Sabtu, 26 Maret 2011

Peringatan Haul Habib Hasan bin Husein Alaidrus

(Solo),- Syai’lillah ya Aidrusi, Syai’lillah muhyinnufusi, Syai’lillah syamsusyumusi, al-madad ya aidrusi... Lantunan bait-bait penggalan syair dan puji-pujian tersebut mewarnai acara peringatan haul Habib Hasan bin Husein bin Abdullah Alaidrus yang berlangsung semalam (25/3) di kediaman putra beliau, Habib Husain bin Hasan Alaidrus di daerah Pasar Klliwon, Solo. Acara diawali dengan pembacaan kitab maulid simtudurar dan yasinan, dan diisi dengan ceramah oleh Habib Alaidrus dan Habib Muhsin Al-Jufri dari Solo.

Dalam ceramahnya Habib Alaidrus mengatakan, "Peringatan haul ini, agar kita mengenal dan mengetahui mereka. Supaya kita terselamatkan dari fitnah yang merongrong agama islam." Peringatan haul ini memang bertujuan disamping untuk mendoakan mengingat perjuangan para orang-orang salih yang sudah meninggal, juga agar kita terselamatkan dari fitnah zaman akhir.

Dalam acara tersebut dikisahkan tentang manaqib Habib Hasan. Habib Hasan Alaidrus, merupakan salah seorang tokoh pendakwah Islam yang hijrah ke Kota Solo. Beliau lahir di Tarim, Yaman. kepindahan beliau ke Solo tak lepas dari pamannya, Habib Muhammad bin Husein Alaidrus (Habib Neon). Hasan kecil tumbuh berkembang dan mendapatkan pendidikan langsung dari kedua orang tuanya.


Setelah dewasa beliau dikenal memiliki pandangan luas tapi kuat dalam berprinsip. Dalam berbagai ilmu diantaranya ilmu Nahwu dan fiqh,beliau menjadi rujukan dari berbagai madzhab. Oleh beberapa ulama beliau disebut sebagai Waliyyul mastur (wali yang tersembunyi). Semasa hidupnya, beliau menghasilkan beberapa karya diantaranya adalah Kitab bulughul murad wasiyyatil aulad yang berisi syair dan terkandung banyak hikmah dan nasehat di dalamnya. Habib Hasan wafat pada malam Jumat 25 Mei 1974. Jasad beliau dimakamkan di Pemakaman Tipes, Solo.

Acara haul ini bersamaan pula dengan acara haul Habib Ali Al-Habsyi (Pengarang Simtudurar), yang sedianya akan dilaksanakan pada hari ini di Masjid Riyadh, Solo. Haul kedua tokoh tersebut secara rutin diadakan setahun sekali setiap tanggal 20 Rabi'ul Akhir dan menjadi event akbar para peziarah dan pecinta dzurriyah Rasul saw.

Jumat, 25 Maret 2011

Serba-Serbi Kongres... (1)

Acara kongres ke-XVII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Banjarbaru (Kalsel) yang telah berakhir pada pekan kemarin, meninggalkan kesan tersendiri di masing-masing peserta, termasuk saya yang beruntung bisa ikut hadir dalam kegiatan akbar PMII tersebut. Letupan kemarahan, Kebanggaan, kebahagiaan, dan kesedihan bercampur, terangkai dalam seluruh prosesi acara.

Dimulai dari acara pembukaan kongres, Rabu (9/3), yang dihadiri oleh kader-kader PMII se-Indonesia, para alumni dan pembina. Turut hadir pula salah satu pendiri PMII (KH. Nuril Huda Suaidi), Gubernur Kalsel dan Menegpora Andi Mallarangeng.

Ada perasaan bangga bercampur haru, tatkala berkumandang lagu Indoensia Raya dan 'lagu kebangsaan' (mars) PMII. Bagaimana tidak, hampir seluruh kader PMII se-nusantara hadir di sini, dengan khidmat nan lantang menyuarakan satu suara:

"...untukmu satu tanah airku, untukmu satu keyakinanku, inilah kami wahai Indonesia,
satu angkatan dan satu jiwa, putera bangsa bebas merdeka, tangan terkepal dan maju ke muka...."

Acara pembukaan secara resmi ditandai dengan ditabuhnya gong oleh Menegpora, mewakili Presiden SBY yang sedianya hadir untuk membuka acara.

Gong...!!! Genderang tanda dimulainya perhelatan akbar PMII telah ditabuh dan 'pertarungan' segera tersaji dalam arena kongres PMII ke-XVII.

PMII dan NU

Oleh: M Ajie Najmuddin

Acara Kongres XVII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) telah berlalu. Berbagai gagasan dan wacana terkait PMII mulai muncul baik dari hasil diskusi di forum seminar hingga obrolan di warung kopi. Penulis mencermati setidaknya ada tiga hal yang menjadi perbincangan besar di antara para peserta.

Pertama, sistem pengkaderan PMII. Ini terkait bagaimana membangun ruang dan pola pengkaderan di PMII. Kedua, paradigma pergerakan. Ketiga, wacana untuk 'menyatukan' kembali PMII menjadi salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (banom NU).

Adalah wacana ketiga yang paling banyak disinggung, mulai dari acara pembukaan hingga seminar terakhir. Slamet Effendi Yusuf, alumni PMII dan sekarang pengurus PBNU, melontarkan kembali wacana tersebut kepada para kader PMII. Bahwa konteks PMII menyatakan independen terhadap NU pada saat itu, lebih kepada keinginan PMII untuk tidak terjebak ke dalam arah politik praktis. NU pada saat itu memang tengah asyik dalam aras politik nasional sebagai salah satu partai politik yang memiliki dukungan massa yang cukup besar.

Keinginan untuk menjadi independen tersebut semakin menguat, pada dasawarsa 70-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan isu back to campus serta organisasi-organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis.

14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.

Namun, pada perkembangannya dalam Muktamar Situbondo tahun 1984, NU kemudian juga menegaskan komitmen kembali ke khittah, untuk tidak lagi aktif dalam politik praktis. Dalam konstelasi situasi ini kemudian mencuat pertanyaan: apakah PMII akan kembali bergabung dengan NU? Atau tetap mempertahankan komitmennya untuk tetap independen?

Pertanyaan di atas sedikit terjawab ketika PMII kemudian menegaskan kembali sikap independensi menjadi interdependensi terhadap NU. Yakni, secara struktural kelembagaan PMII tidak terikat kepada NU. Tapi secara ikatan teologis dan kultural, relasi atau hubungan PMII dan NU tidak dapat terpisahkan.

Sinergitas Gerakan

Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan. Tak dapat dipungkiri, bila dilihat dari akar historitas, kelahiran PMII tak bisa dipisahkan dari lingkup NU. Meskipun PMII pernah menyatakan independen tehadap NU, tetapi pada hakikatnya landasan ideologi ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja) yang diusung PMII masih selaras dengan landasan ideologi NU. Lebih dari itu, hubungan PMII dengan NU merupakan relasi strategis, bukan semata-mata karena ikatan teologis dan kultural, melainkan karena secara sosio-ekonomi dan sosio-politik, antara PMII dengan NU memiliki banyak kesamaan. Selain itu tidak boleh diingkari bahwa pada hakikatnya titik keberangkatan PMII adalah dari akar NU.

Memperkuat hubungan dengan Nahdlatul Ulama semestinya diarahkan dari visi kebangsaan. Bagaimanapun NU adalah ormas keagamaan yang paling tegas dalam menyatakan visi nasionalismenya. Visi ini sama dengan visi di PMII. Selain itu, hubungan diarahkan untuk membentuk pola ikatan yang lebih massif dari proses berbangsa yang tengah dibangun PMII. Sebagaimana PMII, NU memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi perekat bangsa ini, mengingat secara tradisi, Islam di Indonesia pada dasarnya direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama.

Titik persoalannya, basis NU baru terdapat di Jawa, sementara luar Jawa belum mendapat perhatian yang cukup. Apabila basis di luar Jawa dikembangkan secara serius, PMII dan NU akan menjadi kekuatan strategis. Semisal di beberapa daerah di Kalimantan Selatan yang memiliki nuansa kultur 'Islam-Indonesia' yang kental, ini bisa menjadi pijakan awal hubungan tersebut.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa digali dari arah perjuangan bersama antara PMII dan NU. Pertama, ideologis. Dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII memilih Aswaja sebagai pendekatan berpikir dalam menghayati dan memahami keyakinan beragama. Dalam hal ini, PMII selaras dengan perjuangan NU. Islam Aswaja yang dikenal memiliki semangat nilai tawasuth (moderat), al-hurriyah (kemerdekaan), tasamuh (toleransi), i'tidal (keadilan), al-hurriyah (persamaan), dan al-sulh (nilai perdamaian) merupakan landasan penting di tengah kenyataan masyarakat Indoensia yang serba majemuk ini. Nilai-nilai ini-lah yang semestinya menjadi perjuangan bersama (universal), tidak hanya PMII dan NU, tetapi juga setiap elemen lain dalam komponen bangsa ini.

Kedua, aspek sosiologis. Hubungan dalam pengertian yang tidak bersifat organisatoris. Apalagi bila dihubungkan dengan kesamaan sosio-ekonomi, sosio-kultur, dan sosio-politik antara PMII dengan NU. Ketiga, aspek teknis. Bahwa di setiap lembaga, masing-masing pasti memiliki program kegiatan. Di NU misalnya, memiliki program kegiatan yang meliputi banyak aspek, semisal di pendidikan, kesehatan, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan lain sebagainya. Di ruang-ruang itulah, PMII dengan NU bisa saling mengisi. Ketiga hal tersebut, minimal bisa menjadi bukti ketegasan komitmen interdependensi PMII dengan NU.

Pada akhirnya, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak akan lepas dari faham ahlussunnah wal jamaah yang juga merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja pula, PMII membedakan diri dengan organisasi lain.

Satu hal yang patut kita ingat adalah, bukan persoalan menjadi banom atau tidak menjadi banom, tetapi bagaimana PMII, NU, dan kita semua bisa tetap berkomitmen dalam perjuangan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

*Penulis adalah aktivis PMII Solo
(tulisan ini dimuat di rubrik Kolom NU Online 21 Maret 2011)