga sosial ekonomi yang banyak membantu warga miskin. Selain itu juga Muslimat NU dalam usaha menyantuni anak yatim dengan mendirikan panti asuhan.

Upaya pengentasan kemiskinan ini kemudian juga banyak dilakukan di tataran badan otonom (Banom) melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan beberapa organisasi kepemudaan yang ada di bawah naungan NU, semisal di Lakpesdam Jateng yang mengawal anggaran pro-poor atau di Solo sendiri juga ada Forum Studi Warga NU Surakarta (Fosminsa), yang banyak melakukan advokasi kebijakan publik untuk warga miskin.

Meskipun demikian, upaya tadi ternyata belum diikuti oleh kebanyakan pengurus-pengurus NU. Ada kesan bahwa gerakan di kalangan NU secara struktural, masih terbatas pada persoalan dakwah dan pengembangan pengetahuan agama melalui lembaga pesantren dan sebagainya. Sedangkan untuk program riil, seperti gerakan pengentasan kemiskinan ini belum begitu optimal.

Integralisasi Gerakan

Menurut Zuhairi Misrawi (2007), dalam konteks teologi NU, sebenarnya sudah muncul upaya mewujudkan teologi antikemiskinan. Program pemberdayaan masjid juga diadakan di berbagai cabang di Jawa Timur, bahkan di berbagai wilayah dan cabang di Tanah Air. Namun, langkah tersebut belum menjadi bagian integral dari upaya pengentasan kemiskinan yang bersifat menyeluruh. Sebab pada hakikatnya, pengentasan kemiskinan mempunyai ukuran-ukuran yang konkret, yang tidak hanya berhenti pada tataran wacana belaka.

PBB melalui Millenium Development Goals (MDG’s) menegaskan, program pengentasan kemiskinan harus meliputi aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan masyarakat, dan lingkungan yang bersih. Jika ukuran-ukuran itu dijadikan ukuran untuk melihat sejauh mana program pengentasan kemiskinan itu bisa berdampak bagi masyarakat, memang harus diakui, masih banyak kekurangan yang luar biasa.

Dengan kompleksnya permasalahan kemiskinan tersebut, maka upaya NU tidak sekadar mengentaskan warga dari kemiskinan tersebut dari sudut pandang agama, seperti mendorong pemeluknya giat beribadah dan bekerja secara seimbang serta distribusi sedekah, infak, zakat semata, tetapi juga melakukan upaya advokasi kebijakan dan pendampingan kepada penduduk miskin untuk melakukan usaha ekonomi produktif.

Dari situ, sudah selayaknya para pengurus NU mencanangkan komitmen terhadap kaum miskin sebagai prioritas kerja pada tahun-tahun mendatang. Dalam hal ini, setidaknya ada dua agenda utama yang perlu dilakukan NU dalam peringatan 85 tahun kelahirannya yang jatuh Senin, 31 Januari ini. Pertama, membuat program-program riil yang menjadikan kaum miskin sebagai sasaran utama. Selain gerakan dakwah maupun pengembangan pengetahuan agama, juga perlu dibuat program yang riil untuk pengentasan kemiskinan. Program tersebut bisa diwujudkan dari berbagai bidang; pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya.

Kedua, untuk mendukung program yang dicanangkan oleh pengurus tersebut, dukungan dari anggota juga harus dilibatkan. NU memiliki keuntungan karena memiliki anggota dari struktur tingkat nasional hingga tingkat kelurahan bahkan kampung-kampung. Proses pelibatan bisa dilakukan dalam proses partisipasi warga di masing-masing daerah. Dari situ, warga NU bisa memberikan sumbangsih pemikiran baik kepada pemerintah maupun secara langsung untuk bisa mengambil peran untuk membantu mengentaskan kemiskinan.

Dengan demikian, dalam usianya yang hampir seabad, sudah saatnya NU mengambil peran yang lebih besar untuk bisa memberikan kontribusi dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat.

*Penulis adalah Kader Muda NU/aktivis PMII Solo

(Dimuat di harian joglosemar, 31 Januari 2011)

CERITA KEUNIKAN ”PASAR MALING” GILINGAN

Beragam merek telepon selular (Ponsel), berjajar di pinggiran jalan S Parman Gilingan. Ada yang baru, ada pula yang bekas. Namun yang menjadi ciri khas unik di pasar ponsel itu, adalah harganya, yang relatif murah. Tak aneh, jika warga setempat, menjulukinya sebagai ”Pasar Maling”.
Julukan itu, seseram aturan yang berlaku di pasar ponsel itu. Aturannya itu, berupa keharusan transaksi di area pasar. Jika sampai ketahuan bertransaksi di luar area itu, maka sang preman siap mengejar baik pedagang maupun pembelinya.
Esa (25), pemilik ponsel asal Mojosongo, yang ingin menjual ke pasar itu. Saat berbincang dengan Joglosemar, dia menceritakan, pernah dikejar-kejar oknum preman yang menguasai pasar itu. Kisahnya bermula dari kesepakatan antara dia dan sesama pembeli untuk membeli ponsel yang dibawanya, dengan harga Rp 200.000.
Sebelumnya, Esa tidak pernah mendapat harga yang bisa disepakati, karena tawaran dari para penjual pasar menurutnya terlalu rendah, mereka menawar ponselnya dengan harga antara Rp 130.000 sampai Rp 140.000.
Tetapi pada saat itu, datang oknum preman yang meminta jatah 20 persen dari hasil transaksi pembelian ponselnya. Karena menolak permintaan itu, dia dan calon pembeli ponselnya, memilih bertransaksi di palang kereta dekat lokasi pasar. Tetapi oknum preman yang mengetahui transaksi itu, langsung mengejar.
”Padahal kita sudah keluar dari area pasar tapi tetap saja dikejar,” kata Esa yang sempat berhasil lari dengan sepeda motornya. Berbeda dengan calon pembeli ponselnya, yang tidak bisa lari, terpaksa ditangkap oknum preman pasar itu. ”Wah, saya sudah nggak tahu nasibnya, dipalak atau dipukul mungkin orang itu, lha premannya naik RX King, sedangkan temanku naik onthel,” katanya.
Retribusi
Salah satu pedagang pasar ponsel, Taufik (28), membenarkan, jika aturan seram itu memang berlaku di pasar itu. Tetapi dia mengaku, tidak pernah mengejar, jika pembeli sudah di luar area pasar dan bertransaksi di wilayah lain.
Taufik mengatakan, aturan itu disebut oleh para pedagang ”Pasar Maling” sebagai Undang-Undang. ”Undang-Undang ini tercantum pada setiap tag name anggota keamanan,” katanya.
Menurutnya, peraturan itu untuk mengawasi pengunjung yang tidak bertransaksi dengan penjual setempat, tetapi malah bertransaksi dengan pembeli di luar pasar.
Selain itu, ada juga aturan retribusi sebesar Rp 130.000 sampai Rp 150.000/bulan pada setiap pedagang kepada RT/RW setempat, serta kas Paguyuban Pedagang HP Gilingan. n

Kamis, 20 Januari 2011

Wasiat Gus Dur Tentang Agama dan Negara

Oleh: Anis Nurohmah*

Gemuruh penegakan syari’at Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin mendengung sejalan dengan perkembangan dunia yang dinilai sudah jauh dari alur atau aturan dasar Islam. Dengan dalih kembali kepada konsep al Qur’an dan as Sunnah, beberapa jargon dikumandangkan agar masyarakat Indonesia menyetujui konsep penegakan syari’at Islam guna melanggengkan terbentuknya khilafah Islamiyah. Harapan untuk terbentuknya negara Islam seperti pada masa Rasulullah mulai dirintis sebagai upaya pengembalian masa kejayaan Islam.

Hal semacam inilah yang membuat beberapa elemen masyarakat atau gerakan Islam berusaha keras untuk mewujudkan cita–cita tersebut. Memang suatu cita–cita yang luhur untuk menegakkan konsep syari’at Islam, namun dalam beberapa aspek perlu dipertimbangkan dengan melihat kondisi sosial masyarakat dalam suatu negara dan konsep yang akan dibangun ketika syari’at Islam ditegakkan di atas pondasi masyarakat yang plural, terutama untuk wilayah Nusantara yang beranekaragam agama, suku bangsa, dan tentu saja budaya.

Menurut Abdurrahman Wahid (1998), dalam pandangan Islam tidak ada kewajiban untuk membentuk sebuah sistem negara Islam. Sebagaimana yang telah dikatakan beliau: “Kita tidak usah mencari-cari (negara yang ideal) karena memang tidak ada yang ideal. Islam tidak menyebutkan tentang soal negara ideal, dan juga tidak mengharuskan. Saya lebih melihat kepada pencapaian cita-cita Islam yang sebenarnya, yakni keadilan dan kemakmuran; kesamaan di antara semua umat manusia. Kalau kita masih berpikiran bahwa Islam harus lebih dari yang lain, itu tidaklah Islami, justru bertentangan dengan Islam.”

Oleh karena itu, jika sekarang banyak muncul ajakan untuk mengundangkan hukum islam sebagai persyaratan diterimanya konsep negara-bangsa (nation-state), tanpa mempertimbangkan dengan mendalam keterbatasan bentuk masyarakat seperti itu untuk melakukannya, maka hal itu akan menjadi hambatan mendasar bagi pencapaian tujuan islam itu sendiri.

Sejarah sistem pemerintahan dalam islam

Islam jika kita melihat dari sejarah pemerintahannnya di masa lampau, terdapat dua hal yang menjadi perhatian khusus. Pertama, bahwa dalam Islam tidak mengenal secara baku tentang konsep pergantian pemimpin. Rasulullah digantikan Sayyidina Abu Bakar setelah tiga hari beliau wafat melalui sebuah bai’at atau prasetia dengan kesepakatan kaum muslimin. Sebelum Sayyidina Abu Bakar meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin untuk memilih Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti beliau. Ini berarti bahwa sistem yang ditempuh untuk pergantian pemimpin dengan penunjukkan secara langsung. Tidak jauh berbeda dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.

Pasca Umar bin Khattab, sistem pemilihan khalifah diserahkan kepada dewan pemilihan (electoral college atau ahl halli wa al–aqdli) sesuai permintaan Umar bin Khattab dengan anggota tujuh orang termasuk anak beliau, Abdullah, yang tidak diperkenankan menggantikan posisi sebagai khalifah. Kesepakatan untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara / pemerintahan menjadi jalan keluar untuk mengisi kekosongan pemimpin saat itu. Kepemimpinan selanjutnya digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat yang bersamaan, pihak Abu Sufyan telah mempersiapakan penerus untuk menggantikan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian lahirlah sistem kerajaan yang menurunkan raja–raja berdasarkan nama marga sampai dengan khilafah terakhir, Usmaniyyah atau yang terkenal dengan Ottoman Empire.

Jadi, islam dalam sistem pemerintahan pun tidak pernah mengharuskan sistem yang baku. Bisa jadi memakai konsep pemilihan oleh tim ahli, penunjukkan langsung, atau demokrasi ala pemilihan Sayyidina Ali Kwh. Inilah yang menjadi khazanah tersendiri dalam islam, dan secara langsung menjelaskan bahwa konsep pemerintahan itu memang memiliki banyak pilihan,

Di Indonesia sendiri, saat ini menggunakan Pancasila sebagai ideologi nasional dan sistem demokrasi dalam memilih pemimpin pemerintahan. Di Negara lain yang mayoritas penduduknya beragama islam, Iran misalnya, secara definitif didirikan Republik Islam. Di Aljazair, sebuah negara Arab sosialis menyatakan secara formal dalam undang–undangnya bahwa agama resmi negara adalah Islam. Di Arab Saudi, Al Qur’an dijadikan konstitusi walaupun negaranya bukan negara Islam. Secara minimalis sebuah negara Islam adalah negara yang memiliki watak Islam sebagai inti ajaran yang diakui. Islam berfungsi inspirasional apabila mampu mendorong terbentuknya legislasi dan pengaturan negara yang manusiawi namun tidak menentang ajaran Islam. Dalam pandangan optimalis, negara Islam adalah negara yang melaksanakan ajaran Islam secara penuh dalam semua aspek kehidupan.

Sisi lain ternyata belum ada kejelasan pula pakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (nation-state), ataukah negara–kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya. Terdapat sebuah analogi; Islam menjadi seperti sistem komunis dalam mendahulukan antara sosialisasi sebuah negara yang berideologi satu dengan negara induk atau menunggu sampai semua negara menjadi Islam dengan sendirinya, baru dirumuskan konsep negara dari betuk negara sampai ideologinya.

Mengemukakan gagasan negara Islam tanpa kejelasan konseptual berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik–cabik karena perbedaan pandangan para pemimpinnya. Dengan demikian, ide negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan hanya dipikirkan oleh sejumlah orang yang memandang Islam dari sudut pandang institusional belaka. Gagasan ini tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Selama tidak ada kejelasan tentang klaim Islam memiliki konsep negara, maka sia–sia saja bila terus diwacanakan.

Dalam konteks keindonesiaan, masalah konsep negara Islam ini juga tidak akan pernah disepakati karena ideologisasi Islam perkembangan Islam di Nusantara. Islam di Indonesia justru muncul dari keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Oleh sebagian orang, ideologisasi Islam dijadikan sebuah usaha politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks–teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan ideologi Islam sebagai ideologi alternatif pengganti Pancasila.

* Pegiat Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta

Dilema Diversifikasi Pangan

Oleh: M Ajie Najmudin*

Awal tahun 2011 mencatat sebuah kejadian tragis, Enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, meninggal dunia diduga akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon. Tragis karena hanya beberapa hari sebelumnya Gubernur Jateng Bibit Waluyo mengungkapkan, ketahanan pangan di Jateng sepanjang tahun 2010 ini berada dalam kondisi yang mantap. Peta ketahanan pangan provinsi ini mayoritas menunjukkan warna hijau tua dan sebagian kecil hijau muda. Jepara termasuk dalam daerah yang diberi label warna hijau tua. Artinya, ketahanan pangannya cukup mantap.

Ada dua asumsi yang menjadi penyebab tragedi tersebut, yang pertama memang karena murni keracunan, maksudnya memang mereka makan tiwul karena ingin, tetapi dalam pengolahannya yang kurang sempurna sehingga megakibatkan asam sianida (HCN) yang terkandung dalam singkong markonah, sebagai bahan utama pembuatan tiwul ini, belum hilang sepenuhnya. Racun asam sianida inilah yang ditengarai menjadi peyebab kematian keluarga di Jepara tadi.

Memang tiwul ini bagi sebagian masyarakat di Indonesia, termasuk juga di daerah Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten), sudah dianggap menjadi makanan kebutuhan utama. Di Wonogiri misalnya, gelontoran beras miskin (raskin) sebanyak 13 kg/keluarga/bulan tidak membuat sebagian besar rakyat miskin di Wonogiri bagian selatan lepas dari makanan tiwul. Beras menjadi seperti barang pusaka yang sangat berharga yang dikeluarkan saat warga menggelar perhelatan perkawinan, supitan atau, syukuran kelahiran bayi. Banyak petani miskin di wilayah Kecamatan Pracimantoro, Paranggupito, Giritontro, dan desa-desa di bagian selatan yang merupakan penghasil ketela pohon atau gaplek lebih menikmati tiwul (makanan pengganti nasi, terbuat dari bahan baku ketela pohon) ketimbang nasi.

Asumsi yang kedua adalah keluarga yang keracunan tadi, makan tiwul karena terpaksa. Logikanya dalam kondisi ketahanan (beras) yang mantap di daerah Jepara, kenapa masih saja ada keluarga yang makan tiwul? Faktanya memang hal inilah yang menjadi alasan besar, kenapa keluarga tersebut makan tiwul, berdasarkan pengakuan kepala keluarga tersebut, dengan penghasilannya yang hanya berkisar antara Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per pekan, dia hanya bisa membeli beras 10 kilogram dari biasanya bisa membeli hingga 16 kg untuk memenuhi kebutuhan delapan anggota keluarga (Kompas, 6 Januari 2010)

Dalam kasus asumsi pertama sangat mudah penyelesaiannya, karena permasalahan ini hanya berakar pada kurangnya pengetahuan warga dalam proses pengolahan. Solusi konkrit bisa dengan memberikan penyuluhan atau pemahaman tentang tata cara pengolahan tiwul yang benar dan sehat kepada masyarakat, sehingga mereka bisa tetap menikmatinya tanpa takut untuk keracunan. Atau malah justru murni karena factor kecelakaan (human error) dalam proses pengolahannya.

Namun, bila kejadian tersebut disebabkan oleh asumsi kedua, ini akan menjadi sebuah permasalahan besar yang mesti harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Implikasi dari ‘politik beras’ di masa lampau akhirnya membuat kebanyakan orang hanya mengenal beras sebagai sumber makanan pokok mereka. Pun, dengan politik pemberian bantuan beras miskin di era pemerintahan sekarang, yang seolah memaksa masyarakat untuk tetap mengkonsumsi beras dengan cara bagaimanapun dan dengan kualitas mutu yang rendah sekalipun. Di masa mendatang yang paling ditakutkan dari implikasi ‘politik beras’ ini, adalah adanya ketergantungan terhadap pangan (beras).

Politik penyeragaman pangan beras ini pada gilirannya juga telah menipiskan “hutan pangan” berupa umbi-umbian, pohon sagu, aren, buah-buahan di hutan dan juga “lenyapnya” lumbung padi di desa-desa yang semuanya merupakan persediaan pangan penduduk untuk keamanan pangan mereka. Muara akhir dari politik pangan seperti ini adalah makin tergantungnya masyarakat dan petani pada (cadangan pangan) pemerintah.

Diversifikasi Pangan sebagai alternatif solusi

Rawan pangan yang terjadi di Indonesia ini sebenarnya sangat terkait dengan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras. Beras sebagai makanan pokok telah dikenal masyarakat Jawa sejak dahulu, karena kondisi tanah di Jawa cocok untuk dijadikan sawah yang ditanami padi. Sedangkan daerah di luar Jawa, dengan kondisi alamnya lebih mengenal makanan non beras seperti jagung, sagu dan umbi-umbian sebagai makanan pokok mereka.

Dalam permasalahan rawan pangan tersebut, salah satu solusi konkrit adalah melalui diversifikasi pangan. Pada kebijakan diversifikasi pangan di masa lampau, pemerintah pernah menganjurkan konsumsi pangan pokok selain beras. Tetapi kebijaksanaan ini hanyalah reaksi terhadap krisis pangan, dan konsumsi masyarakat khususnya lapisan bawah dilakukan karena adanya keterpaksaan.

Diversifikasi pangan pada dasarnya mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Dari aspek produksi, diversifikasi berarti penganekaragaman komoditas pangan dalam pemanfaatan sumberdaya, pengusahaan maupun pengembangan produk (diversifikasi horizontal dan vertikal). Diversifikasi pangan dari aspek konsumsi mencakup perilaku yang didasari pertimbangan ekonomis (pendapatan dan harga komoditas) dan nonekonomis (selera, kebiasaan dan pengetahuan). Diversifikasi pangan dan pola konsumsi ini secara dinamis mengalami perubahan. Jadi, diversifikasi pangan selain merupakan upaya mengurangi ketergantungan pada beras, juga penganekaragaman dari beras ke sumber kalori dan protein lainnya yang lebih berkualitas.

Singkong misalnya, umbi yang menjadi bahan pokok pembuatan tiwul ini, mengandung karbohidrat sangat tinggi, sekitar 34-38 gram per 100 gram. Kandungan energinya 146-157 kalori per 100 gram bahan. Di satu sisi singkong ini memang memiliki kandungan asam sianida (HCN) yang bersifat racun, tapi bila diolah secara baik dan higienis, maka kita tak perlu khawatir untuk mengonsumsi produk olahan singkong yang justru mengandung karbohidrat yang tinggi ini. Begitu bahan pangan lainnya seperti sagu, jagung, kentang dan lain sebagainya, masing-masing memiliki keunggulan gizi dan tingkat karbohidrat yang tidak kalah dengan beras.

