Kamis, 23 Juni 2011

Finish! (Catatan Kesunyian: 7/Habis)

Hari 3

Rute: Kragan - Lasem - Rembang - Blora - Purwodadi (Grobogan) - Gemolong - Gondangrejo (Kr. Anyar) - Solo - Sukoharjo

Pukul 09.16, Waktunya pulang. Dari Rembang biasanya aku menempuh rute Rembang-Pati-Grobogan, tapi kali ini aku ingin mencoba jalur lain, Rembang-Blora-Grobogan. Menurutku, hampir tak banyak perbedaan dari kedua rute ini, di sepanjang jalan dipenuhi alas jati, sawah dan jalan yang rusak.

Motor terus melaju kencang, mesin motor mulai panas, sama seperti cuaca di sepanjang daerah yang kulewati. Terpaksa beberapa kali beristirahat, sekedar untuk mendinginkan mesin motor dan mesin tubuh.

Pukul 14.00 baru sampai di Solo, istirahat sebentar, lalu pulang ke Sukoharjo, sampai lagi Kalimangir tepat pukul 15.30. Alhamdulillah...

***
Acara ngukur dalan selesai, entah berapa ratus kilometer perjalanan yang kutempuh. Kini, kembali lagi dengan segala rutinitas, yang sudah 3 hari kutinggalkan. Badan remuk redam, tapi tak ada yang meredam (mijeti), maklum bujangan hehe

Kaplingan, 23/6/2011

Rabu, 22 Juni 2011

'Ngukur Dalan' (Catatan Kesunyian: 6)

Hari 2
Rute: Pare - Jombang - Babat (Lamongan) - Tuban - Kragan (Rembang)

Pukul 06.15, Menembus jalanan Pare-Jombang yang sebagian masih diliputi kabut pagi. Kali ini perjalananku tidak sendiri (ditemani Kasih :) ), kami melewati desa-desa di daerah selatan Jombang, hingga sampai di sebuah tempat, Tebuireng. Kami pun berhenti.

Tebuireng, dari namanya bisa ditebak kalau daerah ini merupakan daerah penghasil tebu. Disamping itu daerah ini merupakan 'penghasil' ulama-ulama besar yang masyhur dan tersebar di seluruh Nusantara.

Ya, dari Pondok Pesantren Tebuireng inilah kita mengenal nama Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy'ari (atau sebaliknya? dari beliau kita mengenal Tebuireng?), pendiri Nahdhatul Ulama dan Pahlawan Indonesia. Saat berkunjung ke Ponpes Tebuireng, aku berkesempatan untuk berziarah ke makam beliau.

Di dekat makam beliau, juga terdapat makam putra beliau, KH. Wahid Hasyim dan cucu beliau KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menjabat sebagai Presiden RI. Juga dalam kompleks pemakaman yang tidak luas tersebut, juga terdapat makam keluarga beliau dan beberapa tokoh Ponpes Tebuireng.

di kompleks pemakaman Ponpes Tebuireng
Usai memanjatkan doa, sembari bertawasul kepada beliau para kekasih Allah, perjalanan kulanjutkan menuju ke Tuban, dan sempat singgah sebentar di Alun-alun Jombang .

Pukul 11.00, sampai di Tuban. Istirahat sebentar di tepi Pantai Panyuran, sambil menikmati segarnya minuman legen dan buah Siwalan. Lanjut ke Alun-alun Tuban, istirahat dan solat di Masjid Agung Tuban.

Iringan acara khitan
Tak jauh dari masjid, ada makam Sunan Bonang. Mumpung ada di sini, maka aku sempatkan untuk berziarah. Kebetulan di sekitar kompleks pemakaman, ada peristiwa menarik; ada perayaan khitan. Anak kecil yang aku taksir usianya masih 7 tahun naik di atas kuda diarak oleh rombongan hadrah dan beberapa anak kecil yang hendak memperebutkan hadiah yang digantung di atas tongkat.


Terakhir, usai ziarah sebelum ke Rembang aku mampir ke Goa Akbar (besar). Goa dengan lorong-lorong yang seolah panjang tak ada habisnya (sebetulnya rute lorong hanya diputarkan saja) ini terletak justru di tengah kota.

Konon, goa ini dulunya merupakan bekas tempat pembuangan sampah (parit) di zaman kerajaan/kolonial dulu ya? saya juga lupa hehe. Setelah ditemukan kemudian dibentuklah seperti sekarang ini, dan dijadikan sebagai obyek wisata andalan Tuban.

Menjelang maghrib, perjalanan kulanjutkan (kembali sendiri) menuju Kragan (Rembang). Menyusuri pantai utara Tuban-Rembang, menikmati pemandangan matahari yang perlahan tenggelam di garis horizon Laut Jawa.

Terang berganti gelap, namun alhamdulillah akhirnya bisa sampai di Kragan.

***
(Bersambung ke Finish! (Catatan Kesunyian: 7)

Keluar Dari Kesunyian (Catatan Kesunyian: 5)

Ketika kita bosan dalam kesepian, kadang kita bisa menjadi gila karenanya.

Bagi saya, agar dapat terhindar dari efek kegilaan tersebut, saya mengobatinya dengan menciptakan 'kegilaan' yang lain, 'kegilaan' yang positif tentunya.

Ngukur dalan sebagian daerah Jawa Tengah-Jawa Timur dengan tujuan wisata rohani dan jasmani ini mungkin bisa anda tiru, kalau mau? hehe :)

Saya ceritakan sebagian dari 'kegilaan' tersebut:

Neng aloon-aloon Jombang
Hari 1 (19/6/2011)
Rute: Sukoharjo - Kr.Anyar - Sragen - Ngawi - Madiun - Nganjuk - Pare (Kediri)

Pukul 13.30 WIB, Berangkat dari Kalimangir, sebuah dukuh yang terletak di sebelah selatan Sukoharjo. Jalanannya yang rusak, membuat laju motor yang kukendarai (sendirian) mesti dipelankan.

Perlahan namun pasti, motor bergerak menuju ke arah utara. Agar lebih cepat aku tidak lewat Solo, tetapi mengambil jalan ke arah Bekonang lalu sampai di Palur (termasuk jalur utama Solo-Surabaya).

Motor melaju kencang, melewati Sragen, lalu istirahat sebentar di Ngawi. Lanjut lagi melewati Caruban (Madiun), dan berhenti lagi untuk solat asar di Alun-Alun Nganjuk (kayak judul lagu?).

Lanjut kemudian sampai di Kertosono (masih masuk Nganjuk), melewati jembatan yang membelah sungai Brantas, dan akhirnya tepat adzan maghrib saya sampai dengan selamat di Pare (Kediri).

Pare atau Mojokuto, tempat observasi Clifford Gertz ketika membuat karya monumentalnya The Religion of Java. Tapi sekarang jarang orang yang tahu tentang hal tersebut, lebih sering orang mengenal Pare dengan Kampung Inggris; Dan saya kemudian singgah sebentar ke tempat tersebut :)

Kampung Inggris, konon katanya orang di kampung ini berbahasa Inggris semua, hingga para pedagang dan tukang becak bahkan memakai Bahasa Inggris. Ah, apa benar???

Saya coba mampir ke salah satu penjual, dan disapa, "Bade ngersakke nopo mas?" Dan buyarlah semua gambaran awalku tentang Kampung Inggris...

(Bersambung ke 'Ngukur Dalan' (Catatan Kesunyian: 6)

Sabtu, 11 Juni 2011

Sambatan (Catatan Kesunyian: 4)

Sambatan. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa (khususnya yang masih di lingkup pedesaan) pasti tak asing dengan istilah ini. Sambatan ini merupakan sebuah aktivitas sosial warga dalam bentuk membangun rumah secara bergotong royong.

Jadi, bila ada salah seorang warga yang akan membangun rumah. Maka, tetangga di sekitarnya atau malah (mungkin) satu kampung/RT, juga akan turut membantu dalam proses pembangunan rumah. "Gotong Royong dan Tanpa Paksaan!", itu semboyannya.

***

Kebetulan, kemarin ada seorang tetanggaku yang sedang membangun rumah. Karena bersifat sukarela, maka tetangga yang membantu juga tidak terlalu banyak. Warga yang lain kebanyakan sedang sibuk dengan pekerjaan/rutinitas masing-masing, entah ke sawah, ke kebun dan lain sebagainya.

***

Tradisi sambatan ini di beberapa masyarakat (bahkan di pedesaan) sudah mulai ditinggalkan. Apalagi di daerah perkotaan, yang karakter masyarakatnya cenderung individualistik. Biasanya mereka lebih suka menyewa buruh (harian atau borongan) untuk membangun rumahnya.

Minggu, 22 Mei 2011

Robohnya Perpustakaan Kami!

Harianjoglosemar. Rabu, 18/05/2011 09:00 WIB
Oleh: M Ajie Najmuddin (Pegiat Komunitas Ayo Moco)
Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.” (Milan Kundera)
Ungkapan dari seorang sastrawan asal Ceko di atas memang ada benarnya. Sejarah kebesaran sebuah peradaban bangsa akan lebih diakui keabsahan asal-muasal dan perkembangannya dari literatur, dari bukti-bukti autentik, yang tidak sekadar turun-temurun dituturkan dari lisan ke lisan. Maka tidak salah jika ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa karakter suatu bangsa, dapat dilihat dari perpustakaan nasionalnya.
Perpustakaan nasional bisa menggambarkan keragaman masyarakat, corak sosial kultur, dan bahkan geografis suatu bangsa. Dari ragam koleksi yang dimiliki, dapat dilihat identitas masyarakatnya. Identitas secara kolektif, kebesaran dan kehancuran, kebangunan dan kejatuhan, dapat terekam dengan baik dalam sumber-sumber literasi jika perpustakaan bisa selalu terjaga dari pemusnahan (Diana, 2009).
Sayangnya, meskipun tahu akan pentingnya fungsi keberadaan sebuah perpustakaan, hingga saat ini pemerintah kita belum begitu bersemangat membangun representasi kepribadian bangsa tersebut. Baik perpustakaan nasional maupun perpustakaan di daerah-daerah, kondisinya hampir sama, mengenaskan. Pada tingkatan nasional, belum pernah ada gerakan mengajak warga untuk mengumpulkan data-data sejarah yang dimilikinya. Sementara perpustakaan di tiap daerah, rata-rata nasibnya memprihatinkan dan oleh pemerintah setempat keberadaannya kurang begitu diperhatikan.
Kini, di Kota Solo, bagaimana pula nasib perpustakaannya? Solo, yang dalam sejarahnya memiliki budaya literasi cukup baik, ini bisa kita lihat dari pelbagai karya sastra yang terwujud dalam berbagai bentuk, seperti tulisan (serat), kesejarahan (babad), dan pelbagai karya sastra lainnya. Sebut saja karya-karya seperti Serat Centhini, Serat Kalathida dan lainnya.
Perpustakaan di Solo
Kota Bengawan juga memiliki banyak perpustakaan. Selain perpustakaan daerah yang dikelola pemerintah kota, terdapat pula perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan arsip-arsip lama ataupun manuskrip. seperti halnya di Monumen Pers, Perpustakaan di Mangkunegaran dan Sasono Pustoko di Keraton Kasunanan. Koleksi arsip, manuskrip dan buku yang ada perpustakaan tersebut sering dijadikan rujukan dalam penelitian, baik dari dalam maupun luar negeri.
Penasaran dengan semua cerita itu, beberapa hari lalu saya berkeliling kota untuk melihat perpustakaannya. Namun, kenyataan kadang tak semanis yang diceritakan. Perpustakaan daerah yang terletak di Kepatihan misalnya, menurut penuturan petugas, setiap harinya rata-rata sepi pengunjung. Apabila dilihat dari segi bangunan dan interiornya, memang tidak cukup menarik minat orang untuk berkunjung ke perpustakaan. Satu hal lain yang tak kalah penting, hari liburnya menyesuaikan hari libur pegawai. Alhasil, hari Sabtu dan Minggu, di mana seharusnya banyak orang yang memiliki waktu luang membaca, perpustakaan justru ditutup.
Tak puas dengan fakta itu, saya kemudian beralih ke Mangkunegaran dan Monumen Pers. Perpustakaan di dua tempat tersebut sebetulnya memiliki kelebihan tersendiri. Yang pertama bagus dari sisi pengelolaan, satunya bagus dari segi fisik bangunan. Yang menjadi kelemahan dari keduanya, dari segi pemanfaatannya sebagai ruang baca dan ruang belajar masih minim. Lain lagi di Sasono Pustoko, Keraton Kasunanan, kondisinya lebih buruk dibanding kedua perpustakaan tadi. Bangunannya yang tidak begitu terawat dan koleksinya juga banyak yang hilang.
Sangat disesalkan, kebesaran sejarah literasi dan banyaknya perpustakaan yang ada di Solo, ternyata tidak diimbangi dengan perhatian yang serius dari pemerintah kota dan kesadaran warganya. Beberapa dari perpustakaan tersebut, secara fisik bangunan kondisinya sudah banyak perbaikan. Namun dari sisi fungsinya sebuah perpustakaan (sebagai tempat membaca atau penyimpanan koleksi buku), sebagian besar dari perpustakaan tersebut menghadapi kenyataan yang sama, miskin pengunjung dan miskin koleksi.
Membangun Perpustakaan

Robohnya Perpustakaan Kami! Judul tersebut, meminjam judul sebuah karya sastra karangan AA Navis, Robohnya Surau Kami! Dalam novel tersebut, diceritakan bahwa surau atau musala, memang secara bangunan fisik tidak benar-benar roboh. Tetapi surau sebagai sebuah simbol bangunan keagamaan dan moralitas telah roboh (mengalami degradasi moral). Maka, perpustakaan sebagai sebuah simbol istana buku, cerminan tradisi membaca suatu masyarakat, representasi kepribadian bangsa, apakah juga akan mengalami nasib yang sama ataukah memang sudah benar-benar roboh?
Oleh karena itu, sebelum benar-benar terlambat roboh, kita mesti segera berupaya memperbaiki perpustakaan. Pertama, merevitalisasi perpustakaan. Upaya revitalisasi ini merupakan suatu upaya menghidupkan kembali fungsi perpustakaan sebagai ruang baca dan ruang belajar (penelitian). Dalam hal ini, Pemkot Solo perlu memberikan perhatian lebih, yang diwujudkan semisal dalam kebijakan pengelolaan dan anggaran yang lebih responsif.
Contohlah Pemerintah Kota Malang, yang memberikan perhatian serius dalam mengelola perpustakaan daerah. Tidak hanya dari aspek fisik bangunan yang akan membuat orang merasa nyaman membaca di dalamnya, namun juga aspek pelayanan. Hari Sabtu dan Minggu, perpustakaan tetap dibuka untuk memberikan kesempatan membaca bagi mereka yang baru bisa meluangkan waktunya pada hari libur.
Kedua, Pemerintah Kota Solo mesti lebih massif dalam upaya menggerakkan ajakan gemar membaca kepada warga. Gerakan gemar membaca ini sedikit banyak akan berdampak terhadap minat warga untuk berkunjung ke perpustakaan. Hal ini sebetulnya sudah disiasati oleh Pemkot dengan membuka perpustakaan (mobil) keliling dan juga menjalin kerja sama dengan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) yang kemudian menghasilkan mobil pintar, namun belum begitu efektif.
Kedua upaya tersebut akan lebih berhasil, bila warga juga turut berpartisipasi. Ketika perpustakaan telah terbangun bagus, sangat disayangkan bila kemudian warga tidak turut aktif dalam menghidupkan dan memanfaatkan keberadaannya. Mari bersama kita membangun (kembali) perpustakaan, sebelum ia benar-benar roboh!

Rabu, 11 Mei 2011

RESENSI: Perang Troya, Kisah Tragedi Manusia vs Dewa


RESENSI: Perang Troya, Kisah Tragedi Manusia vs Dewa


BUDAYA

RESENSI: Perang Troya, Kisah Tragedi Manusia vs Dewa
Oleh : Ajie Najmudin | 07-Mei-2011, 15:13:07 WIB

Judul Buku : The Iliad of Homer
Penerjemah: Asep Rachmatullah
Kategori : Novel
Penerbit: Oncor Semesta Alam
Harga Jual : Rp. 40.000,-
ISBN/EAN : 978-602-96828-5-4
Cetakan : pertama
Terbit : Januari, 2011
Panjang x lebar Buku : 13 x 20 cm
Jumlah Halaman : vi + 254 halaman


KabarIndonesia -
Kalau anda pernah menonton film ‘Troy’, anda tentu ingat akan kehebatan tokoh Achilles, yang diperankan oleh Brad Pitt. Jalan cerita film tersebut, yang diilhami dari sebuah mahakarya, Iliad, adalah sebuah rangkaian epik yang yang ditulis penyair besar asal Yunani, Homer, yang hidup di masa abad 8 SM.

Iliad menceritakan tentang kemelut yang terjadi di negeri yang berjuluk negeri para dewa ini. Kemelut yang terjadi tidak hanya sekedar pertempuran antara pasukan Yunani dan Troya, tetapi juga melibatkan Dewa-Dewi yang mendiami puncak Olympus. Mereka terpecah menjadi dua kubu; Yunani didukung oleh Athena, Poseidon dan Hera. Sedangkan Apollo, Aprodhite, dan Ares membela bangsa Troya.

Konflik awal dipicu oleh penculikan Putri Helena yang diculik oleh Pangeran Alexandrus (Paris). Sang pangeran kemudian membawa Helena ke negaranya, Troya. Hal ini kemudian membuat berang Raja Agamemnon. Ia mendapat dukungan dari bangsanya untuk mengerahkan pasukan dalam jumlah besar dari bangsa Yunani, guna merebut kembali Putri Helena. Sebanyak 1.000 kapal ia kerahkan untuk memuluskan misinya. Meskipun demikian, rencana penyerangan tersebut tetap tak lepas dari pro-kontra di bangsa Yunani.

Adalah Achilles, seorang panglima perang Yunani, yang menentang penyerangan ke bangsa Troy ini. Ia menganggap penyerangan ini hanyalah untuk keserakahan dan harga diri Agamemnon belaka. Alasan ini juga sebetulnya juga diperkuat atas perlakuan tak adil Agamemnon terhadapnya, yang tak pernah memberikan penghargaan setimpal atas jasa-jasanya selama ini. Namun atas bujukan Ajax dan Odysseus, akhirnya ia bersedia ikut dalam peperangan dan bahkan menjadi pahlawan bangsanya tatkala berhasil mengalahkan Hector, Pangeran Troya.

Pasukan Yunani mesti membutuhkan waktu total dua puluh tahun untuk berhasil menaklukkan Troya. 10 tahun pertama dihabiskan untuk mengumpulkan armada perang (pihak Yunani) dan 10 terakhir dihabiskan di medan perang, hingga akhirnya, berkat ide cemerlang prajurit Yunani, Odysseus, Troya dapat ditaklukkan, itupun dengan bantuan para dewa. Kelanjutan dari kisah ini ditulis oleh Homer di karyannya yang lain, Odyssey.

Yang menarik dari kisah dalam buku Iliad ini adalah kolaborasi relasi konflik yang dibangun, antara manusia dengan Dewa. Diceritakan bagaimana para Dewa-Dewi ini mesti saling bersaing membujuk raja para Dewa, Zeus, untuk mendapatkan dukungannya. Bahkan istri Zeus sendiri, Hera, harus meminta bantuan sang Dewi kecantikan, Aprodhite, untuk melancarkan rencananya merayu Zeus agar ia tidak menahan Achilles yang akan ikut menyerang Troya.

Karakter dalam kisah ini juga sangat kompleks. Dalam konteks peperangan sulit dibedakan lagi mana yang benar dan yang salah. Karakter yang dibangun hampir mirip dengan yang diperankan para Ksatria yang terlibat dalam perang Baratayuda dalam Kisah Mahabharata. Seperti halnya Hector yang bisa jadi dikategorikan sebagai tokoh antagonis karena menjadi lawan tokoh utama Achilles, namun di sisi lain dia adalah seorang patriot sejati. Disinilah dituntut kejelian pembaca untuk bisa memahami karakter yang diperankan para tokoh.

Tentang Homer
Iliad dan Odyssey tetap menjadi kisah yang digemari di dunia selama berabad-abad dan telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa, termasuk buku The Iliad of Homer yang diterbitkan penerbit ONCOR ini adalah yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indoensia.

Kisah tentang kehebatan ekspedisi bangsa Yunani ke Timur dan nasib malang sebagian besar pemimpin ekspedisi itu telah menyebar di Yunani dari generasi ke generasi dalam bentuk sajak-sajak pendek selama ratusan tahun sebelum Iliad dan Odyssey digubah oleh Homer. Namun Homer tidak sekedar menggabungkan sajak-sajak itu; ia memilih, mengatur, menambahkan, dan menyempurnakannya menjadi hasil final dengan bakatnya yang jenius.

Karya Homer di masa lampau sangat mempengaruhi Yunani, bahkan digemari. Saking digemarinya sehingga berpengaruh terhadap sikap keagamaan dan etika mereka. Bahkan, pengaruhnya bukan hanya dari kalangan intelektual, tapi juga kalangan militer dan pemuka politik di masa itu. Pernah dikisahkan bahwa Alexander Agung mengepit salinan Illiad di ketiaknya selama bertempur.

Bangsa Yunani percaya bahwa Perang Troya (Perang Peloponesos) adalah peristiwa sejarah yang terjadi pada abad ke-13 atau ke-12 SM, berlangsung di sekitar Dardanelles (sekarang adalah daerah Baratlaut Turki). Pada tahun 1870, seorang arkeolog Jerman, Heinrich Schliemann, melakukan penggalian di daerah yang ia identifikasi sebagai kota Troya; temuan itu membuktikan keberadaan kota Troya dan diterima sebagian besar sarjana. Namun masih tersisa satu pertanyaan, apakah Troya yang disebutkan Homer dalam The Iliad benar-benar nyata? (*)

Hardikans dan Freire


Oleh : M Ajie Najmuddin*
2 Mei, seperti biasa kita peringati bersama hari pendidikan nasional (Hardiknas), sebagai wujud peringatan atas lahirnya tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara. Namun, pada tanggal tersebut, entah kebetulan atau tidak, ternyata bertepatan pula dengan peringatan wafat seorang tokoh pendidikan asal Brasil, Paulo Freire, yang meninggal pada tahun 1997 lalu. Bukan hendak mengesampingkan peran penting guru besar kita tersebut, melainkan mencoba untuk mencari perspektif lain dalam memaknai dan merefleksikan momentum peringatan Hardiknas kali ini.
Freire, sebagaimana yang telah sedikit banyak kita ketahui, merupakan seorang tokoh pendidikan yang mengenalkan konsepsi penyadaran (contscientizacao) sebagai inti dari pendidikan. Bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan dan membebaskan manusia dari penindasan (dehumanisasi). Konsep tersebut kemudian ia jabarkan menjadi tiga macam, yakni kesadaran magis, naif, dan kritis (Mansour Fakih, 2001).
Tujuan pendidikan pembebasan ala Freire tersebut, tak jauh berbeda bila kita bandingkan dengan amanat konstitusi negara kita, yakni pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut ditafsirkan secara panjang lebar dalam UU Sisdiknas, yakni bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada intinya tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah tak jauh dari dua kata di atas, pembebasan dan pemanusiaan.
Namun, apa yang dicita-citakan dari konsep perundang-undangan tersebut, dalam implementasinya ternyata masih jauh dari harapan. Dalam menyusun RENSTRA Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010 – 2015 lebih menekankan pada manajemen dan kepemimpinan, bukan pada masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Anak Indonesia hanya dijadikan obyek, anak Indonesia bukan merupakan suatu proses humanisasi atau pemanusiaan. Anak Indonesia dijadikan alat untuk menggulirkan suatu tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan, ketrampilan, penguasaan skill yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi. Lantas, bagaimanakah pendidikan kita semestinya diarahkan?
Pendidikan Berkesadaran
Memang, pertanyaan di atas terkesan retoris, sebab tujuan pendidikan kita sudah jelas, untuk mencerdaskan bangsa. Namun dalam kenyataan yang tengah kita hadapi, perlu ada upaya untuk mengembalikan lagi pendidikan pada tujuannya, atau pendidikan untuk membebaskan dan memanusiakan manusia dalam perspektif Freire. Dalam rangka itulah, perlu adanya proses penyadaran sebagai inti dari pendidikan.
Kata kuncinya kemudian adalah kesadaran, kesadaran kritis, yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Dalam konteks masalah pendidikan, maka kita tidak lagi melihat persoalan siapa yang benar dan salah (subjek), tetapi lebih kepada bagaimana sistem pendidikan kita berjalan. Tidak hanya di tingkat decision maker (pemerintah, sekolah dan sebagainya), tetapi juga dengan segenap perangkat lunak dan perangkat kerasnya.
Oleh karena itu, paling tidak ada dua hal yang mesti diperhatikan untuk mengarahkannya. Pertama, persoalan paradigma pendidikan. Paradigma ini akan menentukan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan dan arah kebijakan pendidikan. Paradigma pendidikan kita saat ini yang terkesan profit oriented, untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan.
Pendek kata, perlu adanya penyadaran dan perombakan atas paradigma sistem pendidikan kita. Bahwa tujuan pendidikan tidak hanya sekedar mencari ijazah (mempermudah mencari pekerjaan) belaka, tetapi lebih berorientasi kepada pengenalan realitas pada diri manusia (pencerdasan). Dengan konsep ini, pemerintah juga semestinya mampu menyediakan pendidikan berkualitas nan terjangkau untuk warganya.
Kedua, dalam konteks kelengkapan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Aspek pengajar dan sekolah merupakan hal tak boleh diabaikan. Keduanya adalah faktor penting penentu keberhasilan sebuah pendidikan. Maka disamping upaya perbaikan kesejahteraan pada guru dan bangunan fisik pada sekolah, juga perlu ditekankan orientasi metode pengajaran yang lebih dialogis dan humanis, baik dari guru personal maupun secara kurikulum.
Refleksi pendidikan dan dua gagasan di atas setidaknya dapat menjadi bahan renungan bagi kita. Sengkarut pada sistem pendidikan Indonesia, membutuhkan upaya dari berbagai pihak untuk menyelesaikannya. Tujuan pendidikan mesti diluruskan kembali arahnya, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, refleksi bila tanpa aksi adalah verbalisme, sedangkan aksi tanpa refleksi juga hanya akan menjadi aktivisme belaka. Semoga momentum peringatan Hardiknas kali ini, bisa menjadi refleksi sekaligus mewujudkan aksi nyata bagi kita semua untuk menjadikan pendidikan di negeri kita menjadi lebih baik.
*Aktivis PMII, Pengajar di Sukoharjo.

Senin, 18 April 2011

Oleh-oleh dari Banjarmasin... (3)

