Minggu, 22 Mei 2011

Robohnya Perpustakaan Kami!

Harianjoglosemar. Rabu, 18/05/2011 09:00 WIB
Oleh: M Ajie Najmuddin (Pegiat Komunitas Ayo Moco)
Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.” (Milan Kundera)
Ungkapan dari seorang sastrawan asal Ceko di atas memang ada benarnya. Sejarah kebesaran sebuah peradaban bangsa akan lebih diakui keabsahan asal-muasal dan perkembangannya dari literatur, dari bukti-bukti autentik, yang tidak sekadar turun-temurun dituturkan dari lisan ke lisan. Maka tidak salah jika ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa karakter suatu bangsa, dapat dilihat dari perpustakaan nasionalnya.
Perpustakaan nasional bisa menggambarkan keragaman masyarakat, corak sosial kultur, dan bahkan geografis suatu bangsa. Dari ragam koleksi yang dimiliki, dapat dilihat identitas masyarakatnya. Identitas secara kolektif, kebesaran dan kehancuran, kebangunan dan kejatuhan, dapat terekam dengan baik dalam sumber-sumber literasi jika perpustakaan bisa selalu terjaga dari pemusnahan (Diana, 2009).
Sayangnya, meskipun tahu akan pentingnya fungsi keberadaan sebuah perpustakaan, hingga saat ini pemerintah kita belum begitu bersemangat membangun representasi kepribadian bangsa tersebut. Baik perpustakaan nasional maupun perpustakaan di daerah-daerah, kondisinya hampir sama, mengenaskan. Pada tingkatan nasional, belum pernah ada gerakan mengajak warga untuk mengumpulkan data-data sejarah yang dimilikinya. Sementara perpustakaan di tiap daerah, rata-rata nasibnya memprihatinkan dan oleh pemerintah setempat keberadaannya kurang begitu diperhatikan.
Kini, di Kota Solo, bagaimana pula nasib perpustakaannya? Solo, yang dalam sejarahnya memiliki budaya literasi cukup baik, ini bisa kita lihat dari pelbagai karya sastra yang terwujud dalam berbagai bentuk, seperti tulisan (serat), kesejarahan (babad), dan pelbagai karya sastra lainnya. Sebut saja karya-karya seperti Serat Centhini, Serat Kalathida dan lainnya.
Perpustakaan di Solo
Kota Bengawan juga memiliki banyak perpustakaan. Selain perpustakaan daerah yang dikelola pemerintah kota, terdapat pula perpustakaan-perpustakaan yang menyimpan arsip-arsip lama ataupun manuskrip. seperti halnya di Monumen Pers, Perpustakaan di Mangkunegaran dan Sasono Pustoko di Keraton Kasunanan. Koleksi arsip, manuskrip dan buku yang ada perpustakaan tersebut sering dijadikan rujukan dalam penelitian, baik dari dalam maupun luar negeri.
Penasaran dengan semua cerita itu, beberapa hari lalu saya berkeliling kota untuk melihat perpustakaannya. Namun, kenyataan kadang tak semanis yang diceritakan. Perpustakaan daerah yang terletak di Kepatihan misalnya, menurut penuturan petugas, setiap harinya rata-rata sepi pengunjung. Apabila dilihat dari segi bangunan dan interiornya, memang tidak cukup menarik minat orang untuk berkunjung ke perpustakaan. Satu hal lain yang tak kalah penting, hari liburnya menyesuaikan hari libur pegawai. Alhasil, hari Sabtu dan Minggu, di mana seharusnya banyak orang yang memiliki waktu luang membaca, perpustakaan justru ditutup.
Tak puas dengan fakta itu, saya kemudian beralih ke Mangkunegaran dan Monumen Pers. Perpustakaan di dua tempat tersebut sebetulnya memiliki kelebihan tersendiri. Yang pertama bagus dari sisi pengelolaan, satunya bagus dari segi fisik bangunan. Yang menjadi kelemahan dari keduanya, dari segi pemanfaatannya sebagai ruang baca dan ruang belajar masih minim. Lain lagi di Sasono Pustoko, Keraton Kasunanan, kondisinya lebih buruk dibanding kedua perpustakaan tadi. Bangunannya yang tidak begitu terawat dan koleksinya juga banyak yang hilang.
Sangat disesalkan, kebesaran sejarah literasi dan banyaknya perpustakaan yang ada di Solo, ternyata tidak diimbangi dengan perhatian yang serius dari pemerintah kota dan kesadaran warganya. Beberapa dari perpustakaan tersebut, secara fisik bangunan kondisinya sudah banyak perbaikan. Namun dari sisi fungsinya sebuah perpustakaan (sebagai tempat membaca atau penyimpanan koleksi buku), sebagian besar dari perpustakaan tersebut menghadapi kenyataan yang sama, miskin pengunjung dan miskin koleksi.
Membangun Perpustakaan

Robohnya Perpustakaan Kami! Judul tersebut, meminjam judul sebuah karya sastra karangan AA Navis, Robohnya Surau Kami! Dalam novel tersebut, diceritakan bahwa surau atau musala, memang secara bangunan fisik tidak benar-benar roboh. Tetapi surau sebagai sebuah simbol bangunan keagamaan dan moralitas telah roboh (mengalami degradasi moral). Maka, perpustakaan sebagai sebuah simbol istana buku, cerminan tradisi membaca suatu masyarakat, representasi kepribadian bangsa, apakah juga akan mengalami nasib yang sama ataukah memang sudah benar-benar roboh?
Oleh karena itu, sebelum benar-benar terlambat roboh, kita mesti segera berupaya memperbaiki perpustakaan. Pertama, merevitalisasi perpustakaan. Upaya revitalisasi ini merupakan suatu upaya menghidupkan kembali fungsi perpustakaan sebagai ruang baca dan ruang belajar (penelitian). Dalam hal ini, Pemkot Solo perlu memberikan perhatian lebih, yang diwujudkan semisal dalam kebijakan pengelolaan dan anggaran yang lebih responsif.
Contohlah Pemerintah Kota Malang, yang memberikan perhatian serius dalam mengelola perpustakaan daerah. Tidak hanya dari aspek fisik bangunan yang akan membuat orang merasa nyaman membaca di dalamnya, namun juga aspek pelayanan. Hari Sabtu dan Minggu, perpustakaan tetap dibuka untuk memberikan kesempatan membaca bagi mereka yang baru bisa meluangkan waktunya pada hari libur.
Kedua, Pemerintah Kota Solo mesti lebih massif dalam upaya menggerakkan ajakan gemar membaca kepada warga. Gerakan gemar membaca ini sedikit banyak akan berdampak terhadap minat warga untuk berkunjung ke perpustakaan. Hal ini sebetulnya sudah disiasati oleh Pemkot dengan membuka perpustakaan (mobil) keliling dan juga menjalin kerja sama dengan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) yang kemudian menghasilkan mobil pintar, namun belum begitu efektif.
Kedua upaya tersebut akan lebih berhasil, bila warga juga turut berpartisipasi. Ketika perpustakaan telah terbangun bagus, sangat disayangkan bila kemudian warga tidak turut aktif dalam menghidupkan dan memanfaatkan keberadaannya. Mari bersama kita membangun (kembali) perpustakaan, sebelum ia benar-benar roboh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar