Rabu, 11 Mei 2011

Hardikans dan Freire


Oleh : M Ajie Najmuddin*
2 Mei, seperti biasa kita peringati bersama hari pendidikan nasional (Hardiknas), sebagai wujud peringatan atas lahirnya tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara. Namun, pada tanggal tersebut, entah kebetulan atau tidak, ternyata bertepatan pula dengan peringatan wafat seorang tokoh pendidikan asal Brasil, Paulo Freire, yang meninggal pada tahun 1997 lalu. Bukan hendak mengesampingkan peran penting guru besar kita tersebut, melainkan mencoba untuk mencari perspektif lain dalam memaknai dan merefleksikan momentum peringatan Hardiknas kali ini.
Freire, sebagaimana yang telah sedikit banyak kita ketahui, merupakan seorang tokoh pendidikan yang mengenalkan konsepsi penyadaran (contscientizacao) sebagai inti dari pendidikan. Bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memanusiakan dan membebaskan manusia dari penindasan (dehumanisasi). Konsep tersebut kemudian ia jabarkan menjadi tiga macam, yakni kesadaran magis, naif, dan kritis (Mansour Fakih, 2001).
Tujuan pendidikan pembebasan ala Freire tersebut, tak jauh berbeda bila kita bandingkan dengan amanat konstitusi negara kita, yakni pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut ditafsirkan secara panjang lebar dalam UU Sisdiknas, yakni bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada intinya tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah tak jauh dari dua kata di atas, pembebasan dan pemanusiaan.
Namun, apa yang dicita-citakan dari konsep perundang-undangan tersebut, dalam implementasinya ternyata masih jauh dari harapan. Dalam menyusun RENSTRA Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010 – 2015 lebih menekankan pada manajemen dan kepemimpinan, bukan pada masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Anak Indonesia hanya dijadikan obyek, anak Indonesia bukan merupakan suatu proses humanisasi atau pemanusiaan. Anak Indonesia dijadikan alat untuk menggulirkan suatu tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan, ketrampilan, penguasaan skill yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi. Lantas, bagaimanakah pendidikan kita semestinya diarahkan?
Pendidikan Berkesadaran
Memang, pertanyaan di atas terkesan retoris, sebab tujuan pendidikan kita sudah jelas, untuk mencerdaskan bangsa. Namun dalam kenyataan yang tengah kita hadapi, perlu ada upaya untuk mengembalikan lagi pendidikan pada tujuannya, atau pendidikan untuk membebaskan dan memanusiakan manusia dalam perspektif Freire. Dalam rangka itulah, perlu adanya proses penyadaran sebagai inti dari pendidikan.
Kata kuncinya kemudian adalah kesadaran, kesadaran kritis, yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Dalam konteks masalah pendidikan, maka kita tidak lagi melihat persoalan siapa yang benar dan salah (subjek), tetapi lebih kepada bagaimana sistem pendidikan kita berjalan. Tidak hanya di tingkat decision maker (pemerintah, sekolah dan sebagainya), tetapi juga dengan segenap perangkat lunak dan perangkat kerasnya.
Oleh karena itu, paling tidak ada dua hal yang mesti diperhatikan untuk mengarahkannya. Pertama, persoalan paradigma pendidikan. Paradigma ini akan menentukan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan dan arah kebijakan pendidikan. Paradigma pendidikan kita saat ini yang terkesan profit oriented, untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan.
Pendek kata, perlu adanya penyadaran dan perombakan atas paradigma sistem pendidikan kita. Bahwa tujuan pendidikan tidak hanya sekedar mencari ijazah (mempermudah mencari pekerjaan) belaka, tetapi lebih berorientasi kepada pengenalan realitas pada diri manusia (pencerdasan). Dengan konsep ini, pemerintah juga semestinya mampu menyediakan pendidikan berkualitas nan terjangkau untuk warganya.
Kedua, dalam konteks kelengkapan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Aspek pengajar dan sekolah merupakan hal tak boleh diabaikan. Keduanya adalah faktor penting penentu keberhasilan sebuah pendidikan. Maka disamping upaya perbaikan kesejahteraan pada guru dan bangunan fisik pada sekolah, juga perlu ditekankan orientasi metode pengajaran yang lebih dialogis dan humanis, baik dari guru personal maupun secara kurikulum.
Refleksi pendidikan dan dua gagasan di atas setidaknya dapat menjadi bahan renungan bagi kita. Sengkarut pada sistem pendidikan Indonesia, membutuhkan upaya dari berbagai pihak untuk menyelesaikannya. Tujuan pendidikan mesti diluruskan kembali arahnya, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, refleksi bila tanpa aksi adalah verbalisme, sedangkan aksi tanpa refleksi juga hanya akan menjadi aktivisme belaka. Semoga momentum peringatan Hardiknas kali ini, bisa menjadi refleksi sekaligus mewujudkan aksi nyata bagi kita semua untuk menjadikan pendidikan di negeri kita menjadi lebih baik.
*Aktivis PMII, Pengajar di Sukoharjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar