Rabu, 05 Maret 2014

Mbah Sahal dan Warisan Fikih Sosial

 
Dimuat di GAGASAN Solopos dan Kolom NU Online, Edisi Senin 27 Januari 2014 

Oleh : Ajie Najmuddin*

Seminggu menjelang peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-88, warga Nahdlatul Ulama (NU) dilanda duka, Rais ‘Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh diberitakan telah wafat pada Jumat 24 Januari 2014 sekitar pukul 01.05, di kediamannya kompleks Pondok Pesantren Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah. (NU Online, 24 Januari 2014)
Kabar ini tentu menjadi duka yang mendalam, tidak hanya bagi warga NU semata, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Mbah Sahal begitu beliau biasa dipanggil para santrinya, saat ini masih menjabat sebagai Ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menunjukkan bahwa sosok Mabah Sahal ini, memang seorang ulama yang mendapatkan kepercayaan umat serta memiliki kedalaman ilmu dan keluasan wawasan.
Produktif Menulis
Pengasuh Pondok Maslakul Huda Pati ini juga dikenal sebagai ulama yang produktif menulis. Karya tulisnya lebih dari 100 judul artikel di berbagai media masa dan sebagian telah dibukukan, di antaranya berjudul Nuansa Fiqih Sosial, Ensiklopedia Ijma’. Oleh karenanya wajar apabila Mbah Sahal mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (DR. HC) dalam bidang ilmu fikih dan pemikiran keislaman dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2003.
Selain dalam bahasa Indonesia, Mbah Sahal juga menulis dalam bahasa Arab, atau di pesantren biasa dikenal dengan istilah kitab kuning. Salah satu karya fenomenal beliau adalah kitab Thariqatul Hushul ala Ghayatil Wushul, sebuah kitab yang menjadi penjelasan dari kitab Ghoyatul Wusul, karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshori, salah seorang ulama Syafi’iyyah yang hidup di abad ke-9 Hijriyah. Ironisnya, kitab Thoriqotul Husul ini menjadi bahan kajian di Universitas Al-Azhar Mesir dan sejumlah perguruan tinggi di Yaman, namun malah belum banyak dikenal di pasca sarjana perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Ada kisah menarik, di tengah proses ia menulis kitab Thoriqotul Husul ini. Ketika Kiai Sahal muda tengah berguru kepada Kiai Zubair Pesantren Sarang Rembang. Salah satu kitab yang didiskusikan adalah Ghoyatul Wushul karya Syekh Zakariya Al-Anshori ulama syafiiyah abad 9 Hijriyah. Diskusi berlangsung secara intensif. Kiai Zubair juga senang membuat pancingan. Terjadilah perbincangan dan Kiai Sahal pun rajin membuat catatan (ta’liqat) dalam bahasa Arab.
Hobi menulis dilanjutkan dengan mengirimkan surat (murosalah) kepada Syekh Muhammad Yasin Padang, seorang kiai pesohor dari Indonesia yang menjadi ulama besar dan menetap di Tanah Suci. Kiai Sahal mengomentari tulisan Syekh Yasin dalam satu kitab, membantahnya dengan argumentasi berdasarkan kitab yang beredar di Jawa. Satu surat berisi sekitar 3-4 lembar, berbahasa Arab.
Syahdan, ketika turun dari kapal, saat Kiai Sahal menginjakkan kaki di Mekkah, seseorang tak dikenal langsung memeluknya dan menariknya ke sebuah warung. Seseorang itu tidak lain adalah Syekh Yasin sendiri. Mungkin dalam surat terakhir Kiai Sahal menuliskan bahwa dirinya akan menunaikan ibadah haji.
Kiai Sahal diminta tinggal di rumah Syekh Yasin. Setiap pagi ia bertugas berbelanja ke pasar membeli kebutuhan Syekh Yasin. Dan setelah itu Kiai Sahal berkesempatan belajar dengan seorang ulama besar yang diseganinya itu selama dua bulanan. Dalam diskusi dan perdebatan, Syekh Yasin mendudukkan Kiai Sahal seperti teman diskusi.
Dua bulan pertemuan, Syekh Yasin mengijazahkan banyak kitab yang menginspirasi Kiai Sahal menulis banyak kitab. Dan ta’liqot yang ditulisnya saat belajar bersama Syekh Zubair dirapikan kembali. Terkumpul 500-an halaman dan belakangan dibukukan menjadi satu kitab bertajuk “Thoriqatul Husul”. (Anam, 2013)
NU Setelah Kepergiannya
Sebagai Rais ‘Aam Syuriyah PBNU, Mbah Sahal memiliki sumbangan tersendiri bagi perkembangan organisasi. Ia meneruskan sumbangan-sumbangan pemikiran dan misi yang telah dibawa oleh para pendahulunya.
Seperti yang pernah dipaparkan Abdurrahman Wahid (1991), setiap Rais ‘Aam membawa pemikiran dan misinya. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar membawakan ketinggian derajat kompetensi ilmu keagamaan yang sangat tinggi ke dalam tubuh NU. KH Wahab Hasbullah membawakan kegigihan pluralitas politik, yang masih bertahan dalam tatanan politik kita saat ini.
Lain lagi dengan KH Bisri Syansuri yang membawakan dua hal yang sebenarnya saling berlawanan; kegigihan membela hukum agama di hadapan proses modernisasi yang sering berbentuk sekuler. KH Ali Maksum, KH Achmad Shiddiq dan lain sebagainya, masing–masing membawa misi yang konstruktif dan saling memantapkan satu sama lain.
Sedangkan pada sosok Kiai Sahal, yang menjadi Rais ‘Aam sejak tahun 1999, memiliki karakter khas pada pengembangan fikih sosial dan fikih kontekstual. Masalah muamalat dan sosial menajdi banyak sorotan Mbah Sahal. Pendekatan yang sering dipakainya adalah pendekatan maslahah atau kemaslahatan.
Hal ini pernah disampaikan sendiri oleh Mbah Sahal usai menerima gelar HC, Pilihan-pilihan tersebut saya dasarkan pada kenyataan yang menunjukkan, betapa banyak masyarakat yang belum mampu menyentuh gagasan-gagasan yang njlimet dari pakar. Karena itu saya concern , inilah yang membuat saya menetapkan fiqih sebagai pilihan untuk dijadikan jembatan menuju pengembangan masyarakat. (Sahal, 2003)
Fikih dipandangnya, tidak saja memberikan hukum halal dan haram secara normatif, tetapi juga jalan keluar (solusi) terhadap permasalahan yang dihadapi. Pendekatan kontekstual ini tentu sangat cocok apabila kita kaitkan dengan zaman sekarang, yang dihadapkan pada segala hal dan permasalahan yang senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan.
Inilah yang menjadi warisan Mbah Sahal bagi bangsa, sekaligus tantangan bagi Rais ‘Aam PBNU berikutnya. Di era sekarang, mampukah para ulama Indonesia dan khususnya NU menjaga kaidah Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif? Lahu al-Fatihah!

*Pemimpin Redaksi NU Solo Online

Ulama Tak Harus Miskin

Dimuat di GAGASAN Solopos, Edisi Jum'at 27 September 2013

Oleh : Ajie Najmuddin*

Tulisan Muhammad Milkhan yang berjudul Ulama dan Kemewahan  di Solopos edisi Jumat, 20 September 2013, menarik untuk ditelaah dan didiskusikan. Ada beberapa hal yang menurut saya perlu didiskusikan lebih lanjut agar pemahaman umum tak terjebak dalam satu versi pemahaman dan pandangan.
Dalam tulisan tersebut dipaparkan gambaran kategori ulama dunia. Bahkan dalam beberapa kalimatnya, seolah kemudian menyudutkan salah seorang tokoh ulama yang menurut sudut pandangnya tak lagi mencerminkan sosok warastatul anbiyaa’ (ulama pewaris para nabi) karena kemewahan yang ditampakkan. Lalu apa yang perlu kita cermati dari tulisan tersebut? Apa pula yang perlu kita luruskan?
Pertama, perlu kita perhatikan argumentasi Muhammad Milkhan yang ia kutip dari Gus Mus, tentang dua kategori ulama menurut Imam Ghazali, yakni ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia yakni mereka yang menggunakan ilmunya untuk kepentingan duniawi.
Sedangkan ulama akhirat merupakan orang-orang yang menggunakan ilmunya lillahi ta’ala (karena Allah SWT). Namun, perlu kita perjelas lagi apakah yang dimaksud oleh Imam Ghazali tentang ulama dunia hanya sebatas yang tampak di luar saja? Bisakah kita katakan ulama ini termasuk ulama dunia hanya karena mobil mewah yang dikenakannya?
Di antara para ulama terkemuka di zaman lampau (sebelum terlalu jauh dengan memberi contoh para nabi atau sahabat), banyak sekali kisah dari mereka yang dari segi lahirnya memperlihatkan kekayaan dan kemewahan. Akan tetapi, dari segi batin rupanya hati mereka tak tertaut dengan harta yang berada di sekeliling mereka.
Contohnya adalah kisah hidup Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazi (wafat pada 181 H). Dia adalah imam besar yang ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in. Dalam biografi dia disebutkan Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah bertanya kepadanya apa sebab dia memiliki perniagaan besar dengan mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke Mekah.
Abdullah bin Al-Mubarak menjawab pertanyaan Imam Al-Fudhail itu dengan mengatakan, ”Sesungguhnya aku melakukan itu untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada orang lain), memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah,”.
Ucapan ini benar-benar terbukti, karena dia sangat terkenal dengan sifat dermawan dan selalu membantu orang miskin dengan sumbangan harta yang sangat besar setiap tahun. Kisah Sufyan Ats-Tsauri, seorang ulama terkemuka di Basrah, juga contoh yang harus kita ketahui. Suatu hari ia memerintahkan seorang santri yang bernama Abdullah untuk menyampaikan kepada Ahmad, guru Abdullah di kampung. Sufyan berpesan, ”Sampaikan kepada gurumu, agar ia tidak cinta dunia.”
Mendengar pesan itu Abdullah merasa bingung. Di matanya, Ahmad adalah seorang yang sangat sederhana, bahkan miskin. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauri yang menyampaikan pesan itu adalah seorang yang kaya-raya. Rumahnya besar lengkap dengan perabotan mewah. Kebunnya sangat luas dan juga memiliki ternak sapi yang amat banyak.
Dalam kebingungan tersebut, Abdullah pulang ke tempat asalnya. Dan menyampaikan pesan Ats-Tsauri kepada Ahmad. Mendengar isi pesan itu, Ahmad terenyuh dan meneteskan air mata. Ia justru membenarkan ucapan Ats-Tsauri karena selama ini dalam kemiskinannya ia masih saja memikirkan dunia.
Apa yang bisa dipetik dari dua cerita di atas? Kekayaan atau kemewahan bukanlah sindikator kedekatan orang dengan Tuhan. Tak ada yang bisa menjamin semakin orang kaya maka akan semakin tertaut hatinya dengan dunia. Bisa jadi dengan ilmu yang dimiliki, seorang ulama yang diberi amanat berupa harta justru bisa lebih mengetahui cara yang baik untuk menasarufkannya, dibanding orang yang tak berilmu, dan dengan cara seperti itu bisa lebih dekat dengan Tuhan.

Ulama dan Umara
Kedua, terkait kritik Muhammad Milkhan terhadap ulama yang menghadiri undangan-undangan tanpa meyeleksinya. Terlepas dari siapa pun yang mengundang, di dalam Islam Nabi Muhammad SAW mengajarkan kewajiban untuk menghadiri undangan. Dalam sebuah hadis memang tersirat bahwa Nabi SAW lebih mencintai undangan kaum miskin. Namun, beliau juga tak pernah menyebut pelarangan untuk memenuhi suatu undangan.
Siapa pula yang tahu niat seseorang, baik atau buruk. Selama ada orang yang hendak berbuat baik, kenapa pula mesti menolaknya? Ingatkah kita pada sebuah kisah pertobatan seorang pembunuh? Berkali-kali ia ditolak pertobatannya oleh para pemuka agama, namun akhirnya oleh Nabi Musa AS dia diterima kehadirannya dan dipersilakan untuk bertobat. Allah Maha Penerima Tobat, selama hamba-Nya memang bersungguh-sungguh bertobat dan tak mengulangi kesalahannya lagi.
Konteks demikian juga selaras ketika kita kaitkan bahwa semestinya antara umara (penguasa) dan ulama bersatu. Muhammad bin Husein Al-Habsyi (2013) pernah menyatakan ulama dan umara ini ibarat imam dan muazin dalam salat. Ketika sang muazin menyeru azan Zuhur pukul 11.00, sedang imam akan salat pukul 12.00, bingunglah jemaah (rakyat).
Sinergi keduanya mutlak diperlukan agar jemaah tidak bingung. Jadi sah-sah saja, ketika mereka berkumpul dalam sebuah majelis. Yang dilarang dari hubungan keduanya yakni ketika ulama mendukung seorang penguasa yang lalim karena hal itu akan menjauhkannya dari rakyat.
Pada akhirnya, semestinya kita tidak perlu memandang ulama dari bentuk lahirnya, termasuk memandang segala kekayaan yang dia miliki. Hal tersebut bukan patokan utama kriteria seorang ulama. Bibit Suprapto dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara (2009) menjelaskan beberapa kriteria penting ulama.
Kriteria tersebut di antaranya, pertama, seorang ulama tentu harus alim, yakni memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu-ilmu keislaman, bahkan semestinya dia juga memiliki spesialisasi disiplin ilmu. Kedua, abid, yakni ahli ibadah atau mengamalkan ilmunya. Ketiga, muttaqin, yakni senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Keempat, ikhlas dan zuhud. Perjuangannya harus hanya karena Allah, bukan karena kepentingan duniawi. Namun, tidak berarti dia apriori terhadap dunia, karena semua itu merupakan sarana menuju Allah. Juga tak ada larangan ulama kaya raya. Apabila boleh kita berandai-andai, alangkah enaknya bila di lingkungan kita, ada seorang ulama yang alim nan kaya.
Dia menyediakan pondok pesantren yang gratis untuk santri-santrinya, bahkan dia menanggung semua kebutuhan santri-santrinya tersebut.  Dengan demikian semua orang, bahkan yang tidak mampu sekali pun, dapat menikmati pendidikan agama darinya dengan hati yang tenang.

*Pengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta.

Minggu, 27 Januari 2013

Hobi Lama Kambuh

Sekarang hobi lama ku kembali kambuh. Kalau dulu aku suka nulis opini di koran atau buku pribadi, sekarang beralih ,sih tetap nulis juga. tp skg di media online, tepatnya NU Online.
Entah mendapat motivasi apa, tiba-tiba menajdi bersemangat untuk sering ngirim berita atau artikel ke situs nu.or.id (http://nu.or.id/lang,id-.phpx)
Tulisan yang saya kirim biasanya berkisar tentang kegiatan warga NU dan Banomnya, baik struktural (organisasi) maupun ranah kultural (pengajian, pesantren, tokoh dan sebagainya). Ruang lingkupnya di Solo Raya (Solo, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Karanganyar, Sragen).
Kalau ada teman-teman yang tertarik mengikuti 'jejak' saya, khususnya yang suka nulis dan juga tinggal di wilayah Solo Raya, bisa hub saya di fb : M Ajie Najmuddin http://www.facebook.com/majie.najmuddin?ref=tn_tnmn

Wallahul muwafiq ila aqwami thariq :) biar banyak konflik tetap menarik
SALAM!!!

Jumat, 30 November 2012

Nglencer...

Tahun 2012 ini lumayan banyak tempat baru yang aku kunjungi, tapi cuma di Pulau Jawa aja sih. Mulai dari daerah Jatim, Jateng, Jogja, Jabar... minus Banten dan Madura (tahun depan semoga bisa ke sana :) )
Aku lupa urutannya yang mana dulu.. yang pasti awal tahun aku sering ke Jombang, Pare, Kediri.. terus pertengahan tahun 'touring nekat' Solo-Jakarta naik sepeda motor. ditutup oktober lalu ke Pantai Selatan...

Oktober di Pantai Baron, Gunung Kidul
ini di masjid agung semarang (pose foto ajeg hehe)
foto di selekta, Batu.


Di Bawah Bukit Kapur, Aku Menemukan Keceriaan

Tidak terasa, hampir dua tahun aku mendiami sebuah bangunan di bawah bukit kapur (mungkin campuran kapur dan tanah apa gitu), di tengah pepohonan jati. Entah bagaimana awalnya, jangan kau tanya, tiba-tiba aku ada di tempat itu. Mungkin karena termakan ucapanku sendiri. Suatu hari ketika aku diajak guruku mengunjungi daerah tersebut, aku membatin: "Semoga ini yang pertama, dan terakhir aku kesini". Nyatanya akhirnya sekarang aku justru ada di sini, di bawah bukit kapur ini, sudah hampir dua tahun.
Dua tahun bukan waktu yang singkat. dan alhamdulillah aku mampu melewatinya.. dengan berbagai cerita pastinya. Dan salah satu yang mebuat aku betah tinggal di sana, yakni keceriaan mereka yang setiap sore menantiku dengan sabar, bahkan terkadang mereka pulang dengan wajah kecewa (karena aku tidak hadir). Tapi esoknya mereka kembali datang dengan wajah yang kembali ceria.

Keceriaan mereka yang membuat aku tersenyum kembali usai lelah menempuh perjalanan Laweyan-Tawangsari. Semangat mereka yang menjadikan diri ini terus menjaga harapan, bahwa masih ada secercah keberkahan ada di kampung tersebut. Ada celah bagiku untuk menjadi seseorang yang tetap bermanfaat. Duh Gusti, mugi panjenengan atur kulo kanti 'aturan' panjenengan, mugi-mugi kulo kiat ing dalam netepi 'aturanipun' panjenengan. Sebab kulo yakin aturan panjenengan merupakan 'aturan' ingkang paling sae. AMIN!!!

Wisuda

alhamdulillah bisa sedikit memberi kebanggaan untuk bapak...
Tulisan ini mestinya kuposting Maret lalu. Aku bisa mengikuti acara wisuda yang menjadi simbol berakhirnya masa kuliah seorang mahasiswa. Hampir 7 tahun (dari 2005-2012) hehe lumayan lama juga ya... aku baru bisa mengikuti acara ini. Dulu setiap bulan Maret, Juni, September, dan Desember, agak sedih juga kalau melihat teman-teman yang seangkatan bahkan adik tingkatku diwisuda, sementara dalam batin aku berkata: "kapan giliranku?". Dan hari kamis (8/3) waktu itu, menjadi salah satu momen indah dalam hidupku.