EKSOTISME PASAR TERAPUNG
Kongres hampir usai, hari ini (17/3) akan diadakan acara 'penting', pemilihan ketua PB PMII 2011/13. Namun, sejak semalam sudah kurencanakan untuk mengobati rasa penasaranku, melihat Pasar Terapung.
suasana Pasar Terapung
Kalau kalian ingat, dulu ada tayangan (jeda acara), dimana ditampilkan ibu-ibu dengan sayuran dan buah-buahan segar menawarkan dagangannya di sebuah sampan atau perahu. Sebagian lagi sibuk bertransaksi. Lalu iklan diakhiri dengan seorang pedagang ibu-ibu yang tersenyum sambil mengajungkan jempol dan kemudian iklan diakhri dengan lau RCTI oke.
Itulah salah satu gambaran yang ada di Pasar Terapung.. Lalu-lalang kapal Klotok (karena bunyinya klotok-klotok) dan segala macam aneka transaksi yang terjadi. Ya, mirip keadaan sebuah pasar tradisional, dan memang pasar, cuma terapung.
....
Pagi benar, pukul 5.30 WITA, kami (Aku dan Bus) sudah naik angkot dari depan asrama haji (Banjarbaru), tempat kongres, menuju Gambut lalu ke Banjarmasin. Naas, angkot (disana disebut taxi) yang kami tumpangi hanya sampai ke Landasan Terbang Ulin. Kami harus turun lagi mencari Taxi, tak berselang lama ia datang, masih kosong. Taxi melaju kencang, kami berharap bisa lebih cepat lagi, karena pasar terapung hanya ada sampai pukul 7.30.
Taxi berhenti, 2 penumpang masuk, dari logat bahasa yang kudengar kelihatannya mereka orang Sunda. Mereka turun di Gambut untuk berjualan roti. Kami-lah pembeli pertama roti mereka hari itu, penglaris.
...
Banjarmasin. Masih terlihat sepi, Kunikmati setiap sudut kota. Kami sampai di Terminal Pasar Anyar. Kemudian langsung naik ojek menuju Pasar Terapung. Oh, sudah semakin dekat... kulewati jembatan kayu, di samping kiri terlihat aliran sungai. Sungai apa ini? Sungai Barito-kah? di Kalimantan ini begitu banyak sungai...
...
07.00 WITA
Hamparan air sungai nan luas, berada di hadapanku. Ini kah Sungai Barito, yang memiliki luas hampir 2 Km itu? Ternyata bukan, ini sungai Kuin, anak sungai Barito. Tapi tak apalah, dari kejauhan kulihat lalu-lalang kapal klotok, dan beberapa kapal besar yang tertambat di dekat dermaga. Sayang pasar sudah mulai sepi, maklum sudah agak siang.
Transaksi...
Pelan-pelan aku turun ke bawah, berjalan di atas kayu-kayu gelondongan yang terapung. Mesti hati-hati karena medannya seperti di permainan benteng takeshi, yang setiap saat kayunya bisa timbul tenggelam bergerak mengikui riak sungai. Sampai akhirnya tiba di tepi sungai.... kupandangi sepuasnya kebesaran Tuhan ini, baru anak sungai saja luasnya bukan main, apalagi induk sungainya?!
Oke...
Oh ya, bagi mereka yang berkantong tebal, bisa lebih menikmati pesona di pasar terapung ini dengan naik perahu klotok, yang harga sewanya mencapai Rp. 100.000 per jam. Saya lebih memilih untuk sekedar memfoto pemandangan sungai, hilir mudik kapal, dsb. Bagi saya ini sudah lebih dari cukup.
Pasar terapung ini memang rasanya memang bukan untuk tujuan (surga) bagi mereka yang gemar belanja (lebih banyak sayur atau buah, yang mahal harganya). Menurutku tujuan utama para wisatawan datang ke sini, lebih kepada menikmati eksotisme pasar terapung, yang konon hanya ada di Indonesia dan Bangkok. Sangat disayangkan fungsi 'pasar' menjadi kurang optimal.

Oleh-oleh dari Banjarmasin... (2)

WISATA ROHANI, MARTAPURA
Martapura, Kota Penghasil intan, itu yang kutahu dari buku ATLAS warisan kakak. Itu pula yang membuat turis lokal maupun manca tertarik untuk berkunjung ke daerah yang dikelilingi banyak sungai ini.
Namun, selain intan tadi, kota ini ternyata juga memiliki potensi lainnya, wisata rohani. Bagi para 'peziarah wali', Martapura juga tak luput dari daftar tujuan mereka. Kalau di Jawa, orang banyak berziarah ke makam para wali songo. Maka di Martapura, makam Syekh Arsyad Al-Banjar (Astambul) dan Tuan Guru Zaini (Sekumpul), termasuk dalam salah satu menu utama bagi para peziarah.
Kami (Aku dan Umar), terlebih dahulu berziarah ke makam Syekh Arsyad al-Banjar (1122-1227 H/1710-1812 M), seorang ulama besar dari Martapura (Kalsel). Beliau juga merupakan merupakan mufti dari kerajaan Banjar.
Syaikh Arsyad
Makam beliau terletak +- 8 Km dari Kota Martapura, tepatnya di daerah Kelampaian Tengah, Kec. Astambul. Oleh karena itu beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kelampaian.
....
16.30 WITA.. Kami kembali ke Sekumpul, Martapura.
Konon, sewaktu Tuan Guru Zaini atau Guru Ijai masih hidup, Tanah Sekumpul dulunya 'sepi'. Kemudian lambat laun berbondong-bondong orang mendirikan rumah, toko di daerah tsb untuk bisa tinggal di dekat beliau. Sekumpul kemudian menjadi pusat dakwah Islam di Martapura.
Saya juga baru mengenal beliau, pada akhir tahun 2007, ketika mendengar mp.3 qasidah beliau,dan juga rekaman video beliau saat bersama Habib Anis (cucu Habib Ali Al-Habsyi, muallif Simtudhurar). Suara beliau yang sangat lembut nan khudlur berpadu dengan keramahan dan senyum Habib Anis, membuat hati ini bergetar.
Siapakah mereka berdua?? kucari di internet. Ternyata mereka berdua adalah para ulama besar, namun sayang aku tak bisa berjumpa langsung dengan mereka. Baru kutahu kalau Habib Anis itu ternyata ada di Solo, dan seharusnya dari dulu saya tahu beliau!!! (Habib Anis wafat tahun 2006, saya di solo pertama kali tahun 2005, namun saya baru tahu beliau tahun 2007).
Hingga dalam sebuah angan, ingin sekali saya untuk dipertemukan mereka, meskipun dalam mimpi. Habib Anis sudah kuziarahi sebab makamnya terletak di Masjid Riyadh, Pasar Kliwon, Solo. Sedangkan Guru Ijai, nun di Pulau Kalimantan, apa aku bisa ke sana?
T.G. Zaini
Sampai akhirnya, aku dapat mendapatkan kesempatan ini... Alhamdulillah. Assalamu'alaika Yaa Guru Zaini...
.....
Keinginan yang semoga (kelak) terwujud... Assalamu'alaika Ayyuhannabiyyu Warahmatullahi Wabarakatuh... Siapa mau ikut saya? :)

Mengawal Perbaikan Kinerja PKMS

Oleh : M Ajie Najmuddin*
Bagi sebagian besar warga Kota Surakarta, khususnya mereka yang tergolong sebagai warga miskin, kehadiran program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS) dinilai telah banyak membantu warga. Keberadaan program tersebut memungkinkan warga mendapatkan jaminan dan pelayanan kesehatan yang murah, bahkan cuma-cuma. Program yang digulirkan Pemkot Solo sejak 2008 ini, bak oase di tengah mahalnya biaya kesehatan.
Upaya yang telah dilakukan Pemkot ini patut kita apresiasi, karena sudah sangat membantu warga. Oleh karena itu agar manfaatnya bisa benar-benar dirasakan oleh masyarakat, perjalanan program ini harus kita kawal betul pelaksanaannya. Sebab, sebagus apapun sebuah kebijakan, pasti masih menyisakan beberapa kekurangan di dalamnya. Tak terkecuali dengan program PKMS ini, masih banyak ditemukan beberapa kelemahan, seperti pelaksanaan PKMS yang belum transparan dan masih banyak orang yang dipersulit mendapatkannya. (Joglosemar, 22 Maret 2011)
Hal tersebut semakin bertambah rumit, seiring dengan meningkatnya permintaan pembuatan kartu PKMS, seperti yang diberitakan Joglosemar pada 2 Februari lalu, mencapai 400 kartu per hari. Ini diperkuat dengan data yang diverifikasi oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT), bahwa jumlah orang yang meminta kartu PKMS pada 2011 ini sebesar 211.815. Terjadi peningkatan besar bila dibandingkan dengan tahun 2008, yakni 137.000 orang. Tingginya permintaan tersebut mengandung konsekuensi, Pemkot dituntut untuk bekerja lebih ekstra dalam mengimplementasikan program ini.
Program PKMS sejak 2008, dalam implementasinya, digulirkan melalui dua jenis, yaitu PKMS Silver dan PKMS Gold. PKMS Silver diberikan kepada seluruh masyarakat Surakarta sesuai dengan persyaratan. Sedangkan PKMS Gold dikhususkan untuk diberikan kepada masyarakat miskin yang terdaftar di surat keputusan Walikota.
Pemberian bantuannya pun berbeda. Dengan PKMS Silver, warga berhak mendapatkan biaya pelayanan kesehatan maksimal Rp 2 juta yang ditanggung pemerintah. Sedangkan PKMS Gold, warga bisa mendapatkan pelayanan tanpa mengeluarkan biaya sama sekali (gratis). Perbedaan ini yang kemudian juga menimbulkan permasalahan baru dalam program PKMS.
Tiga Perbaikan
Sedikit refleksi tentang pelaksanaan program PKMS di atas, bisa kita jadikan acuan untuk bahan evaluasi dan memperbaiki kinerja pelaksanaannya. Komitmen dan niat baik dari Pemkot, perlu kita dukung setidaknya dengan memberikan beberapa masukan dan wacana untuk perbaikan PKMS ke depannya. Minimal ada tiga hal yang perlu diperhatikan, baik dari awal program sampai pertanggungjawabannya.
Pertama, terkait perencanaan program. Sebuah program akan berjalan dengan tepat dan efektif, manakala dirancang dengan sebuah perencanaan yang matang. Dalam konteks perencanaan program PKMS ini, semisal terkait perencanaan jumlah anggaran yang akan disediakan untuk pembiayaannya, harus berdasar pada database yang akurat. Ini juga akan terkait pada proses pelaksanaan, yakni pada tahap prosedur pengajuan kartu, yang jelas membutuhkan proses pendataan terbawah yang jelas dan transparan.
Khususnya data jumlah warga miskin (Gakin) yang akan menjadi sasaran utama program ini, perlu diketahui betul berapa jumlahnya. Hal ini dimaksudkan di samping untuk efektivitas anggaran, juga guna menghindari kasus salah sasaran. Isu penggelembungan data Gakin yang pernah terjadi karena kurang sinergisnya kinerja antardinas dalam penerimaan dan verifikasi data Gakin, juga bisa ikut menambah masalah dalam pelaksanaan program ini. Oleh karena itu, perlu juga dioptimalkan sinergitas antardinas dalam permasalahan verifikasi data.
Kedua, dalam tahap pelaksanaan, khususnya dalam hubungan dengan institusi yang ditunjuk, baik rumah sakit dan Posyandu, dalam pelaksanaannya perlu diawasi betul. Agar anggaran besar yang telah dikeluarkan pemerintah juga bisa diimbangi dengan pelayanan maksimal dan bisa dirasakan betul manfaatnya oleh warga.
Pengawasan tersebut juga dimaksudkan guna mencegah kebocoran dan penyalahgunaan anggaran. Hal tersebut berkaitan dengan masih banyak terjadinya kasus kebocoran anggaran dan penyalahgunaan anggaran (mark up) yang indikasinya dari laporan klaim institusi pelaksana PKMS. Untuk itu, perlu dilakukan pengawasan yang ketat atas laporan tersebut.
Hal lain yang harus dievaluasi dalam pelaksanaan, yakni dalam hal prosedur pengajuan pergantian (upgrade), dari PKMS Gold ke Jamkesda yang harus lebih diperjelas dan disosialisasikan lagi tata caranya. Sebagai tambahan masukan, informasi harga obat juga perlu diberikan kepada warga pengguna PKMS. Harapannya agar mereka bisa memilih dan mendapatkan obat yang berkualitas.
Ketiga, selain beberapa hal yang lebih bersifat teknis di atas, juga perlu diupayakan payung hukum untuk mendukung perbaikan layanan kesehatan dan keberadaan PKMS itu sendiri. Oleh karena itu, perlu didorong terwujudnya peraturan daerah (Perda) yang lebih khusus dalam meng-cover persoalan pelayanan kesehatan atau PKMS ini. Perda tersebut juga akan menegaskan tanggung jawab dan jaminan dari Pemkot dalam pemenuhan hak warga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Saat ini, payung hukum PKMS baru diatur dalam Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang perubahan kedua atas Perda Nomor 7 tahun 1998 tentang retribusi pelayanan kesehatan. Perda yang terakhir ini dirasa belum cukup dalam mendukung pelaksanaan PKMS yang dalam pelaksanaannya semakin kompleks.
Tiga hal tersebut, setidaknya bisa menjadi masukan untuk mendukung dan perbaikan pelaksanaan PKMS ke depannya. Perbaikan tersebut minimal membutuhkan dukungan yang meliputi tiga unsur, yakni pemangku kebijakan (pemerintah), pelaksana kebijakan (rumah sakit, Posyandu, dan sebagainya) dan pengguna kebijakan (masyarakat). Di samping itu, integritas, kesadaran (untuk tidak “memiskinkan diri” supaya mendapatkan bantuan) dan keterlibatan masyarakat juga perlu ditingkatkan. Hal itu agar tujuan pemberian jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat Kota Surakarta, khususnya kepada warga miskin bisa segera terwujud.
*Aktivis Forum Studi Warga NU Surakarta (Fosminsa)

HARLAH PMII KE-51

PMII Surakarta Gelar Tahlil dan Doa Bersama
Ahad, 17 April 2011 09:10
Solo, NU OnlineDalam rangkaian kegiatan perayaan Hari Lahir (Harlah) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang ke-51, PMII Kota Surakarta mengawalinya dengan acara tahlilan dan doa bersama, yang diadakan di kantor sekretariat Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Kota Surakarta. Tempat yang dipilih, yakni kantor PCNU, juga menegaskan bahwa independensi/interdependensi yang telah ditegaskan oleh PMII terhadap NU, tidak membuat renggang hubungan antar keduanya.

Kegiatan tersebut dimeriahkan dengan prosesi pemotongan tumpeng, yang kemudian dibagikan langsung oleh Ketua Umum PMII Surakarta, Agus Riyanto, kepada tiga ketua komisariat yang ada di Kota Surakarta atau Solo ini, yakni Komisariat Kentingan (UNS, USB, STMIK) Komisariat Pabelan (UMS), dan Komisariat Dr. Wahidin (UNU). Prosesi bisa dimaknai sebagai simbol kesolidan warga PMII Solo.

Dalam sambutannya, Agus Riyanto, menegaskan tentang makna perayaan harlah ini agar kita senantiasa tetap mengingat sejarah, "PMII dahulu didirikan oleh para founding father kita, seperti Mahbub Junaidi, Zamroni dan lainnya, adalah untuk mengusung visi kebangsaan, Islam-Indonesia".

Tentang isu santer yang tengah menguat, tentang wacana kembalinya PMII ke NU juga ditanggapinya, "Sejarah juga telah mencatat pendirian PMII dimaksudkan untuk mengakomodasi mahasiswa yang ideologinya aswaja". tegasnya.

"Jadi bila muncul organisasi mahasiswa yang serupa, justru kita takutkan akan memecah kekuatan yang sudah ada. Dan kemudian akan muncul faksi-faksi baru, yang cenderung akan saling menjegal satu sama lain, ini bisa kita lihat di beberapa organ dalam lingkaran (warga) NU" lanjutnya.

Rangkaian kegiatan harlah ini, rencananya akan berlangsung selama satu minggu ke depan, dan puncaknya yakni tanggal 21/22 akan dilangsungkan Muspimcab (Musyawarah Pimpinan Cabang) PC PMII Solo. Sedangkan kegiatan lain yang mengiringinya diantaranya donor darah, diskusi dan seminar. (Ajie)

Rabu, 13 April 2011

Oleh-oleh dari Banjarmasin... (1)

SELAMAT DATANG DI BUMI LAMBUNG MANGKURAT
turun di bandara Syamsudin Noor
8 Maret 2011. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di tanah Borneo, tepatnya di Banjarbaru (Kalsel). Tanpa mengesampingkan tujuan awalku ke sini (ikut kongres PMII), traveling menjadi menu wajib. Sejak awal memang sudah kusiapkan dengan menyusun list beberapa tempat yang akan aku kunjungi.
Kota Martapura masuk dalam daftar awal, karena selain dekat dengan tempat kongres daerah tersebut juga 'kaya' akan tempat wisata. Menyusul Banjarmasin, Pasar Terapung, dan apa lagi ya??? dah lanjut dulu...
...
Di hari ketiga, (menjelang shalat jum'at) dengan modal motor yang kami (aku dan umar) pinjam dari salah seorang anggota Banser, kami memulai perjalanan...
Tempat yang pertama kali kudatangi, tak lain yakni Kota Martapura. Sebuah potret kota santri nan kaya akan hasil alamnya. Disana-sini dijumpai tulisan Arab, di gapura selamat datang, di papan depan kantor-kantor, bahkan di masjid juga tak luput.. hehe. Ada nuansa kental 'islami' di kota ini, membuatku mafhum dengan julukan Serambi Mekkah.
Selesai jum'atan di Masjid Karomah, masjid terbesar di Martapura, kami mampir ke pasar yang terletak tak jauh dari masjid. Umar memborong batu (akik) yang mudah dan murah didapat. "Lumayan, daripada tidak bisa membeli intan, masih bisa dapat batu kecubung". ujarnya. Aku hanya melongo mendengar penjelasan dari penjual batu, sambil pura-pura menerawang warna batu.
baju sasirangan

Sambil lanjut kembali ke masjid untuk mengambil motor, kami mendapati toko pakaian 'sasirangan', baju khas dari Banjar. Modelnya hampir mirip dengan batik, namun warna kuning-hijau-biru yang mendominasinya membuat sasirangan lebih nge-jreng lebih mirip pakaian dari Hawaai. Harga satu bajun rata-rata di atas Rp. 100.000, sedangkan untuk kain mulai Rp. 80.000 ke atas, tergantung motif dan kainnya. Dengan saku pas-pasan, kami hanya bisa berlalu meninggalkan penjual yang kelihatannya juga tak terlalu antusias menawarkan dagangannya.
Tujuan perjalanan kami selanjutnya adalah ke Astambul... (Bersambung)

Mencari Tuhan Ala Al-Hallaj


Judul Buku: al-Hallaj; Perjuangan Total Mencari Tuhan
Penulis : Muhammad Zaairul Haq
Cetakan: I, 2010
ISBN : 997-860-28784-214
Tebal: 290 halaman
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Soft Cover

Doktrin Sufistik-Kontroversial al-Hallaj
Oleh: M Ajie Najmuddin*

Tercampur Ruh-Mu di dalam ruhku, seperti tercampurnya khamer dalam air jernih// Maka apabila menyentuh pada-Mu sesuatu, Menyentuh aku pula// Maka sebenarnya Kau adalah aku dalam segala keadaan. (Thawasin: Al-Hallaj)

Penggalan syair dalam risalah Thawasin di atas, merupakan salah satu ungkapan pemikiran Husain Bin Manshur al-Hallaj, seorang tokoh tasawuf ‘kontroversial’ yang mesti mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat tragis; hukuman pancung kepala. Hampir sama nasibnya dengan Syekh Siti Jenar di Indonesia yang mengajarkan konsep ajaran manunggaling kawula gusti, keduanya mesti meninggal sebagai seorang terhukum di tangan penguasa karena kebenaran yang ia yakini. Kebenaran yang menurut orang pada umumnya, justru dianggap sebagai suatu bentuk kesesatan. Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.

Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Siraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.

Setidak-tidaknya ada tiga kelompok besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya.

Konsep hulul dan wihdatu al-adyan yang ia kenalkan, serta beberapa ungkapannya yang sangat kontroversial, diantaranya: “ana al-haqq” (Aku adalah kebenaran mutlak atau Tuhan), mendapat reaksi keras dari para ulama syari’at. Ungkapan tersebut dianggap telah menyimpang dari ajaran tauhid. Paham ittihad ini, sebetulnya sudah lebih dulu dikenalkan oleh Abu Yazid Busthomi, yakni konsep tajrid fana fit tauhid. Dibayangkan olehnya, bahwa itu adalah sebuah jalan untuk memenuhi Tuhan dengan tanpa perantaraan apapun juga. Seperti seekor ular yang apabila sudah terbebas dari sarungnya barulah dia dapat mengetahui zat yang sebenar-benarnya.

Pencapaian kondisi semacam itu hanya bisa dipenuhi oleh orang yang bersih hatinya dan senantiasa hidup dalam kesucian rohani, maka ia bisa mengikat ke dalam alam taqarub, berdekatan dengan Tuhan. Konon, orang yang demikian itu telah mesra dan telah pijar dalam zat Tuhan, fana (estase) dalam dirinya dan Tuhan. Dalam keadaan demikian, orang itu sampai kepada tingkat hulul, ke dalam tingkatan kesatuan antara Khalik dan makhluk. Ia tidak sadar akan dirinya, dan segala ucapannya telah berpindah dari ucapan manusia kepada ucapan Tuhan.

Dalam buku yang ditulis oleh M Zaairul Haq, seorang penulis muda alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, akan dikupas lebih dalam lagi mengenai pemikiran al-hallaj, dengan tujuan diantaranya agar kita bisa mendudukkan pemikirannya tidak hanya pada satu posisi tetapi dengan melihat dari berbagai paradigma, dan juga tulisan di buku ini semoga bermanfaat dan semakin memperkaya khazanah keilmuan kita, khususnya dalam memahami falsafah tasawuf.

*Penulis adalah pegiat komunitas ‘Ayo Moco, tinggal di Solo
(Artikel ini juga dimuat di HOKI, 11-Apr-2011, 18:18:06 WIB)

Minggu, 10 April 2011

Silsilah Keluarga... (Catatan Kesunyian: 3)

Barusan temanku ribut, ia diminta unutuk bikin proposal keluarganya yang seabrek (Se-Indonesia Raya) katanya... haha Tapi berbicara tentang keluarga, apalagi keluarga besar, memang penting untuk sering-sering berkumpul. Bukan hanya untuk sekedar arisan keluarga, tapi lebih untuk selalu mengingatkan bahwa aku-kamu-kita-dia-mereka ini, ternyata satu keluarga. Ya minimal, kalau diurutkan ke atas terus sampai kepada 'Mbah' Nabi Adam.
Disamping pertemuan tadi, penting juga untuk mencatat silsilah atau urutan keluarga keluarga. Semisal saya sendiri (baru hapal sampai kakek ke-3); M. Ajie Najmuddin bin Imam Shodiq bin Solihin bin Mas'ud bin Ali bin ???, Dari sini saya berpikir, kalau saya saja cuma bisa hapal sampai segitu, bagaimana nanti dengan anak dan cucu saya? :)
Bisa jadi, kalau tidak pernah dibudayakan menulis silsilah keluarga ini, nantinya mereka cuma hapal sampai kakek mereka (ayah saya). atau bahkan cucu saya, lupa dengan nama saya. waduhhh... bukan apa-apa, saya juga ingin nama saya disebut dalam doa-doa mereka.
Dan konon, bagi siapa yang menyebut (bertawasul) kepada 7 nama kakeknya, dalam setiap doanya, insyallah akan dikabulkan doa tersebut oleh Allah. Akan lebih baik lagi, kalau bisa menyebut sampai Nabi Adam, hehe..
...
Bagaimana dengan anda? apakah sudah memiliki catatan silsilah keluarga anda?
Kaplingan, 10//4/11

Invasi.. (Catatan Kesunyian: 2)

Perjalanan bersama anak-anak pagi ini terasa membosankan. Sampai akhirnya sampailah kami pada sebuah rumah, satu-satunya bangunan di pinggiran bukit-bukit berkapur.
Bangunan itu dikelilingi pagar setinggi dada orang dewasa. 5 kawanan anak itu, hanya bisa mengintip dari sela-sela pintu kayu. Di dalamnya, ada dua mainan 'mewah' bagi mereka, mereka ingin segera masuk, tapi apa daya tubuh mereka hanya setinggi pagar tembok itu. Hampir semua pasrah, hanya sebagian ada yang merengek tetap ingin masuk.
Tak tega dengan rengekan mereka, aku terpaksa turun tangan. Kuangkat satu anak menaiki tembok. Satu anak berinisiatif untuk naik sendiri dengan berpijak pada sebuah batu di sebelah kiri pintu. Susah payah ia berusaha, sampai akhirnya berhasil, ia berteriak kegirangan, bukan karena berhasil naik, tapi karena mainan 'langka' itu sekarang tepat di hadapannya.
....
Minggu pagi, sekawanan anak 'menginvasi' sebuah rumah, satu-satunya bangunan yang memiliki alat permainan 'langka' di daerah ini. Mereka mulai menyerbu 'bola dunia', sebagian tengah asyik bermain 'prosotan'. Kami-lah pemilik dan penguasa bangunan yang penuh mainan ini... Namun, hanya di Minggu pagi.
Watubonang, 10/4/11

Sabtu, 09 April 2011

Kelahiran.. (Catatan Kesunyian: 1)

Hari menjelang senja, waktunya untuk bersiap menyambut petang. Fase yang terus berulang dalam kehidupan kita pada umumnya. Menyalakan lampu, melawan kegelapan. Terhanyut kembali dalam kesunyian malam.
Namun, keheningan itu sedikit terusik, teriakan 'tetanggaku' di belakang rumah, memecah kedamaian. Makin lama, 'teriakannya' makin keras, makin keras... sampai akhirnya terdengar lirih, namun seketika itu juga muncul 'erangan' kecil, kedua suara itu kemudian bersahutan, mengiringi pergantian waktu.
...
Rupanya ada yang baru melahirkan, tak jelas laki-laki atau perempuan, karena di ruang itu tidak terdapat penerangan. Bayi itu terlahir yatim, karena ayahnya sudah mati beberapa bulan yang lalu. Matinya pun mengenaskan, digorok lehernya... sadis bukan.
Si Ibu tak pernah berpikir bagaimana nanti ia memelihara anaknya, bagaimana memberi makan anaknya, yang terpenting sekarang adalah bagaimana anaknya bisa lahir dengan selamat... sungguh mengharukan.
...
Perlahan, bayi itu mulai belajar berdiri?? jatuh lagi... berdiri menjejakkan kedua kakinya... jatuh lagi... begitu seterusnya, sampai akhirnya ia berhasil menjejakkan keempat kakinya, sembari merengek: "Embeeekkkkkk....".
Kalimangir, 9/4/11

Rabu, 06 April 2011

Resensi Buku :Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi


Judul: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama
Penulis: Syaikh Idahram
Tebal: 278 hlm
Ukuran: 13,5 x 20,5 cm
ISBN: 978-602-8995-00-9
Terbit: Cetakan I, 2011
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta.
Peresensi: M. Ajie Najmuddin*


KH Said Agil Siroj, dalam kata pengantar beliau di buku ini mengungkapkan bahwa kemunculan Salafi Wahabi di abad ke-18 M meskipun tidak termasuk ke dalam golongan Khawarij, tetapi antara keduanya, ada beberapa kesamaan. Kelompok Wahabi, seperti hendak mengulangi sejarah kekejaman kaum Khawarij, yang muncul jauh sebelumnya pada tahun ke-37 Hijriah, tatkala melakukan pembongkaran tempat-tempat bersejarah Islam dengan dalih memerangi kemusyrikan. Tak cukup dengan tindakan itu, mereka bahkan tak segan untuk membantai terhadap sesama umat muslim sendiri, bahkan para ulama yang tidak sejalan dengan pemikiran (sempit) mereka.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok–kelompok ekstrim tersebut secara langsung telah mencoreng nama Islam. Islam adalah agama yang sempurna dan tidak mengajarkan umatnya untuk berbuat kerusakan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77). Apa yang dipaparkan dalam buku ini, tentang sejarah tindakan ‘merusak’ yang dilakukan oleh kelompok Salafi Wahabi ini tidak boleh kita lupakan dan mesti kita waspadai.

Lantas siapakah sebenarnya kelompok Salafi Wahabi yang dimaksud dalam buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama ini? Penulis buku, Syaikh Idahram, menjelaskan bahwa nama wahabiyah ini dinisbatkan kepada Muhammad ibnu Abdul Wahab, yang lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Adapun kata Salafi, berasal dari kata as-salaf yang secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Adapun secara terminologis, as-salaf adalah generasi yang dimulai dari para sahabat, tabi’in dan tabi’at tabi’in. Mereka adalah generasi yang disebut Nabi Saw sebagai generasi terbaik.

Namun demikian, penggunaan istilah Salafi tersebut oleh sebagian kelompok Islam tertentu dijadikan propaganda. Mereka melakukan klaim dan mengaku sebagai satu-satunya kelompok salaf. Ironisnya, mereka kemudian menyalahkan dan bahkan mengkafirkan muslim lain yang amalannya ‘tidak sesuai’ dengan paham yang mereka anut. Mereka menganggap sesat terhadap umat muslim lain, yang dianggap melakukan perbuatan bid’ah, semisal ziarah kubur mereka tuduh sebagai perbuatan syirik.

Lebih dari itu, sederet data dan fakta penyimpangan serta rentetan sejarah pembunuhan yang terpapar dalam buku ini, menyisakan sejumlah pertanyaan, apakah tindakan mereka tidak menyalahi ajaran Islam sebagai “rahmat bagi semesta alam”?

Kita pasti akan miris, ketika membaca tulisan tentang sejumlah tindakan kelompok Wahabi yang melakukan banyak pembantaian terhadap umat Islam serta ulamanya. Seperti yang mereka lakukan tatkala menyerang kota Thaif, Uyainah, Ahsaa, bahkan Makkah dan Madinah, juga tak luput dari sasaran keganasan mereka. Sayid Ja’far Al-Barzanji dalam salah satu bukunya menuturkan, ketika Wahabi menguasai Madinah, mereka merusak rumah Nabi saw, menghancurkan kubah para sahabat, dan setelah melakukan perusakan tersebut mereka meninggalkan Kota Madinah dalam keadaan sepi selama beberapa hari tanpa azan, iqamah, dan shalat.

Apabila ditelisik lebih dalam setidaknya ada dua faktor penyebab kemunculan kelompok seperti Wahabi. Pertama, pada dasarnya kemunculan mereka bermula dari sejarah pertarungan pengaruh dan kekuasaan (politik). Muhammad bin Abdul Wahab yang terusir dari kaumnya, kembali mendapat angin segar ketika bertemu dengan penguasa Dir’iyah, Muhammad ibnu Saud. Ajaran Wahabi akan terlindungi manakala bernaung dalam kekuatan penguasa, di sisi lain kekuasaan akan semakin menancapkan kukunya tatkala mendapat legitimasi ajaran agama. Jadi perjuangan Wahabi bersama ibnu Saud, bisa dikatakan tak lebih hanya pertarungan perebutan kekuasaan yang berkedok agama.

Faktor lain yang mendasari tindakan ekstrim mereka, diantaranya juga karena pemahaman mereka yang kaku dalam memahami teks-teks agama (tekstual), sehingga cenderung terjerumud dalam memahaminya. Misalnya, mereka sangat kaku dalam memahami perintah-perintah Rasulullah saw. Paradigma ini yang kemudian menyebabkan mereka dengan mudahnya menyalahkan dan mengkafirkan umat muslim lain.

Penulisan buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama ini adalah untuk menjelaskan semua itu secara ilmiah, dengan bukti yang kuat baik secara aqli dan naqli. Buku ini menyingkap hal-hal penting dibalik wabah takfir (pengkafiran), tasyrik (pemusyrikan), tabdi' (pembid'ahan) dan tasykik (upaya menanamkan keraguan) terhadap para ulama ahlussunnah wal jama'ah yang marak menjamur akhir-akhir ini. Semuanya disuguhkan secara sistematis namun ringan. Buku ini tidak hendak bertujuan untuk memecah belah persatuan umat Islam, tetapi lebih merupakan sebuah upaya untuk mengingatkan akan bahaya dan menyadarkan umat dari paham-paham ekstrim tersebut.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar, semestinya memberikan perhatian tegas dan serius dalam upaya untuk mencegah dan menghentikan pengaruh pemahaman yang dapat mengarah pada tindakan terorisme dan eksklusivisme semacam ini, yang pada akhirnya dapat mengancam persatuan umat. Dalam salah satu komentar para tokoh tentang keberadaan buku ini, ketua MUI, KH Ma’ruf Amin menegaskan, “Dengan membaca buku ini diharapkan seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih sayangnya,lapang dada dalam menerima perbedaan dan adil dalam menyikapi permasalahan”.

Dan memang bagi para pembaca dari kalangan luar Wahabi, buku ini dapat memberikan informasi yang cukup, sehingga dapat mengetahui bahaya pengaruh serta mengetahui ciri paham ekstrim. Sedangkan bagi para simpatisan wahabi, buku ini juga dapat menjadi sumber informasi yang jelas, sehingga mereka akhirnya tahu dan sadar akan sejarah paham yang mereka anut. Semoga kita semua diberi petunjuk oleh Allah Swt untuk senantiasa tetap menuju ke jalan yang lurus dan benar.

*Penulis adalah Aktivis PMII Solo (Artikel ini juga dimuat di NU Online, 28 Maret 2011)

Sabtu, 02 April 2011

Membangun Berperspektif Ekosob

Oleh: M Ajie Najmuddin*

Masih kita ingat, beberapa waktu lalu, beberapa kalangan menyoroti proyek pembangunan videotron yang dianggap mubazir. Mereka menilai Pemkot Solo mengalahkan hal lain yang jauh lebih penting, semisal untuk pembangunan ruangan khusus untuk ibu menyusui di tempat umum. Hal yang menjadi sorotan beberapa kalangan tersebut, memang tengah menjadi kegelisahan kita bersama. Kasus videotron tersebut hanya menjadi salah satu contoh, beberapa kebijakan yang diambil oleh Pemkot seringkali melupakan hal-hal yang semestinya diutamakan (prioritas) untuk dilaksanakan.

Unsur prioritas ini merupakan salah satu prinsip yang harus dipegang dalam upaya pemenuhan hak Ekosob (Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Jadi dalam tataran praktis kebijakan, semisal antara kebijakan pemenuhan hak kesehatan atau pembangunan videotron, manakah yang harus didahulukan antara keduanya? Atau dalam hal yang sama, antara pembangunan city walk dengan renovasi Masjid Agung, manakah yang harus diprioritaskan? Kalau kita boleh menilai, keduanya memang sama-sama penting, namun kembali kepada persepektif prinsip prioritas, bahwa selalu ada hal yang didahulukan, mengingat kepentingannya yang lebih besar.

Selain prinsip prioritas tadi, juga terhadap hak menentukan nasib sendiri (self determination). Ini menjadi hal penting sebagai bagian dari hak dasar dari negara yang berdaulat untuk mampu membina integritas teritorialnya. Implikasinya pada hak Ekosob adalah, menjadi hak setiap orang untuk secara bebas mengembangkan ekonomi, sosial dan budayanya, termasuk kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan budaya.

Prinsip ketiga adalah prinsip non-diskriminasi. Di dalam prinsip ini telah disebutkan di atas, bahwa negara memiliki kewajiban sesegera mungkin memenuhi hak ekosob bagi warganya. Prinsip keempat, negara memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak Ekosob warganya. Dalam konteks ini maka negara diletakkan sebagai aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) mewujudkan hak-hak Ekosob. Sementara, warga negara adalah pemegang hak (rights holders).

Dalam praktiknya, khususnya di negara-negara dunia ketiga, hak Ekosob biasanya terabaikan. Indonesia, dalam konteks ini, merupakan salah satu bagian dari negara yang belum memaksimalkan diri menjamin hak ekosob. Implementasi dari UU ini belum banyak diwujudkan ke dalam kebijakan-kebijakan baik di tingkatan pusat maupun daerah. Lantas bagaimana seharusnya implementasi atau pemenuhan hak Ekosob ini?

Edukasi dan Integritas

Apa yang telah diamanatkan dalam UU No 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekosob, semestinya bisa diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Seperti juga di level pemerintah pusat, di daerah dimungkinkan semua kelembagaan pemerintahan yang ada untuk dapat berkontribusi mendorong pemenuhan hak Ekosob. Pemerintah daerah, baik di Kota Solo maupun di daerah lain, semestinya merumuskan strategi legislasi daerah, yang kemudian diharapkan mampu mendorong terbentuknya berbagai peraturan daerah yang pro-Ekosob.

Dalam konteks prioritas kebijakan, penyelenggaraan pemerintahan di daerah juga perlu mempertimbangkan penyusunan anggaran yang memenuhi kepentingan dan pemenuhan hak Ekosob serta menjadikannya sebagai skala prioritas yang utama. Anggaran yang bersentuhan langsung dengan upaya peningkatan kesejahteraan warga, mesti lebih diprioritaskan dibanding hanya untuk pembangunan fisik kota semata. Apalah arti indahnya wajah daerah atau kota, jika warga tidak sejahtera.

Disamping tindakan dalam ranah pemangku kebijakan tersebut, unsur edukasi dan keterlibatan masyarakat juga tidak boleh dilupakan. Peran serta masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan mutlak harus tetap dilaksanakan. Masyarakat juga berhak tahu mengenai hak Ekosob ini. Karena di satu sisi, pada umumnya belum banyak masyarakat yang mengetahui akan keberadaan atau jaminan tentang hak Ekosob ini. Mereka lebih banyak mengetahui dan memperhatikan hak sipil dan politik.

Untuk itu, perlu ada sosialisasi kepada masyarakat baik melalui media maupun forum pertemuan warga. Dari proses itu, warga juga bisa turut serta dalam pemenuhan Ekosob, kemudian mereka mengetahui siapa saja yang menjadi bagian dari pemenuhan hak Ekosob ini. Lalu bagian mana yang menjadi wewenang dan tanggung jawab negara, masyarakat dan individu. Pada intinya, sinergitas peran semua pihak diharapkan bisa mendukung terciptanya pembangunan daerah yang berperspektif Ekosob. -

*(Dimuat di Harian Solopos, 29 Maret 2011)

Sabtu, 26 Maret 2011

Peringatan Haul Habib Hasan bin Husein Alaidrus

(Solo),- Syai’lillah ya Aidrusi, Syai’lillah muhyinnufusi, Syai’lillah syamsusyumusi, al-madad ya aidrusi... Lantunan bait-bait penggalan syair dan puji-pujian tersebut mewarnai acara peringatan haul Habib Hasan bin Husein bin Abdullah Alaidrus yang berlangsung semalam (25/3) di kediaman putra beliau, Habib Husain bin Hasan Alaidrus di daerah Pasar Klliwon, Solo. Acara diawali dengan pembacaan kitab maulid simtudurar dan yasinan, dan diisi dengan ceramah oleh Habib Alaidrus dan Habib Muhsin Al-Jufri dari Solo.

Dalam ceramahnya Habib Alaidrus mengatakan, "Peringatan haul ini, agar kita mengenal dan mengetahui mereka. Supaya kita terselamatkan dari fitnah yang merongrong agama islam." Peringatan haul ini memang bertujuan disamping untuk mendoakan mengingat perjuangan para orang-orang salih yang sudah meninggal, juga agar kita terselamatkan dari fitnah zaman akhir.

Dalam acara tersebut dikisahkan tentang manaqib Habib Hasan. Habib Hasan Alaidrus, merupakan salah seorang tokoh pendakwah Islam yang hijrah ke Kota Solo. Beliau lahir di Tarim, Yaman. kepindahan beliau ke Solo tak lepas dari pamannya, Habib Muhammad bin Husein Alaidrus (Habib Neon). Hasan kecil tumbuh berkembang dan mendapatkan pendidikan langsung dari kedua orang tuanya.


Setelah dewasa beliau dikenal memiliki pandangan luas tapi kuat dalam berprinsip. Dalam berbagai ilmu diantaranya ilmu Nahwu dan fiqh,beliau menjadi rujukan dari berbagai madzhab. Oleh beberapa ulama beliau disebut sebagai Waliyyul mastur (wali yang tersembunyi). Semasa hidupnya, beliau menghasilkan beberapa karya diantaranya adalah Kitab bulughul murad wasiyyatil aulad yang berisi syair dan terkandung banyak hikmah dan nasehat di dalamnya. Habib Hasan wafat pada malam Jumat 25 Mei 1974. Jasad beliau dimakamkan di Pemakaman Tipes, Solo.

Acara haul ini bersamaan pula dengan acara haul Habib Ali Al-Habsyi (Pengarang Simtudurar), yang sedianya akan dilaksanakan pada hari ini di Masjid Riyadh, Solo. Haul kedua tokoh tersebut secara rutin diadakan setahun sekali setiap tanggal 20 Rabi'ul Akhir dan menjadi event akbar para peziarah dan pecinta dzurriyah Rasul saw.

Jumat, 25 Maret 2011

Serba-Serbi Kongres... (1)

Acara kongres ke-XVII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Banjarbaru (Kalsel) yang telah berakhir pada pekan kemarin, meninggalkan kesan tersendiri di masing-masing peserta, termasuk saya yang beruntung bisa ikut hadir dalam kegiatan akbar PMII tersebut. Letupan kemarahan, Kebanggaan, kebahagiaan, dan kesedihan bercampur, terangkai dalam seluruh prosesi acara.

Dimulai dari acara pembukaan kongres, Rabu (9/3), yang dihadiri oleh kader-kader PMII se-Indonesia, para alumni dan pembina. Turut hadir pula salah satu pendiri PMII (KH. Nuril Huda Suaidi), Gubernur Kalsel dan Menegpora Andi Mallarangeng.

Ada perasaan bangga bercampur haru, tatkala berkumandang lagu Indoensia Raya dan 'lagu kebangsaan' (mars) PMII. Bagaimana tidak, hampir seluruh kader PMII se-nusantara hadir di sini, dengan khidmat nan lantang menyuarakan satu suara:

"...untukmu satu tanah airku, untukmu satu keyakinanku, inilah kami wahai Indonesia,
satu angkatan dan satu jiwa, putera bangsa bebas merdeka, tangan terkepal dan maju ke muka...."

Acara pembukaan secara resmi ditandai dengan ditabuhnya gong oleh Menegpora, mewakili Presiden SBY yang sedianya hadir untuk membuka acara.

Gong...!!! Genderang tanda dimulainya perhelatan akbar PMII telah ditabuh dan 'pertarungan' segera tersaji dalam arena kongres PMII ke-XVII.

PMII dan NU

Oleh: M Ajie Najmuddin

Acara Kongres XVII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) telah berlalu. Berbagai gagasan dan wacana terkait PMII mulai muncul baik dari hasil diskusi di forum seminar hingga obrolan di warung kopi. Penulis mencermati setidaknya ada tiga hal yang menjadi perbincangan besar di antara para peserta.

Pertama, sistem pengkaderan PMII. Ini terkait bagaimana membangun ruang dan pola pengkaderan di PMII. Kedua, paradigma pergerakan. Ketiga, wacana untuk 'menyatukan' kembali PMII menjadi salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (banom NU).

Adalah wacana ketiga yang paling banyak disinggung, mulai dari acara pembukaan hingga seminar terakhir. Slamet Effendi Yusuf, alumni PMII dan sekarang pengurus PBNU, melontarkan kembali wacana tersebut kepada para kader PMII. Bahwa konteks PMII menyatakan independen terhadap NU pada saat itu, lebih kepada keinginan PMII untuk tidak terjebak ke dalam arah politik praktis. NU pada saat itu memang tengah asyik dalam aras politik nasional sebagai salah satu partai politik yang memiliki dukungan massa yang cukup besar.

Keinginan untuk menjadi independen tersebut semakin menguat, pada dasawarsa 70-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan isu back to campus serta organisasi-organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis.

14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.

Namun, pada perkembangannya dalam Muktamar Situbondo tahun 1984, NU kemudian juga menegaskan komitmen kembali ke khittah, untuk tidak lagi aktif dalam politik praktis. Dalam konstelasi situasi ini kemudian mencuat pertanyaan: apakah PMII akan kembali bergabung dengan NU? Atau tetap mempertahankan komitmennya untuk tetap independen?

Pertanyaan di atas sedikit terjawab ketika PMII kemudian menegaskan kembali sikap independensi menjadi interdependensi terhadap NU. Yakni, secara struktural kelembagaan PMII tidak terikat kepada NU. Tapi secara ikatan teologis dan kultural, relasi atau hubungan PMII dan NU tidak dapat terpisahkan.

Sinergitas Gerakan

Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan. Tak dapat dipungkiri, bila dilihat dari akar historitas, kelahiran PMII tak bisa dipisahkan dari lingkup NU. Meskipun PMII pernah menyatakan independen tehadap NU, tetapi pada hakikatnya landasan ideologi ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja) yang diusung PMII masih selaras dengan landasan ideologi NU. Lebih dari itu, hubungan PMII dengan NU merupakan relasi strategis, bukan semata-mata karena ikatan teologis dan kultural, melainkan karena secara sosio-ekonomi dan sosio-politik, antara PMII dengan NU memiliki banyak kesamaan. Selain itu tidak boleh diingkari bahwa pada hakikatnya titik keberangkatan PMII adalah dari akar NU.

Memperkuat hubungan dengan Nahdlatul Ulama semestinya diarahkan dari visi kebangsaan. Bagaimanapun NU adalah ormas keagamaan yang paling tegas dalam menyatakan visi nasionalismenya. Visi ini sama dengan visi di PMII. Selain itu, hubungan diarahkan untuk membentuk pola ikatan yang lebih massif dari proses berbangsa yang tengah dibangun PMII. Sebagaimana PMII, NU memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi perekat bangsa ini, mengingat secara tradisi, Islam di Indonesia pada dasarnya direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama.

Titik persoalannya, basis NU baru terdapat di Jawa, sementara luar Jawa belum mendapat perhatian yang cukup. Apabila basis di luar Jawa dikembangkan secara serius, PMII dan NU akan menjadi kekuatan strategis. Semisal di beberapa daerah di Kalimantan Selatan yang memiliki nuansa kultur 'Islam-Indonesia' yang kental, ini bisa menjadi pijakan awal hubungan tersebut.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa digali dari arah perjuangan bersama antara PMII dan NU. Pertama, ideologis. Dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII memilih Aswaja sebagai pendekatan berpikir dalam menghayati dan memahami keyakinan beragama. Dalam hal ini, PMII selaras dengan perjuangan NU. Islam Aswaja yang dikenal memiliki semangat nilai tawasuth (moderat), al-hurriyah (kemerdekaan), tasamuh (toleransi), i'tidal (keadilan), al-hurriyah (persamaan), dan al-sulh (nilai perdamaian) merupakan landasan penting di tengah kenyataan masyarakat Indoensia yang serba majemuk ini. Nilai-nilai ini-lah yang semestinya menjadi perjuangan bersama (universal), tidak hanya PMII dan NU, tetapi juga setiap elemen lain dalam komponen bangsa ini.

Kedua, aspek sosiologis. Hubungan dalam pengertian yang tidak bersifat organisatoris. Apalagi bila dihubungkan dengan kesamaan sosio-ekonomi, sosio-kultur, dan sosio-politik antara PMII dengan NU. Ketiga, aspek teknis. Bahwa di setiap lembaga, masing-masing pasti memiliki program kegiatan. Di NU misalnya, memiliki program kegiatan yang meliputi banyak aspek, semisal di pendidikan, kesehatan, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan lain sebagainya. Di ruang-ruang itulah, PMII dengan NU bisa saling mengisi. Ketiga hal tersebut, minimal bisa menjadi bukti ketegasan komitmen interdependensi PMII dengan NU.

Pada akhirnya, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak akan lepas dari faham ahlussunnah wal jamaah yang juga merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja pula, PMII membedakan diri dengan organisasi lain.

Satu hal yang patut kita ingat adalah, bukan persoalan menjadi banom atau tidak menjadi banom, tetapi bagaimana PMII, NU, dan kita semua bisa tetap berkomitmen dalam perjuangan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

*Penulis adalah aktivis PMII Solo
(tulisan ini dimuat di rubrik Kolom NU Online 21 Maret 2011)