Kamis, 20 Januari 2011

Dilema Diversifikasi Pangan

Oleh: M Ajie Najmudin*

Awal tahun 2011 mencatat sebuah kejadian tragis, Enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, meninggal dunia diduga akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon. Tragis karena hanya beberapa hari sebelumnya Gubernur Jateng Bibit Waluyo mengungkapkan, ketahanan pangan di Jateng sepanjang tahun 2010 ini berada dalam kondisi yang mantap. Peta ketahanan pangan provinsi ini mayoritas menunjukkan warna hijau tua dan sebagian kecil hijau muda. Jepara termasuk dalam daerah yang diberi label warna hijau tua. Artinya, ketahanan pangannya cukup mantap.

Ada dua asumsi yang menjadi penyebab tragedi tersebut, yang pertama memang karena murni keracunan, maksudnya memang mereka makan tiwul karena ingin, tetapi dalam pengolahannya yang kurang sempurna sehingga megakibatkan asam sianida (HCN) yang terkandung dalam singkong markonah, sebagai bahan utama pembuatan tiwul ini, belum hilang sepenuhnya. Racun asam sianida inilah yang ditengarai menjadi peyebab kematian keluarga di Jepara tadi.

Memang tiwul ini bagi sebagian masyarakat di Indonesia, termasuk juga di daerah Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten), sudah dianggap menjadi makanan kebutuhan utama. Di Wonogiri misalnya, gelontoran beras miskin (raskin) sebanyak 13 kg/keluarga/bulan tidak membuat sebagian besar rakyat miskin di Wonogiri bagian selatan lepas dari makanan tiwul. Beras menjadi seperti barang pusaka yang sangat berharga yang dikeluarkan saat warga menggelar perhelatan perkawinan, supitan atau, syukuran kelahiran bayi. Banyak petani miskin di wilayah Kecamatan Pracimantoro, Paranggupito, Giritontro, dan desa-desa di bagian selatan yang merupakan penghasil ketela pohon atau gaplek lebih menikmati tiwul (makanan pengganti nasi, terbuat dari bahan baku ketela pohon) ketimbang nasi.

Asumsi yang kedua adalah keluarga yang keracunan tadi, makan tiwul karena terpaksa. Logikanya dalam kondisi ketahanan (beras) yang mantap di daerah Jepara, kenapa masih saja ada keluarga yang makan tiwul? Faktanya memang hal inilah yang menjadi alasan besar, kenapa keluarga tersebut makan tiwul, berdasarkan pengakuan kepala keluarga tersebut, dengan penghasilannya yang hanya berkisar antara Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per pekan, dia hanya bisa membeli beras 10 kilogram dari biasanya bisa membeli hingga 16 kg untuk memenuhi kebutuhan delapan anggota keluarga (Kompas, 6 Januari 2010)

Dalam kasus asumsi pertama sangat mudah penyelesaiannya, karena permasalahan ini hanya berakar pada kurangnya pengetahuan warga dalam proses pengolahan. Solusi konkrit bisa dengan memberikan penyuluhan atau pemahaman tentang tata cara pengolahan tiwul yang benar dan sehat kepada masyarakat, sehingga mereka bisa tetap menikmatinya tanpa takut untuk keracunan. Atau malah justru murni karena factor kecelakaan (human error) dalam proses pengolahannya.

Namun, bila kejadian tersebut disebabkan oleh asumsi kedua, ini akan menjadi sebuah permasalahan besar yang mesti harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Implikasi dari ‘politik beras’ di masa lampau akhirnya membuat kebanyakan orang hanya mengenal beras sebagai sumber makanan pokok mereka. Pun, dengan politik pemberian bantuan beras miskin di era pemerintahan sekarang, yang seolah memaksa masyarakat untuk tetap mengkonsumsi beras dengan cara bagaimanapun dan dengan kualitas mutu yang rendah sekalipun. Di masa mendatang yang paling ditakutkan dari implikasi ‘politik beras’ ini, adalah adanya ketergantungan terhadap pangan (beras).

Politik penyeragaman pangan beras ini pada gilirannya juga telah menipiskan “hutan pangan” berupa umbi-umbian, pohon sagu, aren, buah-buahan di hutan dan juga “lenyapnya” lumbung padi di desa-desa yang semuanya merupakan persediaan pangan penduduk untuk keamanan pangan mereka. Muara akhir dari politik pangan seperti ini adalah makin tergantungnya masyarakat dan petani pada (cadangan pangan) pemerintah.

Diversifikasi Pangan sebagai alternatif solusi

Rawan pangan yang terjadi di Indonesia ini sebenarnya sangat terkait dengan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras. Beras sebagai makanan pokok telah dikenal masyarakat Jawa sejak dahulu, karena kondisi tanah di Jawa cocok untuk dijadikan sawah yang ditanami padi. Sedangkan daerah di luar Jawa, dengan kondisi alamnya lebih mengenal makanan non beras seperti jagung, sagu dan umbi-umbian sebagai makanan pokok mereka.

Dalam permasalahan rawan pangan tersebut, salah satu solusi konkrit adalah melalui diversifikasi pangan. Pada kebijakan diversifikasi pangan di masa lampau, pemerintah pernah menganjurkan konsumsi pangan pokok selain beras. Tetapi kebijaksanaan ini hanyalah reaksi terhadap krisis pangan, dan konsumsi masyarakat khususnya lapisan bawah dilakukan karena adanya keterpaksaan.

Diversifikasi pangan pada dasarnya mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Dari aspek produksi, diversifikasi berarti penganekaragaman komoditas pangan dalam pemanfaatan sumberdaya, pengusahaan maupun pengembangan produk (diversifikasi horizontal dan vertikal). Diversifikasi pangan dari aspek konsumsi mencakup perilaku yang didasari pertimbangan ekonomis (pendapatan dan harga komoditas) dan nonekonomis (selera, kebiasaan dan pengetahuan). Diversifikasi pangan dan pola konsumsi ini secara dinamis mengalami perubahan. Jadi, diversifikasi pangan selain merupakan upaya mengurangi ketergantungan pada beras, juga penganekaragaman dari beras ke sumber kalori dan protein lainnya yang lebih berkualitas.

Singkong misalnya, umbi yang menjadi bahan pokok pembuatan tiwul ini, mengandung karbohidrat sangat tinggi, sekitar 34-38 gram per 100 gram. Kandungan energinya 146-157 kalori per 100 gram bahan. Di satu sisi singkong ini memang memiliki kandungan asam sianida (HCN) yang bersifat racun, tapi bila diolah secara baik dan higienis, maka kita tak perlu khawatir untuk mengonsumsi produk olahan singkong yang justru mengandung karbohidrat yang tinggi ini. Begitu bahan pangan lainnya seperti sagu, jagung, kentang dan lain sebagainya, masing-masing memiliki keunggulan gizi dan tingkat karbohidrat yang tidak kalah dengan beras.

Namun sekali lagi, diversifikasi pangan tidak mungkin berhasil juga kalau hanya merupakan sebuah proyek belaka, tanpa komitmen dari pemerintah serta masyarakat untuk melaksanakannya.

*Penulis adalah Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar