Selasa, 28 Juli 2009

Ada Apa Di balik Kemenangan SBY?


Hasil sementara penghitungan cepat yang dilakukan KPU, memunculkan pasangan Capres SBY-Boediono sebagai pasangan yang paling banyak memperoleh suara, kurang lebih dari 60% suara yang didapat meninggalkan jauh kedua pesaingnya, yakni pasangan Mega-Pro dan JK-Win. Apa sebenarnya yang membuat perolehan suara kedua pasangan yang dicap oleh sebagian pihak sebagai pendukung neo-liberalisme ini, hingga mencapai lebih dari 50% dari total suara?
Pertama, adalah faktor SBY sebagai Presiden incumbent, sehingga faktor kepopuleran beliau di mata rakyat menjadi nilai plus disbanding kedua pasangan lain. Pasangan lain yang juga Wapres incumbent, Jusuf Kalla tidak begitu signifikan pengaruhnya, karena bagaimanapun tetap Presiden lah yang akan disorot oleh rakyat mengenai kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah begitu populis di mata rakyat, khususnya masyarakat menengah ke bawah, dengan kebijakan BLT (Bantuan Langsung Tunai), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), meskipun banyak pihak mengklaim tentang siapa yang berinisiatif mengeluarkan kebijakan itu, namun pada akhirnya tetap SBY-lah yang dianggap mengeluarkannya. Ketegasan SBY pada korupsi pun, cukup signifikan mendongkrak popularitasnya.
Di kalangan menengah ke atas, terutama para pelaku usaha, mereka terbantu dengan situasi keamanan nasional yang lumayan stabil. Keberadaan Boediono juga ikut menjadi faktor kepercayaan para pelaku ekonomi, karena pada masa beliau menjabat menjadi Menko Perekonomian dan Gubernur BI, kondisi perbankan perlahan mulai stabil.
Faktor kedua, acara debat yang dilaksanakan oleh beberapa TV swasta sebelum Pemilu, juga turut mendongkrak perolehan suara beliau, karena disitu gaya bicara dan argumentasi masing-masing Capres bisa menjadi penilaian tersendiri bagi para pemirsa, meskipun mungkin sebelum acara sudah di-setting sedemikian rupa, namun tetap ada sedikit banyak pengaruhnya.
Faktor ketiga, justru datang dari perpecahan yang ada pada pesaing-pesaing SBY. JK yang mencalonkan diri dari Golkar, ternyata tidak sepenuhnya didukung oleh para petingginya, tercatat nama-nama seperti Abu Rizal Bakri justru merapat ke kubu SBY. Dari kubu Mega-Pro, meskipun masih mendapat dukungan kuat dari massa PDI-P, namun koalisi yang dibangun belumlah cukup untuk mendongkrak suara, bahkan di Jateng sendiri yang notabene sebagai basis kubu Mega, SBY mampu unggul.
Berbeda dengan pasangan lain, koalisi yang dibangun SBY begitu kuat karena didukung oleh banyak partai, dari yang berhaluan nasionalis sampai islam. Meskipun demikian, koalisi semacam ini bisa menjadi bumerang bagi SBY kalau benar-benar terpilih kembali menjadi Presiden. Politik bagi-bagi kekuasaan pun tidak bisa dihindari, sebagai “balas-budi” kepada partai-partai pendukung kemenanganya.
Terakhir, SBY yang konon memiliki jaringan intelejen yang cukup tersebar luas di Indonesia, turut banyak membantu keberhasilan beliau dalam dalam meganalisis dan mengorganisir massa secara rapi.
Pada akhirnya selamat kepada siapapun Presiden yang terpilih. Semoga beliau bisa menjalankan amanah dengan baik untuk membawa Indonesia kepada kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Minggu, 26 Juli 2009

Hawa

Bila saya berkunjung terlalu sering,
dia bilang bosan
Bila saya jarang datang,
dia menuduh saya berkhianat

Bila saya dikunjungi gadis lain,
dia mengeluh saya mulai serong
Bila dia yang dikunjungi cowok lain,
dia bilang ‘ah, itu hal biasa bagi seorang cewek’

Bila saya berpakaian necis,
dituduhnya saya playboy
Bila saya dandan serabutan,
dia bilang saya kampungan

Bila saya asyik bicara,
dia minta saya mendengarkan
Bila saya mendengarkan,
dia minta saya bicara

Bila saya setujui semua pendapatnya,
saya disebut pembembek
Bila saya berbeda pendapat,
saya dituduh tidak pernah memahaminya

Bila saya memujinya,
dia bilang saya berbohong
Bila saya mengkritiknya,
dia bilang saya tidak punya perasaan


Bila saya bertindak romantik,
dia menuding saya laki-laki yang sudah berpengalaman
Bila saya tidak romantik,
dia bilang saya benci

Bila saya jarang menciumnya,
dibilangnya sya laki-laki dingin
Bila saya sering menciumnya,
dibilangnya saya binatang buas

Bila saya gencar memesrainya,
dia bilang saya tidak menghargainya sebagai wanita
Bila saya diam saja,
dia mengira saya tidak mencintainya

Bila saya cemburu,
dia bilang saya kelewatan
Bila saya tidak cemburu,
dia mengira saya tidak lagi peduli padanya

Bila saya tidak menggandengnya saat menyebrang jalan,
saya dikecam tidak gentleman
Bila saya menggandengnya,
dia menuduh ‘ah, itu cuma taktik laki-laki yang suka bergaya’

Gadis, wanita, perempuan, memang ibarat cuaca,
sulit betul ditebak perilakunya

(2000, Eko B.)

Senin, 20 Juli 2009

Terorisme

Entah ada hubungannya atau tidak dengan kedatangan Manchester United ke Jakarta, yang pasti teror bom beberapa waktu yang lalu kembali mencoreng muka bangsa Indonesia. Sebagian pihak bahkan kembali mengkaitkan aksi ini dengan aksi jihad. pemaknaan jihad yang keliru pada akhirnya juga ikut mencoreng citra agama islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Aksi terorisme ini sebenarnya berawal dari suatu ketakutan semu. Kegentaran atau ketakutan merupakan perasaan inferior sehingga dapat diciptakan atau dengan jalan menakut-nakuti maka akan timbul ketakutan, yang akan menjauhi sesuatu, sehingga timbul suatu sikap negatif atau kebencian. Hal ini pada masa sebelum Masehi telah dimanipulasikan dalam menciptakan pertentangan Kekaisaran Caesar dan Augustus oleh Cicero. Manipulasi oleh Cicero telah dibayar dengan mahal, yaitu Cicero akhirnya harus menjalani hukuman gantung sampai mati sehingga dia terkena bumerang pernyataannya, yaitu: “Ciptakan ketakutan meskipun harus menimbulkan kebencian” (ode rint dum metuant).
Sejarah perang dan persengketaan mencatat peristiwa spektakuler untuk menciptakan ketakutan meskipun harus dengan menimbulkan kebencian yang dilakukan oleh teroris psikopat. Bagi teroris tidak menjadi masalah bahwa yang dikorbankan adalah orang-orang yang tidak berdosa sebab yang penting adalah menimbulkan ketakutan untuk memaksakan kehendaknya (blackmail). Menurut Freud, pada setiap makhluk hidup, termasuk manusia, ada naluri penghancuran, dan karena itu teroris pun akhirnya ikut membunuh diri sendiri (bersama yang disanderanya) sambil meninggalkan ketakutan di dalam masyarakat.
Turut berduka untuk korban bom di Jakarta dan korban-korban tak bersalah lainnya di segenap penjuru dunia.

Indonesia Di Tengah Pasar Bebas

Ada banyak cara untuk memulihkan ekonomi,
salah satunya, menjual hati nurani
(Acep Zamzam Noor)

Dalam peradaban baru dunia global, kemajuan teknologi dan informasi menjadi infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan ekonomi neoliberal. Melalui teknologi informasi, pemegang modal raksasa di sektor keuangan dan industri dengan mudah memindahkan modalnya dari satu negara ke negara lain hanya dengan memencet mouse komputer.
Selain teknologi informasi, sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh pemodal raksasa dari negara-negara dunia pertama. Tanpa menutup optimisme, andai kita jujur, Indonesia dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global. sebabnya dalam konsep international division of labour teori world-system, negara-negara dunia pertamalah yang menguasai sistem dunia saat ini sebagai negara pusat (core) yang sebagian tergabung dalam kelompok G-8, muara aliran surplus ekonomi yang bersumber dari negara-negara periphery (pinggiran/berkembang) dan semi periphery.
Negara-negara pusat memainkan peran strategis dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Sebagai contoh ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdagangan barang lintas negara. Cara pandang penerapan aturan dalam ISO mengacu pada cara pandang negara dunia pertama, yang jelas berbeda dengan cara pandang megara-negara dunia ketiga. Aturan tersebut banyak merugikan negara-negara dunia ketiga pada hukum besi mekanisme pasar. Lalu bagaimanakah tindakan kita setelah mengetehaui kenyataan tersebut?
Strategi Gerakan di Tengah Arus Globalisasi
Akhir abad XX dan abad XXI ini kita telah menyaksikan maraknya gerakan anti globalisasi yang telah mengharu-biru dan terus menyebar ke negara-negar Dunia Ketiga. Bagaimanapun, ketahanan dan kekuatan gerakan itu masih akan diuji oleh sejarah. Namun secara logis gerakan konfrontatif semacam itu akan mengalami kegagalan dalam situasi seperti sekarang, karena nalar anti globalisasi pada dasarnya sama dengan nalar globalisasi. Di dalamnya tidak terdapat ruang strategi.
Di negara-negara maju gerakan semacam ini dimungkinkan karena ditopang oleh kesadaran strategis yang mendalam, sementara di negara-negara periphey seperti Indonesia gerakan ini menjadi semacam gerakan konsorsium LSM anti globalisasi yang (justru) mengajukan diri untuk mendapatkan kucuran dana dari funding agency. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak funding agency yang juga merupakan kepanjangan dari rezim modal.
Gerakan itu, katakanlah benar-benar didasari oleh suatu keyakinan bahwa globalisasi telah membunuh ekonomi masyarakat kecil, namun apabila gerakan itu tidak mempertaruhkan sebuah skenario pasca-perlawanan maka gerakan itu hanya akan menjadi ajang heroisme individu-individu belaka. Dalam keadaan demikian gerakan mudah dimanfaatkan oleh para akar politik untuk meraih keuntungan Lantas apakah gerakan yang tepat adalah gerakan pro atau anti globalisasi?.
Gerakan pro globalisasi tanpa reserve berarti menghanyutkan diri dalam arus globalisasi tanpa pengetahuan yang cukup bagaimana harus menepi, karena sekali tersedot arus maka sulit untuk kembali. Bentuknya paling kongkrit adalah menjadi agen kepentingan-kepentingan global. Hanyut dalam arus neoliberalisme berarti menjadikan uang sebagai tanah air dan bangsa. Dalam kenyataan neolib saat ini, semua itu merupakan pintu aliran keuntungan bagi pemodal raksasa.
Sedangkan dalam gerakan anti globalisasi, didominasi oleh nalar anti asing (xenophobia) yang melihat setiap orang luar yang masuk ke dalam wilayahnya sebagai ancaman tanpa mencoba mengambil manfaat dari interaksi yang terjadi antara keduanya. Gerakan ini menafikan interaksi dan komunikasi. Nalar ini berguna jika secara strategis digunakan untuk membangkitkan semangat dan kreativitas internal berhadapan dengantantangan global tadi. Tetapi dampak yang ditimbulkan adalah isolasi diri dari pergaulan dunia tanpa mencoba belajar dari keberhasilan negara-negara lain, meskipun tidak harus mengikuti jalan mereka.
Baik gerakan pro atau anti globalisasi akan mengalami kegagalan karena tidak memilki disain gerakan untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka panjang. Dalam situasi sekarang, maka strategi gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bertahan di tengah-tengah tekanan dan kuatnya penetrasi struktur global.
Maka mulai sekarang, coba kita analisis dimanakah posisi gerakan kita sekarang, kemudian coba kita rumuskan suatu disain gerakan untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka panjang.
(TIM/ Disadur dari buku Multi Level Strategi Gerakan PMII)

Sabtu, 18 Juli 2009

Islam:Pluralisme dan Khilafah

Indonesia, sebuah negeri yang memiliki banyak keragaman baik suku, bahasa, budaya dan agama, menjadi suatu kelebihan dan kekuatan ketika keragaman itu mampu disatukan ke dalam satu integritas kebangsaan. Namun, di sisi lain potensi tersebut bisa mengarah pada perpecahan bahkan peperangan manakala berbagai keragaman tersebut tidak disikapi dengan arif.

Dalam islam, perbedaan menjadi sunnatullah, dus bagaimana kita menyikapinya agar perbedaan itu menjadi sebuah rahmat bukan sebagai adzab. Seperti kita tahu, dalam umat islam pun terdapat berbagai golongan, fikrah, aliran, madzhab yang sebenarnya memiliki satu kesamaan muara yaitu tentang ketauhidan dan kehambaan kepada Allah swt. Cuma yang menjadi perbedaan adalah bagaimana jalan yang mereka tempuh atau ikhtilaf dalam hal pemaknaan al-qur’an dan hadist. Dari sinilah mulai muncul berbagai konflik, pertentangan, bahkan peperangan yang banyak memakan korban jiwa. Antara satu golongan dengan golongan lain saling mengklaim bahwa dirinya yang paling benar.

Pluralisme Islam dan Khilafah dalam konteks kekinian

Gagasan pluralisme yang banyak digaungkan oleh pihak barat (Amerika dan Eropa), banyak mempengaruhi para pemikir islam untuk membentuk suatu konsep agama islam plural (rahmatan lil ‘alamin). Konsep ini padahal sudah ada, bahkan jauh sebelum orang-orang barat mempopulerkan istilah itu.

Dalam sejarah islam, ketika pada masa ekspansi islam ke negeri-negeri di daerah Romawi, Byzantium, Persia. Ternyata islam lebih diterima oleh penduduk negara itu. Karena tanpa disadari (terselip gagasan pluralitas), pada saat islam berhasil menduduki negeri itu, penduduk merasa terbebaskan oleh ajaran islam yang tidak pernah memakai cara memaksa dalam penyebarannya. Sehingga merekapun bisa hidup berdampingan bahkan sampai beratus-ratus tahun. Hal ini tidak terjadi pada agama lain seperti contoh Budha, yang memaksakan satu agama, sehingga agama Budha yang lahir di India tapi justru menghilang dan akhirnya berkembang di Sri Lanka, Jepang dan Cina.

Sedangkan konsep khilafah, merupakan sebuah konsep negara yang sistem dan pemerintahnya menggunakan syari’at islam sebagai landasannya. Dalam khilafah terdapat istilah daarul islam (pemerintahan islam) dan daarul harbi (negeri di luar kuasa pemerintahan islam). Penggolongan tersebut lebih pada konteks dan situasi saat itu yang akhirnya beberapa ulama memunculkan istilah tersebut (istilah tersebut tidak pernah disebutkan dalam al-qur’an dan hadist). Istilah tersebut bisa dimaknai sebagai negeri yang damai (daarul islam) dan negeri perang (daarul harb), kemudian diantara keduanya terdapat daarul shuluh.

Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan yang mengutamakan integritas bangsa, maka sangatlah relevan ketika wacana pluralitas islam digulirkan. Dan bukan berarti pluralitas itu menyamakan semua perbedaan, namun bagaimana kita menyikapinya dalam mengatur perbedaan tersebut agar bisa hidup berdampingan sedangkan konsep kekhalifahan bisa jadi berbenturan dengan konsep integritas bangsa yang telah digagas oleh para founding fathers kita sejak dulu.

Dalam konteks kesufian, yang memandang bahwa pada hakikatnya semua adalah makhluk Tuhan, dan sejelek apapun dia menurut kita dia tetaplah sama seperti kita yaitu sebagai hamba-Nya.

Wallahu a’alam bi showab...

Minggu, 05 Juli 2009

Sajadah Hijau

Sajadah hijau
Yang kumal dan lusuh

Menjadi saksi, pertemuan seorang hamba
Menghadap Rabb-nya Yang Maha Mulia

Begitu kutundukkan wajah
Terbayang hamparan permadani surga
Permadani yang berwarna hijau
Ya, warnanya sama dengan sajadah itu

Sajadah hijau
Yang kumal dan lusuh

Menjadi bukti, ketundukan seorang hamba
Sujud kepada Rabb-nya Yang Maha Perkasa

Begitu kubenamkan wajah
Kubayangkan Engkau hadir di depan hamba
Hamba yang kumal dan lusuh karena dosa
Ya, bahkan lebih kumal dari sajadah itu

Sajadah hijau
Yang kumal dan lusuh

Menjadi saksi bisu cintaku pada-Mu
Hingga wajahku rela mencium tanah-Mu yang “hina”
Menjadi saksi bisu keangkuhan hamba-Mu
Hingga keningku tak ingin menyentuh tanah-Mu yang “suci”

Ya Rabb...
Entah mana yang kan Kau terima
Wujud cinta atau keangkuhanku kah?
Ku hanya bisa berharap pada rahmat dan cinta-Mu...

Ya Rabb...
Hanya kepada-Mu Lisanku ini merintihkan keluhan
Hanya kepada-Mu kumohon bantuan dalam setiap tujuan
Dan hanya kepada-Mu kumengeluh dalam segala kepentingan

(Kaplingan, 23 Juni 2009)