Senin, 20 Juli 2009

Indonesia Di Tengah Pasar Bebas

Ada banyak cara untuk memulihkan ekonomi,
salah satunya, menjual hati nurani
(Acep Zamzam Noor)

Dalam peradaban baru dunia global, kemajuan teknologi dan informasi menjadi infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan ekonomi neoliberal. Melalui teknologi informasi, pemegang modal raksasa di sektor keuangan dan industri dengan mudah memindahkan modalnya dari satu negara ke negara lain hanya dengan memencet mouse komputer.
Selain teknologi informasi, sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh pemodal raksasa dari negara-negara dunia pertama. Tanpa menutup optimisme, andai kita jujur, Indonesia dalam posisi terkunci dalam gerak kenyataan global. sebabnya dalam konsep international division of labour teori world-system, negara-negara dunia pertamalah yang menguasai sistem dunia saat ini sebagai negara pusat (core) yang sebagian tergabung dalam kelompok G-8, muara aliran surplus ekonomi yang bersumber dari negara-negara periphery (pinggiran/berkembang) dan semi periphery.
Negara-negara pusat memainkan peran strategis dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Sebagai contoh ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdagangan barang lintas negara. Cara pandang penerapan aturan dalam ISO mengacu pada cara pandang negara dunia pertama, yang jelas berbeda dengan cara pandang megara-negara dunia ketiga. Aturan tersebut banyak merugikan negara-negara dunia ketiga pada hukum besi mekanisme pasar. Lalu bagaimanakah tindakan kita setelah mengetehaui kenyataan tersebut?
Strategi Gerakan di Tengah Arus Globalisasi
Akhir abad XX dan abad XXI ini kita telah menyaksikan maraknya gerakan anti globalisasi yang telah mengharu-biru dan terus menyebar ke negara-negar Dunia Ketiga. Bagaimanapun, ketahanan dan kekuatan gerakan itu masih akan diuji oleh sejarah. Namun secara logis gerakan konfrontatif semacam itu akan mengalami kegagalan dalam situasi seperti sekarang, karena nalar anti globalisasi pada dasarnya sama dengan nalar globalisasi. Di dalamnya tidak terdapat ruang strategi.
Di negara-negara maju gerakan semacam ini dimungkinkan karena ditopang oleh kesadaran strategis yang mendalam, sementara di negara-negara periphey seperti Indonesia gerakan ini menjadi semacam gerakan konsorsium LSM anti globalisasi yang (justru) mengajukan diri untuk mendapatkan kucuran dana dari funding agency. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak funding agency yang juga merupakan kepanjangan dari rezim modal.
Gerakan itu, katakanlah benar-benar didasari oleh suatu keyakinan bahwa globalisasi telah membunuh ekonomi masyarakat kecil, namun apabila gerakan itu tidak mempertaruhkan sebuah skenario pasca-perlawanan maka gerakan itu hanya akan menjadi ajang heroisme individu-individu belaka. Dalam keadaan demikian gerakan mudah dimanfaatkan oleh para akar politik untuk meraih keuntungan Lantas apakah gerakan yang tepat adalah gerakan pro atau anti globalisasi?.
Gerakan pro globalisasi tanpa reserve berarti menghanyutkan diri dalam arus globalisasi tanpa pengetahuan yang cukup bagaimana harus menepi, karena sekali tersedot arus maka sulit untuk kembali. Bentuknya paling kongkrit adalah menjadi agen kepentingan-kepentingan global. Hanyut dalam arus neoliberalisme berarti menjadikan uang sebagai tanah air dan bangsa. Dalam kenyataan neolib saat ini, semua itu merupakan pintu aliran keuntungan bagi pemodal raksasa.
Sedangkan dalam gerakan anti globalisasi, didominasi oleh nalar anti asing (xenophobia) yang melihat setiap orang luar yang masuk ke dalam wilayahnya sebagai ancaman tanpa mencoba mengambil manfaat dari interaksi yang terjadi antara keduanya. Gerakan ini menafikan interaksi dan komunikasi. Nalar ini berguna jika secara strategis digunakan untuk membangkitkan semangat dan kreativitas internal berhadapan dengantantangan global tadi. Tetapi dampak yang ditimbulkan adalah isolasi diri dari pergaulan dunia tanpa mencoba belajar dari keberhasilan negara-negara lain, meskipun tidak harus mengikuti jalan mereka.
Baik gerakan pro atau anti globalisasi akan mengalami kegagalan karena tidak memilki disain gerakan untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka panjang. Dalam situasi sekarang, maka strategi gerakan yang paling dimungkinkan dan memiliki tingkat survival yang tinggi adalah gerakan yang mampu bertahan di tengah-tengah tekanan dan kuatnya penetrasi struktur global.
Maka mulai sekarang, coba kita analisis dimanakah posisi gerakan kita sekarang, kemudian coba kita rumuskan suatu disain gerakan untuk melakukan perubahan sistem dalam jangka panjang.
(TIM/ Disadur dari buku Multi Level Strategi Gerakan PMII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar