Kamis, 20 Januari 2011

Wasiat Gus Dur Tentang Agama dan Negara

Oleh: Anis Nurohmah*

Gemuruh penegakan syari’at Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin mendengung sejalan dengan perkembangan dunia yang dinilai sudah jauh dari alur atau aturan dasar Islam. Dengan dalih kembali kepada konsep al Qur’an dan as Sunnah, beberapa jargon dikumandangkan agar masyarakat Indonesia menyetujui konsep penegakan syari’at Islam guna melanggengkan terbentuknya khilafah Islamiyah. Harapan untuk terbentuknya negara Islam seperti pada masa Rasulullah mulai dirintis sebagai upaya pengembalian masa kejayaan Islam.

Hal semacam inilah yang membuat beberapa elemen masyarakat atau gerakan Islam berusaha keras untuk mewujudkan cita–cita tersebut. Memang suatu cita–cita yang luhur untuk menegakkan konsep syari’at Islam, namun dalam beberapa aspek perlu dipertimbangkan dengan melihat kondisi sosial masyarakat dalam suatu negara dan konsep yang akan dibangun ketika syari’at Islam ditegakkan di atas pondasi masyarakat yang plural, terutama untuk wilayah Nusantara yang beranekaragam agama, suku bangsa, dan tentu saja budaya.

Menurut Abdurrahman Wahid (1998), dalam pandangan Islam tidak ada kewajiban untuk membentuk sebuah sistem negara Islam. Sebagaimana yang telah dikatakan beliau: “Kita tidak usah mencari-cari (negara yang ideal) karena memang tidak ada yang ideal. Islam tidak menyebutkan tentang soal negara ideal, dan juga tidak mengharuskan. Saya lebih melihat kepada pencapaian cita-cita Islam yang sebenarnya, yakni keadilan dan kemakmuran; kesamaan di antara semua umat manusia. Kalau kita masih berpikiran bahwa Islam harus lebih dari yang lain, itu tidaklah Islami, justru bertentangan dengan Islam.”

Oleh karena itu, jika sekarang banyak muncul ajakan untuk mengundangkan hukum islam sebagai persyaratan diterimanya konsep negara-bangsa (nation-state), tanpa mempertimbangkan dengan mendalam keterbatasan bentuk masyarakat seperti itu untuk melakukannya, maka hal itu akan menjadi hambatan mendasar bagi pencapaian tujuan islam itu sendiri.

Sejarah sistem pemerintahan dalam islam

Islam jika kita melihat dari sejarah pemerintahannnya di masa lampau, terdapat dua hal yang menjadi perhatian khusus. Pertama, bahwa dalam Islam tidak mengenal secara baku tentang konsep pergantian pemimpin. Rasulullah digantikan Sayyidina Abu Bakar setelah tiga hari beliau wafat melalui sebuah bai’at atau prasetia dengan kesepakatan kaum muslimin. Sebelum Sayyidina Abu Bakar meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin untuk memilih Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti beliau. Ini berarti bahwa sistem yang ditempuh untuk pergantian pemimpin dengan penunjukkan secara langsung. Tidak jauh berbeda dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.

Pasca Umar bin Khattab, sistem pemilihan khalifah diserahkan kepada dewan pemilihan (electoral college atau ahl halli wa al–aqdli) sesuai permintaan Umar bin Khattab dengan anggota tujuh orang termasuk anak beliau, Abdullah, yang tidak diperkenankan menggantikan posisi sebagai khalifah. Kesepakatan untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara / pemerintahan menjadi jalan keluar untuk mengisi kekosongan pemimpin saat itu. Kepemimpinan selanjutnya digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat yang bersamaan, pihak Abu Sufyan telah mempersiapakan penerus untuk menggantikan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian lahirlah sistem kerajaan yang menurunkan raja–raja berdasarkan nama marga sampai dengan khilafah terakhir, Usmaniyyah atau yang terkenal dengan Ottoman Empire.

Jadi, islam dalam sistem pemerintahan pun tidak pernah mengharuskan sistem yang baku. Bisa jadi memakai konsep pemilihan oleh tim ahli, penunjukkan langsung, atau demokrasi ala pemilihan Sayyidina Ali Kwh. Inilah yang menjadi khazanah tersendiri dalam islam, dan secara langsung menjelaskan bahwa konsep pemerintahan itu memang memiliki banyak pilihan,

Di Indonesia sendiri, saat ini menggunakan Pancasila sebagai ideologi nasional dan sistem demokrasi dalam memilih pemimpin pemerintahan. Di Negara lain yang mayoritas penduduknya beragama islam, Iran misalnya, secara definitif didirikan Republik Islam. Di Aljazair, sebuah negara Arab sosialis menyatakan secara formal dalam undang–undangnya bahwa agama resmi negara adalah Islam. Di Arab Saudi, Al Qur’an dijadikan konstitusi walaupun negaranya bukan negara Islam. Secara minimalis sebuah negara Islam adalah negara yang memiliki watak Islam sebagai inti ajaran yang diakui. Islam berfungsi inspirasional apabila mampu mendorong terbentuknya legislasi dan pengaturan negara yang manusiawi namun tidak menentang ajaran Islam. Dalam pandangan optimalis, negara Islam adalah negara yang melaksanakan ajaran Islam secara penuh dalam semua aspek kehidupan.

Sisi lain ternyata belum ada kejelasan pula pakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (nation-state), ataukah negara–kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya. Terdapat sebuah analogi; Islam menjadi seperti sistem komunis dalam mendahulukan antara sosialisasi sebuah negara yang berideologi satu dengan negara induk atau menunggu sampai semua negara menjadi Islam dengan sendirinya, baru dirumuskan konsep negara dari betuk negara sampai ideologinya.

Mengemukakan gagasan negara Islam tanpa kejelasan konseptual berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik–cabik karena perbedaan pandangan para pemimpinnya. Dengan demikian, ide negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan hanya dipikirkan oleh sejumlah orang yang memandang Islam dari sudut pandang institusional belaka. Gagasan ini tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Selama tidak ada kejelasan tentang klaim Islam memiliki konsep negara, maka sia–sia saja bila terus diwacanakan.

Dalam konteks keindonesiaan, masalah konsep negara Islam ini juga tidak akan pernah disepakati karena ideologisasi Islam perkembangan Islam di Nusantara. Islam di Indonesia justru muncul dari keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Oleh sebagian orang, ideologisasi Islam dijadikan sebuah usaha politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks–teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan ideologi Islam sebagai ideologi alternatif pengganti Pancasila.

* Pegiat Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta

2 komentar:

  1. Oalah, ni serupa buku bacaan atau majalah ya? Pantesan artikelnya bagus banget..

    L33_0NX

    BalasHapus
  2. maksudnya?
    bukan ini blog pribadi, kalau yg berita PKL saya memang tertarik untuk mengkliping berita dari berbagai media

    thx sudah mau liat blog saya :)

    BalasHapus