Namun sekali lagi, diversifikasi pangan tidak mungkin berhasil juga kalau hanya merupakan sebuah proyek belaka, tanpa komitmen dari pemerintah serta masyarakat untuk melaksanakannya.

*Penulis adalah Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Solo

Senin, 10 Januari 2011

Me­nu­ju Uni­ver­si­tas Kelas Du­nia

Oleh: M Ajie Najmuddin*

Iro­nis me­mang, sa­at sa­ya mem­ba­ca be­ri­ta ten­tang la­por­an ke­uang­an UNS yang di­ni­lai ter­ba­ik. La­por­an ke­uang­an Uni­ver­si­tas Se­be­las Ma­ret (UNS) So­lo 2009 men­da­pat­kan opi­ni wa­jar tan­pa pe­nge­cua­li­an (WTP). Opi­ni ter­se­but me­ru­pa­kan per­nya­ta­an pro­fe­sio­nal pe­me­rik­sa atas pe­me­rik­sa­an la­por­an ke­uang­an (SO­LO­POS, 5/1).

Se­men­ta­ra, pa­da ha­ri yang sa­ma ju­ga mun­cul pem­be­ri­ta­an ten­tang ak­si ma­ha­sis­wa Fa­kul­tas Sas­tra dan Se­ni Ru­pa (FSSR) UNS So­lo yang ter­ga­bung da­lam Sa­se­ru Ber­sa­tu (Sa­tu) me­nun­tut trans­pa­ran­si Iur­an Orang­tua Ma­ha­sis­wa (IOM), di fa­kul­tas se­tem­pat.

Sa­ya ti­dak akan me­nya­lah­kan be­ri­ta ka­re­na ke­dua­nya ada­lah fak­ta. Fak­ta yang sa­ling mem­per­ka­ya per­sep­si sa­tu sa­ma lain. Da­lam kon­teks ini, di sa­tu si­si, ia mem­per­li­hat­kan se­buah ke­ber­ha­sil­an ki­ner­ja pe­nge­lo­la­an ke­uang­an se­buah lem­ba­ga per­gu­ru­an ting­gi. Se­dang­kan fak­ta lain mem­per­li­hat­kan be­be­ra­pa ana­sir ke­bob­rok­an di da­lam­nya.

Hal ini men­ja­di kri­tik ba­gi UNS se­ba­gai uni­ver­si­tas yang se­dang me­nu­ju ke­pa­da pre­di­kat world class uni­ver­si­ty yang da­lam sa­lah sa­tu kri­te­ria­nya men­sya­rat­kan ang­gar­an ri­set yang cu­kup ting­gi, mi­ni­mal US$1300/ang­go­ta staf/ta­hun. Ini jum­lah da­na yang ti­dak ke­cil dan bu­tuh pe­nge­lo­la­an yang ba­ik pu­la. Ini ju­ga bu­kan ber­ar­ti sa­ya me­nga­mi­ni prak­tik li­be­ra­li­sa­si uni­ver­si­tas me­la­lui kon­sep ba­dan la­yan­an umum (BLU).

Ka­lau per­ma­sa­lah­an se­per­ti IOM saja belum se­le­sai, ba­gai­ma­na nan­ti me­nge­lo­la da­na yang le­bih be­sar se­per­ti ang­gar­an pe­ne­li­ti­an?

Pa­da da­sar­nya se­mua uni­ver­si­tas, ti­dak ha­nya UNS, ka­lau po­si­si­nya sa­ma se­per­ti pe­me­rin­tah­an da­lam ne­ga­ra. Mak­sud­nya da­lam kon­teks ci­vi­tas uni­ver­si­tas, pi­hak yang ber­we­nang se­ba­gai pe­nge­lo­la atau pe­me­rin­tah ada­lah rek­to­rat. Se­dang­kan ma­ha­sis­wa bi­sa ki­ta iba­rat­kan se­ba­gai rak­yat. Pem­bia­ya­an da­na kam­pus pun, se­ba­gi­an be­sar di­pe­ro­leh da­ri “sum­bang­an” ma­ha­sis­wa, ba­ik me­la­lui da­na IOM, SPP dan lain-lain.

Yang men­ja­di per­ta­nya­an ke­mu­di­an ada­lah ba­gai­ma­na ben­tuk per­tang­gung­ja­wab­an da­na da­ri ma­ha­sis­wa ini oleh rek­to­rat/de­ka­nat? Apa­kah su­dah se­suai de­ngan asas-asas peng­ang­gar­an? Ka­lau sa­ya meng­acu pa­da good go­ver­nan­ce, da­lam hal ini, ki­ner­ja bi­ro­krat uni­ver­si­tas yang ba­ik ha­rus me­me­nuhi ti­ga asas pen­ting, yak­ni ke­pen­ting­an umum, ke­ter­bu­ka­an dan asas akun­ta­bi­li­tas.

Ti­ga asas ini men­ja­di pi­lar pen­ting un­tuk mem­ben­tuk se­buah pe­nye­leng­ga­ra­an bi­ro­krat yang ber­sih dan be­bas da­ri KKN. Da­lam ba­ha­sa yang le­bih se­der­ha­na, ba­gai­ma­na se­ha­rus­nya peng­ang­gar­an yang ba­ik di da­lam tu­buh PT?

Pro­ma­ha­sis­wa

Apa­bi­la ki­ta me­li­hat fak­ta ren­dah­nya trans­pa­ran­si pe­nge­lo­la­an ang­gar­an, ki­ta bi­sa se­di­kit me­nyim­pul­kan bah­wa ke­ti­ga asas ta­di bi­sa ja­di be­lum di­lak­sa­na­kan de­ngan ba­ik oleh PT.

Da­lam hal ini ada mi­ni­mal ti­ga poin pen­ting yang se­ge­ra di­be­na­hi da­lam rang­ka op­ti­ma­li­sa­si fung­si kon­trol ci­vi­tas kam­pus ter­ha­dap ke­bi­jak­an yang di­ke­luar­kan rek­to­rat/de­ka­nat. Per­ta­ma, me­ka­nis­me ini bi­sa di­wu­jud­kan da­lam ben­tuk ke­ter­li­bat­an ma­ha­sis­wa un­tuk ber­par­ti­si­pa­si da­lam pro­ses pe­nge­lo­la­an ang­gar­an, mi­ni­mal da­lam ta­hap pe­ren­ca­na­an ada se­ma­cam pro­ses pu­blic he­a­ring.

Ke­dua, da­lam ta­hap pe­lak­sa­na­an dan per­tang­gung­ja­wab­an, asas trans­pa­ran­si (ke­ter­bu­ka­an) dan akun­ta­bi­li­tas ini mut­lak mes­ti di­ja­lan­kan oleh pa­ra pe­mang­ku ke­bi­jak­an di kam­pus.

Ke­ti­ga, op­ti­ma­li­sa­si ini ju­ga bi­sa di­la­ku­kan da­ri da­lam bi­ro­kra­si kam­pus sen­di­ri, me­la­lui ba­dan pen­ja­min mu­tu atau yang se­je­nis de­ngan itu. De­ngan ke­ti­ga pem­be­nah­an ter­se­but, sa­lah sa­tu­nya ada­lah de­ngan ada­nya trans­pa­ran­si ang­gar­an, di­ha­rap­kan bi­sa mem­ben­tuk se­buah kon­di­si uni­ver­si­tas yang ber­sih dan ba­ik, ser­ta mam­pu me­wu­jud­kan pre­di­kat world class uni­ver­si­ty de­ngan se­be­nar-be­nar­nya.

* Penulis adalah aktivis PMII Solo

(Dimuat di Harian SOLOPOS, 11 Jan 2011)