Sabtu, 30 Januari 2010

Pesantren dan Pendidikan Multikulturalisme

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.

Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.

Pentingnya pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas, tentu bukan hanya merupakan tanggung jawab sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal saja, akan tetapi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan institusi-institusi lainnya. Dalam kerangka ini, pesantren merupakan salah satu institusi penting dalam penyelenggaraan pendidikan multikulturalisme. Hal ini didasarkan atas berbagai fungsi yang dimiliki oleh pesantren, baik fungsi pendidikan maupun fungsi sosial.

Pesantren sebagai salah satu ruang pendidikan formal dan nonformal, terutama dalam ranah pendidikan agama islam, merupakan sebuah potensi yang bisa digunakan untuk mengenalkan pemahaman mengenai multikulturalisme. Sebab dalam pesantren berkumpul beragam jenis manusia yang berlatar belakang etnik, suku dan budaya yang berbeda. Hal tersebut akan semakin kompleks bila kita hubungkan dengan masyarakat di sekitar lingkungan pesantren.

Seorang pengasuh pesantren atau kiai, ia bisa berperan sebagai culture broker (pialang kebudayaan) sebuah istilah yang pernah dikenalkan oleh Jezewski dan Sotnik (2001), dalam hal ini ia memiliki peranan yang penting dalam menanamkan pendidikan multikulturalisme di pesantren dan lingkungan sekitarnya. Sosok kiai ataupun ustadz sebagai orang yang dijadikan panutan, bisa membentuk karakter seorang santri untuk menjadi sosok yang toleran atau bahkan menjadi seorang yang eksklusif, bahkan cenderung ekstrem.

Dalam konteks ini, pendidikan pemahaman agama bisa menjadi salah satu faktor penentu pribadi seseorang akan pemahaman multikulturalisme. Karena itu, dengan asumsi agama berperan penting dalam pembentukan budaya, maka apa yang terkandung dalam gagasan multikulturalisme sesungguhnya menyangkut eksistensi agama itu sendiri. Agama bukan hanya diakui sebagai kekayaaan yang unik tetapi bisa menjadi sesuatu yang ikut lebur dalam tempat percampuran (melting pot) budaya yang diakui sebagai milik bersama. Ini sesungguhnya berpotensi untuk melahirkan —meminjam istilah Harold Titus (1979)— perang nilai (war of values) yang sebenarnya lebih dahsyat ketimbang sebuah benturan budaya seperti yang digambarkan Huntington.

Ahlu Hijab n Ahlu Syuhud

Pengajian al-hikam KH. M. Jamaluddin 4 Juli 2005
(innama yastauhisyu al-‘ubbadu…)

"...Ahlul hijab akan merasa risau atau nggersah (bahasa jawa) berkumpul bersama manusia, karena merasa manusia ataupun kaum itu justru menghambat untuk bisa wushul dan selalu ingat kepada Allah SWT..."

Orang yang mendekatkan diri kepada Allah untuk bisa wushul kepada-Nya, dibagi menjadi 2:

1.Ahlul hijab: orang2 yang mata hatinya masih belum bisa melihat Allah swt dalam segala sesuatu. Orang memandang dirinya ataupun suatu benda, yang terlihat ya dirinya ataupun benda itu. Orang tersebut masih tertutup ‘penglihatan hatinya’ dari Allah swt.

Ahlul hijab dibagi lagi menjadi 2:
-abid: orang yang mendekatkan diri kepada Allah agar bisa wushul kepada-Nya, dengan jalan memperbanyak ibadah (apapun jenisnya).
-zahid: orang yang mendekatkan diri kepada Allah agar bisa wushul kepada-Nya, dengan jalan tawakkal (pasrah).
Masih khawatir ketika berkumpul dengan kaum ataupun makhluk lain, karena bisa menghambat wushul kepada Allah swt. Missal, ketika dia mendapat uang dia masih khawatir uang tsb bisa jadi akan menggoda dia untuk menjadi sebab lupa kepada Allah swt Contoh lain, ketika berkumpul dengan seorang perempuan, seorang laki-laki akan merasa khawatir ia akan tergoda akan kecantikan wajahnya, dan pada waktu itu ia akan lupa pada Allah meskipun sesaat.

ada 2 tipe zahid:
a.’amah/Umum: tawakal dengan masih melaksanakan sarana/sebab. Sarana diserahkan kepada Allah.
b. khossoh/Khusus: tawakal mutlak,tidak melaksanakan sarana. Kalau Allah sudah berjanji dalam firman-Nya, ya percaya penuh akan ditunaikan janji-Nya. Misal masalah makan, itu sudah dijanjikan dalam al-qur’an (kullu dabbatin…), ya dengan kepasrahan penuh mereka tidak memikirkan lagi hal-hal tersebut. Mutlak waktu hidupnya digunakan untuk menjalankan hal-hal yang memang diperintahkan (ibadah).

kalau dapat undangan walimahan, kita sudah disiapkan dan disediakan makan, tempat dsb. Maka kita datang kesana ‘pasrah’ kepada apa yang sudah disiapkan tuan rumah, cukup dengan berpakaian yang rapi tanpa mesti membawa bekal atau tempat duduk dari rumah. Itu gambaran orang yang tawakal. Sebaliknya, orang yang belum bisa tawakal itu datang kesana berangkat dari rumah dengan membawa makanan (takut tidak diberi hidangan), membawa kursi (takut tidak dapat tempat duduk).

2.Ahlu syuhud: orang yang hatinya bisa melihat Allah swt. Setiap penglihatan yang tampak hanya Allah swt, dia memandang segala benda ataupun sesuatu tak nampak wujud benda itu, namun yang nampak hanya Allah swt.
-al-‘arifu/al-muhib: orang yang bisa melihat dan mencintai kepada allah sampai kepada tujannya. “…Tuhan ada dimana-mana…”.
Kisah ibu yang kena musibah, anak yang dicintai baru saja meninggal karena kecelakaan. Maka setiap saat setelah itu, yang dipikirkan ibu tersebut hanya si anak yang telah meninggalkan dirinya. Melihat sesuatu apapun, tetapi yang ada dalam pikirannya terus membayang si anak tadi. Seperti itulah gambaran orang yang hatinya sudah sampai kepada Allah swt secara mutlak.

Wirid dan Warid

Pengajian al-hikam KH. M. Jamaluddin 13 Juni 2005

Apa itu Wirid dan Warid?
Wirid: sesuatu yang dituntut Allah darimu. Segala bentuk macam ibadah baik dlahir dan batin, baik yang wajib maupun yang sunah. semua amal yang solih, yang untuk mengisi semua waktu dan dapat mencegah semua anggota dari perbuatan-perbuatan yang tidak disenangi.

Warid: sesuatu yang engkau harapkan dari Allah. Pemberian-pemberian Allah dalam hati hamba yang berupa keterangan hati ( termasuk kema’rifatan tentang Allah), nur cahaya (nur yang membuat dada lapang, dan nur yang membuat hati terang), kesenangan beribadah, taufik dan hidayahnya (pendapat salah satu ulama).


Maka dimanakah letak hubungan antara wirid dan warid?
Fadhilah wirid adalah mengandung warid. Orang yang mengetahui wirid, tapi tidak mengamalkannya, itu seperti orang yang tahu nilai harta tapi tidak mau memperhatikannnya (orang yang bodoh sekali/jahuul).

Dan bagaimanakah perbandingan antara wirid dan warid?
Wirid itu lebih baik daripada warid. Seperti amal lebih baik daripada pahala. Hal yang utama , adalah hal yang tidak ada gantinya ketika terputus. Amal dan wirid terputus ketika mati, warid dan pahala masih tetap diterima meskipun sudah mati. Wirid adalah tuntutan Allah dari hamba, sedangkan warid adalah harapan hamba dari Allah. jadi manakah yang lebih tinggi kedudukannya sesuatu yang dituntut oelh Allah dibandingkan sesuatu yang diharapkan oleh hamba?


Bagaimana sebaiknya kita dalam berwirid?
Wirid-wirid orang tarekat dibuat tidak panjang-panjang, maksudnya agar bisa dawam. Wirid yang berkelanjutan (dawam/langgeng), akan berkelanjutan pula warid yang ia dapatkan. Imam Ghozali, amal yang sedikit tapi langgeng, akan membekas. Jangan sampai kalau lagi senggang/sehat banyak, tapi pas sibuk berkurang bahkan tidak sama sekali.
"Ahabbu al-‘amalu ila allahi talaa’ adwaamuhaa wain qolla (amal yang paling disukai Allah adalah amal yang berkelanjutan, meskipun sedikit)."

tapi juga patut diperhatikan hadist:
“Manistawaa yaumahu fa huwa maghmuumun, wa man kana yaumuhu syarron fi yamsyihi, fa huwa mahruumun, wa man lam yakun fi maziidin, fa huwa fii nuqshonin. Wa man kaana fi nuqshonin fa al-mautu khairun lahu”. (al-hadist)
“kalau 2 hari itu sama, berarti dia rugi. Kalau lebih jelek dari yang kemarin, dia terhalang. Kalau dia setiap hari tidak bertambah amalnya, berarti dia merosot. Kalau dia tambah merosot amalnya, maka dia mati lebih baik daripada hidup”.

"al-Istiqomah khoirun min alfin al-karoomah”, amalan yang istiqomah lebih baih daripada 1000 karomah... wallahua'lam

Do'a

Pengajian al-hikam KH. M. Jamaluddin (4 April 2005)
(Mataa athlaqo lisaanaka bitholaka…)
"Sewaktu-waktu Allah melepas lisanmu untuk memohon kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan permohonan itu..."

Allah sering mengabulkan permohonan hamba meskipun hamba tersebut tidak memohonnya ataupun memohon dalam hati tanpa diucapkan, karena Allah Maha Mengetahui apa-apa yang diinginkan hambanya. Karena tugas hamba Allah cukup beribadah kepada-Nya dan Allah juga sudah menjanjikan segala kebutuhan manusia apabila kita taqwa kepada-Nya. Ada orang yang merasa malu untuk meminta kepada Allah masalah dunia, karena ia merasa semuanya sudah dicukupi oleh Allah. Tetapi untuk masalah ibadah (akhirat/agama) justru kita dianjurkan untuk selalu meminta kepada-Nya.

Doa itu diniati u beribadah (‘ud’unii astajiblakum…). Lisan yang tidak digunakan untuk berdoa (terkunci) itu menunjukkan ia tidak butuh kepada Allah. Hadist:” siapa yang berdoa dengan ikhlas pasti akan diijabahi, tapi pemberiannya bisa langsung, bisa ditunda ketika kita masih hidup atau bisa juga diberikan di akhirat.
Kita meminta, kadang tidak dikabulkan, siapa tahu kita sebetulnya tidak dikabulkan hal

Ada tipe doa:
1.(addu’a’ al-ikhtiyar/qashdi): berdoa dengan dibarengi ikhtiar (kalau kita berdoa mampu, tidak berdoa juga mampu). Pun dengan perbuatan, ucapan itu kalau kita bisa melaksanakan bisa juga tidak.
2.(addu’a’ adl-dloruri/iqtirori): berdoa yang keluar kita tidak bisa menghindarinya, itu akan dikabulkan di dunia tanpa ditunda diberikan di akhirat, bahkan bisa jadi langsung dikabulkan pada waktu itu juga. Contoh kita sedang naik pohon, jatuh. Pas kita jatuh tidak bisa kita hindari lagi untuk jatuh. Ataupun bentuk gerak reflek, yang itu tidak bisa kita pikirkan sebelumnya (spontanitas).

Kamis, 28 Januari 2010

100 hari...




By indah septiyaning on 28 Januari 2010 | 17:19


Solo (Espos)--Gelombang aksi unjuk rasa memperingati 100 Hari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono di Solo terus memadati Bundaran Gladak, Kamis (28/1).

Aksi ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Warga Solo (Awas) pun diwarnai ketegangan antara aparat keamanan dengan sejumlah pengunjuk rasa.

Berdasar pengamatan Espos, insiden tersebut bermula saat belasan personel pengendali massa (Dalmas) Poltabes Solo menyita ban bekas milik pendemo. Ketika itu, pengunjuk rasa sedang ancang-ancang membakar ban di dekat patung Slamet Riyadi sekitar pukul 11.00 WIB, sebagai puncak aksi.

Belum juga ban dibakar, belasan personel Dalmas bergerak cepat dan langsung membawa ban bekas ke Poslantas. Beberapa pengunjuk rasa yang merasa kecolongan pun langsung mengejar aparat ke pos polisi. Di depan Poslantas terjadi adu argumengasi antara Wakapoltabes Solo AKBP A Marhaendra yang memimpin pengamanan aksi, dengan perwakilan pengunjuk rasa.

Pengunjuk rasa berdalih agenda pembakaran ban sebatas simbolisasi dari aksi protes yang dilakukan. Namun permintaan pendemo ditolak tegas Wakapoltabes yang dikawal beberapa personel polisi dan anjing keamanan yang terus menyalak.

Mendapat perlakuan tegas, pendemo berang lantas mengultimatum supaya polisi tidak melakukan tindakan provokasi. Beruntung aksi demo yang diikuti oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-UNS, BEM Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), BEM Staimus, BEM Universitas Kristen Surakarta (UKS), aktivis Universitas Veteran (Univet), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), KAMMI, PMII serta Masakhi itu, berlangsung relatif aman

Senin, 25 Januari 2010

Ketika Manusia Menjadi Massa

Siapa pun kita, pejabat, wartawan, mahasiswa, ataupun suporter bola, ketika telah berkumpul dan menjadi massa akan tergoda oleh jebakan yang sama: kekuasaan. Dan, godaan kekuasaan selalu saja sama wajahnya: keangkuhan.

Ketika institusi formal tak lagi berwibawa, kekuasaan itu akan bergeser di jalanan, di balik kerumunan massa.

Pemassaan sebetulnya terjadi karena tuntutan untuk menjadi lebih berkuasa. Karena elemen2 dalam massa itu, ketika dipisah dan diurai adalah pihak2 yang relatif tak berdaya. Mereka adalah pihak yang gagal percaya pada lembaga maka untuk membuat akses, mereka perlu menjadi massa. Sebetulnya, pemassaan adalah pilihan terakhir, pilihan setelah semua pintu institusi tertutup atau tak lagi dipercayai.

Ketika wibawa hukum belum tegak sempurna, saat itulah gerakan massa akan menjadi euforia.

Rabu, 20 Januari 2010

Launching dan Halaqah FOSMINSA: Perangi Kemiskinan Di Kota Surakarta


Setelah melalui proses yang panjang, maka pada hari ini (19 Januari 2010), FOSMINSA (Forum Studi dan Silaturrahmi Warga NU Surakarta), melakukan launching. Launching dan Halaqah ini sekaligus untuk mengawali langkah yang telah terumuskan dalam visi, misi, maupun ikrar mereka.
Visi dari Fosminsa adalah “Mewujudkan masyarakat Surakarta yang cerdas dan sejahtera“, dengan mengusung Misi sebagai berikut;
Pemberdayaan Fosminsa yang merupakan Forum belajar dan silaturahmi bagi warga NU Surakarta
Penyadaran dan pendidikan warga akan Hak dan Kewajiban
Pendampingan warga dalam mendapatkan hak di sektor Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, dan Administrasi Kependudukan di Surakarta
Advokasi Kebijakan Publik khususnya di Kota Surakarta

Acara yang dimulai pada pukul 12.30 WIB ini mendapatkan banyak sambutan dari berbagai kalangan yang hadir. Diantara tamu undangan yang hadir dalam acara tersebut antara lain dari Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siraj, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU)Tengah (Drs. HM. Adnan, MA), Walikota Surakarta (Ir. Joko Widodo), Perwakilan The Asia Foundation Program CSIAP II (Bp. Alamsyah), Pengurus MWC NU se-Surakarta maupun dari Badan Otonom NU dan Pengurus Ranting NU Se-Surakarta.
Pada sambutannya, Direktur Pattiro Surakarta Alif Basuki, S.Sos.i menyatakan dengan dibentuknya Fosminsa ini mereka bisa memberikan warna tersendiri bagi Surakarta ke depan. Stigma dan pembenaran bahwa kaum Nahdhiyin berasal dari kalangan menengah ke bawah harusnya mampu diangkat kembali melalui Fosminsa dengan berbagai macam program yang telah disusun sebelum launching ini.
Sementara itu, Ir. Joko Widodo menyambut baik Fosminsa, serta mengharapkan peran serta warga NU yang tergabung dalam Fosminsa ini untuk ikut andil sebagai mitra di berbagai macam program pengentasan kemiskinan di Kota Surakarta. Tidak hanya melalui program-program yang ‘ngoyo-woro’, namun dari hal-hal kecil di lingkungan mereka seperti pembangunan ekonomi masyarakat ekonomi kecil.

Jumat, 15 Januari 2010

Menunggu Pansus Century, Ibarat Menunggu Godot


Waiting for Godot(Menunggu Godot)adalah naskah klasik karya Samuel Beckett tentang penantian oleh dua sahabat karib, Vladimir dan Estragon. Dua sahabat ini menunggu Godot, sesuatu yang tidak jelas sampai akhir cerita. Apakah Godot itu manusia, dewa, Tuhan, penyelamat, uang, atau binatang.

Mereka berdebat tentang rencana tidur selama menunggu Godot namun kemudian tidak jadi tidur karena takut Godot akan datang dan mereka tidak tahu kedatangannya. Mereka sepakat akan menggantung diri karena frustasi menunggu Godot yang tak kunjung datang. Namun rencana ini batal karena mereka tidak menemukan kata sepakat tentang siapa yang harus pertama kali bunuh diri. Begitu selalu. Mereka sibuk berdebat tanpa berbuat.

Seperti itukah kinerja Pansus Century??? sibuk 'menginterogasi' saksi-saksi terkait, tetapi tidak kunjung selesai dan tidak kunjung menemukan titik temu... hehe capek kita yg nonton

Jumat, 08 Januari 2010

JAlan-Kaki

Sudah 3 tahun terakhir ini si udin berangkat ngampus dengan berjalan kaki. Alhamdulillah, dengan berjalan kaki bisa membuat kakinya kuat dan badan dia juga masih seger waras (mungkin dengan berkeringat racun yang ada di dalam tubuh keluar). Sebenarnya sudah jadi kebiasaannya sejak dulu sering berjalan kaki, mulai dulu ketika ia di Madrasah Ibtida’iyah di kampung, kemudian berlanjut ketika sekolah MTsN, baru ketika SMA dia naik motor sampai awal kuliah. Harga BBM yang naik pada tahun 2005, memaksanya untuk menjual motor dan kembali meneruskan ’tradisi’ berjalan kaki.

Ada hikmahnya juga, ketika sedang berjalan kaki, si udin bisa menyapa tetangga, orang yang ia kenal, sembari memperhatikan betul lingkungan yang ia lewati. Dengan begitu, secara tidak langsung, terjadi interaksi antara si udin dengan lingkungan dekatnya. Berbeda mungkin, dengan teman-temannya yang naik mobil ataupun sepeda motor (tapi lagi2 y mungkin meskipun gak semua, tapi kecenderungannya) menjadi kurang interaksinya dengan lingkungan sekitar... bener gak? hehe

menunggu...

ketika saya sedang menunggu antrian 'ngenet' gratis di perpus pusat, ibarat saya sedang menunggu rejeki. banyak pilihan dan banyak kesempatan tapi ada saja hal yang bisa menyebabkan cepat atau lambat, bahkan tidak sama sekali kita untuk mendapatkannya.

pilihan dan kesempatan saya sebenarnya lumyan banyak dan luas, ada sekitar 40 unit komputer yang bisa dipakai. tapi untuk menggunakannya tidak selalu mulus, langsung bisa saya pakai. kadang mesti ngantri, kadang nyelip jatah mereka yg sudah dateng duluan, kadang diselip juga (karma kali), kadang yg sudah ditungguin (g merasa) kalau dia sudah ditungguin selama 1 jam, kadang sudah mengincar 1 komputer, eee.. taunya malah ketiduran (secara ruangannya jg ber-AC ^^).

pun dalam hidup kita, kadang nunggu skripsi di-acc aja kok susah bgt, kadang nunggu tawaran kerja kok lama bgt, kadang sudah dapat kesempatan u dpt jodoh malah disia-siakan, kadang nulis artikel di koran aja kok gak dimuat2, kadang kita lagi gak minta sesuatu, eee malah (sesuatu itu) datang sendiri...

begitulah dinamika.. tunggu-menunggu...

Dunia yang terbolak-balik

Realita kehidupan memberi gambaran kepada kita, bahwa segala trend sesuatu itu begitu mudah berubah. Kemarin saya nonton acara lomba nyanyi anak yang disiarkan oleh stasiun TV swasta. seingatku, lomba nyanyi anak di waktu aku kecil, lagu yang dinyanyikan ya lagunya anak-anak, lagu nasional yang bertema patriotisme, atau lagu daerah setempat yang dimaksudkan agar si anak juga mengenal kebudayaan daerahnya. Tapi kenyataan pada masa kini, para penyanyi cilik yang ikut lomba tadi, menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan percintaan, patah hati, dan lain sebagainya. Jauh dari tema ‘lagu anak’.

Pola pikir yang sama (mungkin) juga terjadi pada anak-anak di Indonesia secara umum, adik saya yang masih kelas 5 waktu itu, lebih hafal lagu-lagunya UNGU, WALI, dll daripada lagu abang tukang bakso, gundul-gundul pacul ataupun garuda pancasila. Begitu massifkah pengaruh media yang sehari-hari mereka konsumsi secara bebas, sehingga mereka menjadi dewasa lebih dini.

Lain lagi dengan trend fashion. Model baju belum jadi (saya menyebut demikian), dengan potongan baju atas yang semakin turun dan bawahan yang semakin naik, menjadi ‘pemandangan’ yang sudah umum. Entah itu di TV, di mall, dan di tempat umum lainnya. Entah ini ada kaitannya dengan efek pemanasan global atau apa, sehingga mode buka-bukaan menjadi sesuatu yang lumrah. Kalau dulu wanita-wanita berpakaian minim tadi, hanya saya lihat di film warkop DKI. Sekarang, hampir setiap stasiun TV menawarkan pemandangan yang sama. Tidak cukup itu, mereka juga muncul dalam dunia nyata yang setiap harinya ada di sekitar lingkungan kita.

Meminjam kalimat dari Prie GS, tak ada laki-laki yang tak lemah menghadapi wanita, apalagi wanita canti. Sudah cantik seksi lagi. Sudah seksi ‘minim’ lagi. Sudah minim nantang lagi. Padahal, mereka hanya menantang untuk kemudian lari. Kiamat. Kiamaat!

Melihat wanita itu aku seperti melihat uang hasil rampokan di depan mataku. Aku perlu uang, tetapi takut memkai uang yang bukan hakku. Malangnya, uang-uang yang aku takutkan itu malah selalu mengitari rumahku, menggedor-gedor pintu, dan mengintip di kamar-kamar tidur. Woo, pusing, pussing beraat!

Sungai Sengkarang, Riwayatmu Sekarang

Di sungai yang terletak tak jauh dari kampung halamanku. Tak nampak lagi wajah gembira bocah-bocah yang tengah bermain mandi lumpur. Pun tak terdengar lagi, suara teriakan mereka waktu melompat dari sebuah batu besar lalu memecah derasnya arus sungai.

Warna sungai yang dulu nampak jernih, kini menjadi kecoklatan berhiaskan sampah-sampah yang mengapung terbawa arus. Sesekali benda itu terhenti diantara bebatuan kali yang hijau berlumut.

Sungai air mata, yang dibangun dengan tetesan air mata dan cucuran peluh keringat, hasil kerja rodi di zaman kolonial. Kini tengah menunggu nasib, untuk menjadi kali ciliwung ataupun kali banger baru.

Sungai Sengkarang, riwayatmu sekarang.

Intip Goreng Buruk Rupa

Beberapa waktu yang lalu, saya mampir ke sebuah tempat pembuatan intip goreng, panganan oleh-oleh khas solo. Panganan yang berbahan dasar dari pasi/ampas nasi (kerak) ini gurih rasanya. Tapi saya lebih suka intip goring yang dilumuri ‘kinco’ (gula merah yang direbus), yang berasa gurih bercampur manis.

Di sebuah gubuk yang terletak persis di dekat lintasan rel kereta api Solo-Purwodadi itulah, setiap harinya Bu Siti (nama samaran), menggoreng tak kurang dari 50 intip per hari. Bahan dasar intip goreng tadi, didapat dengan membelinya per kilo dari pengepul yang kebanyakan berasal dari daerah Boyolali. Kerak nasi ini memang sulit dicari, karena sudah jarang orang yang memasak dengan memakai tungku.
Intip yang sudah digoreng akan berubah warna menjadi kecoklatan (hangus). Kalau dibandingkan dengan intip goreng yang banyak dijual di pasaran, intip yang diproduksi Bu Siti ini bentuknya terlihat agak ‘jelek’. Bentuknya yang tidak simetris serta warnanya yang hangus, memberi kesan awal kepada saya pasti rasa dan harganya lebih murah disbanding intip goreng yang biasa saya beli di sekitar Pasar Klewer, yang bentuknya bundar simetris serta dengan kemasan yang menarik.

Aih, setelah saya menawar harga untuk membelinya, ternyata saya salah besar. Dibalik bentuknya yang ‘jelek’ dan warnanya yang coklat hangus itu ternyata mempunyai rasa yang lebih gurih dan harganya juga lebih mahal dibanding ‘intip pasaran’. Untuk kesekian kalinya saya tertipu oleh tampilan luar sesuatu. Akhirnya, saya membeli tiga bungkus untuk oleh-oleh. Biasanya, intip yang saya beli ‘sepi peminat’, tapi kali ini lain. Langsung habis tiga intip tersebut dalam sehari… ckck kalau hal ini entah intipnya yang enak, atau kawan-kawan saya sedang lapar. hehe

Perkawinan dan Kesepakatan

Kemesraan dalam pacaran dalah tipuan, kebosanan dalam perkawinan adalah ujian, dan pertengkaran dalam rumah tangga adalah hikmah.

Itulah kenapa di dalam perkawinan muncul kejutan-kejutan. Kejutan yang tiak ditemukan dalam masa pacaran paling intensif sekalipun. Karena pacaran adalah dunia simulative kalai malah bukan manipulative. Pacaran adalah periode mengintip kenyataan sebagai dunia yang telah terlihat, tapi belum terasakan.

Kenyataan mengajarkan kepada kita, betapa seserte keindahan yang dikenyam pada masa jatuh cinta memuat unsur fatamorgana. Ia merangsang kita. Membuat kita bergairah untuk berlari, berfantasi dan melambung.

Namun, sesungguhnya pusat gairah dan keindahan itu maya, nyaris tak ada, walau indah luar biasa. Itulah kenapa untuk tegang dan berdebar, seseorang cukup melihat genting rumah kekasihnya atau meniti jalan yang pernah dilalui bersama.

Pada masa pacaran, seseorang bisa mabuk dan melayang oleh hal-hal yang ‘kurang masuk akal’ sekalipun. Dan, tugas perkawinan adalah segera menyadarkannya. Perkawinan mengajak melihat dunia dari dekat dan tinggal di dalamnya. Bahwa yang indah itu sesungguhnya biasa-biasa saja. Bahwa yang bikin melambung itu sesungguhnya tak pernah menerbangkan kita ke mana-mana.

Kita tetap saja di sini, begini dan seperti ini. Harus melihat istri atau suami bangun tidur, jelek dan berengsek. Kita bersinggungan langsung ke jantung realitas betapa ada sisi buruk dari pasangan yang tak pernah kita duga. Sisi itu tak harus yang besar dan dramatis, cukup yang simple dan unik, misalnya bau keringat, menguap sembarangan, dan dengkur kala tidur.

Kelakuan, pembawaan, dan kebiasaan pasangan, menyadarkan kita bahwa dia ‘Cuma’ manusia biasa, begitu pula kita. Wajar kalau kita bosan, jenuh dan marah. Itulah watak kenyataan, selalu mengatakan apa adanya. Inilah ujian perkawinan. Ia menantang kita untuk menaklukkan rasa bosan, jenuh dan kemarahan.

Pada periode inilah manusia harus memecahkan teka-teki antara cinta dan kasih saying, tresna kata orang Jawa. Cinta pada periode pacaran sangat berbeda dengan tresna kata orang Jawa. Ada jenis cinta yang dibangun atas dasar perasaan posesif, erotis, dan egoistis. Sedangkan kasih saying, tresna itu, berdasar dari kebaikan hati, rasa haru, dan empati.

Dalam berempati, manusia lebih tidak menginginkan apa-apa sebagai imbalan. Dan, bagi yang percaya, keindahan yang ditimbulkan jauh lebih berlipat keindahannya dari keindahan erotis sehingga meskipun pasangan sudah mulai rusak raganya, masih ada jiwa, ada kasih saying, keindahan yang tak pernah habis-habis untuk ditambang.

"ambil air, sekarang so dekat!"


anda pernah liat iklan dengan kalimat berikut ini di TV:

"ambil air, sekarang so dekat!
beta sonde pernah terlambat lagi.
lebih mudah bantu mama ambil air untuk mandi adik .
karena mudah ambil air katong bisa hidup sehat .
kalau seandainya air macet, kita mencekkan setiap hari.
Mengurus air, pompa, dan dibentuk panitia spuluh orang."


juga kalau beli aqua kemasan apapun, ada tulisan seperti ini:
1 L A*** = 10 L air bersih

Kalimat di atas adalah tagline untuk iklan Corporate Social Responsibility (CSR) A***. Programnya sendiri dinamakan Satu untuk Sepuluh, bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menjadi mitranya untuk membantu menyediakan fasilitas air bersih. Tidak terbatas pada air bersih, program ini juga melakukan pemberdayaan masyarakat, LSM dan otoritas lokal.

"tapi apa benar image dari iklan CSR tsb (memecahkan solusi krisis air), betul-betul sepadan dengan manfaat yang diberikan (memecahkan solusi krisis air) dan kekayaan alam (baca:sumber air) yang mereka ambil?" kata salah seorang pegiat lembaga kajian yang konsen di bidang ini.
"program itu cuma berjalan di satu dua desa." lanjut dia, "mungkin itu CSR yang ditumpangi kepentingan marketing".

yang pasti kerusakan yang ditimbulkan, efeknya sudah mulai dirasakan warga sekitar lawu, klaten, tak tahu lah yang lain mungkin lebih hebat lagi efeknya...