Oleh: M Ajie Najmuddin*
Ironis memang, saat saya membaca berita tentang laporan keuangan UNS yang dinilai terbaik. Laporan keuangan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo 2009 mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Opini tersebut merupakan pernyataan profesional pemeriksa atas pemeriksaan laporan keuangan (SOLOPOS, 5/1).
Sementara, pada hari yang sama juga muncul pemberitaan tentang aksi mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS Solo yang tergabung dalam Saseru Bersatu (Satu) menuntut transparansi Iuran Orangtua Mahasiswa (IOM), di fakultas setempat.
Saya tidak akan menyalahkan berita karena keduanya adalah fakta. Fakta yang saling memperkaya persepsi satu sama lain. Dalam konteks ini, di satu sisi, ia memperlihatkan sebuah keberhasilan kinerja pengelolaan keuangan sebuah lembaga perguruan tinggi. Sedangkan fakta lain memperlihatkan beberapa anasir kebobrokan di dalamnya.
Hal ini menjadi kritik bagi UNS sebagai universitas yang sedang menuju kepada predikat world class university yang dalam salah satu kriterianya mensyaratkan anggaran riset yang cukup tinggi, minimal US$1300/anggota staf/tahun. Ini jumlah dana yang tidak kecil dan butuh pengelolaan yang baik pula. Ini juga bukan berarti saya mengamini praktik liberalisasi universitas melalui konsep badan layanan umum (BLU).
Kalau permasalahan seperti IOM saja belum selesai, bagaimana nanti mengelola dana yang lebih besar seperti anggaran penelitian?
Pada dasarnya semua universitas, tidak hanya UNS, kalau posisinya sama seperti pemerintahan dalam negara. Maksudnya dalam konteks civitas universitas, pihak yang berwenang sebagai pengelola atau pemerintah adalah rektorat. Sedangkan mahasiswa bisa kita ibaratkan sebagai rakyat. Pembiayaan dana kampus pun, sebagian besar diperoleh dari “sumbangan” mahasiswa, baik melalui dana IOM, SPP dan lain-lain.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana bentuk pertanggungjawaban dana dari mahasiswa ini oleh rektorat/dekanat? Apakah sudah sesuai dengan asas-asas penganggaran? Kalau saya mengacu pada good governance, dalam hal ini, kinerja birokrat universitas yang baik harus memenuhi tiga asas penting, yakni kepentingan umum, keterbukaan dan asas akuntabilitas.
Tiga asas ini menjadi pilar penting untuk membentuk sebuah penyelenggaraan birokrat yang bersih dan bebas dari KKN. Dalam bahasa yang lebih sederhana, bagaimana seharusnya penganggaran yang baik di dalam tubuh PT?
Promahasiswa
Apabila kita melihat fakta rendahnya transparansi pengelolaan anggaran, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa ketiga asas tadi bisa jadi belum dilaksanakan dengan baik oleh PT.
Dalam hal ini ada minimal tiga poin penting yang segera dibenahi dalam rangka optimalisasi fungsi kontrol civitas kampus terhadap kebijakan yang dikeluarkan rektorat/dekanat. Pertama, mekanisme ini bisa diwujudkan dalam bentuk keterlibatan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam proses pengelolaan anggaran, minimal dalam tahap perencanaan ada semacam proses public hearing.
Kedua, dalam tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban, asas transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas ini mutlak mesti dijalankan oleh para pemangku kebijakan di kampus.
Ketiga, optimalisasi ini juga bisa dilakukan dari dalam birokrasi kampus sendiri, melalui badan penjamin mutu atau yang sejenis dengan itu. Dengan ketiga pembenahan tersebut, salah satunya adalah dengan adanya transparansi anggaran, diharapkan bisa membentuk sebuah kondisi universitas yang bersih dan baik, serta mampu mewujudkan predikat world class university dengan sebenar-benarnya.
* Penulis adalah aktivis PMII Solo
(Dimuat di Harian SOLOPOS, 11 Jan 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar