Senin, 31 Januari 2011

85 Tahun NU; Belum Optimal Sentuh Kemiskinan

Oleh: M Ajie Najmuddin*

Nahdlatul Ulama (NU) sejak kelahirannya 85 tahun silam, telah memainkan peran yang tidak bisa dianggap sebelah mata bagi perkembangan bangsa ini. Perjuangan baik melalui bidang dakwah agama, politik, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya memberikan manfaat yang besar kepada umat. Salah satunya dalam bidang ekonomi, khususnya dalam gerakan pengentasan kemiskinan, peran ini telah dimulai sejak cikal bakal berdirinya NU pada tahun 1926. Hal itu dilakukan melalui wadah Nahdlatul at-Tujar (Kebangkitan Para Saudagar) ketika para tokoh NU merintis gerakan ekonomi kerakyatan yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh dari NU.

Kemiskinan memang menjadi permasalahan kompleks umat yang terus terjadi sepanjang tahun. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari Sensus Penduduk 2010, dalam laporan yang dibawa ke Pertemuan Tingkat Tinggi PBB mengenai Tujuan Pembangunan Milenium yang berlangsung pada 20-22 Desember 2010 di New York, angka kemiskinan yang dilaporkan adalah 13,3 persen atau jumlah penduduk miskin sekitar 31,02 juta.

Di Indonesia, dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diperuntukkan bagi orang miskin, penerima bantuan iuran dari pemerintah berjumlah 76,4 juta orang. Mereka adalah penduduk yang dapat menggunakan jaminan itu ketika sakit. Angka itu lebih dari dua kali lipat dari angka penduduk miskin menurut BPS. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan membutuhkan upaya dari semua pihak untuk bisa mengatasinya.

Dalam konteks upaya pengentasan kemiskinan ini, NU secara lembaga telah menegaskan komitmennya. Berdasarkan Keputusan Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama Nomor 00-/MNU-31/12/2004 tentang Program Lima Tahun NU dinyatakan bahwa Visi NU adalah terwujudnya tatanan masyarakat sejahtera, berkeadilan dan demokratis atas dasar Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja).

Untuk mewujudkan visi tersebut, maka NU menetapkan tiga misi yang mesti dilaksanakan. Pertama, mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara lahiriah maupun batiniah dengan mengupayakan sistem perundang-undangan dan mempengaruhi kebijakan yang menjamin terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang sejahtera. Kedua, mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dengan melakukan upaya pemberdayaan dan advokasi masyarakat. Ketiga, mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berakhlakul karimah.

Komitmen ini kemudian coba diwujudkan dalam tataran struktural NU, mulai dari Pengurus Besar hingga level paling bawah. Di samping juga lembaga yang memang berkaitan dengan hal itu seperti LP Ma’arif di pendidikan dan sebagainya, muncul pula lembaga-lembaga baru yang fokus kegiatannya dalam usaha membantu pemenuhan kesejahteraan masyarakat, seperti halnya di PCNU Kota Pekalongan yang mendirikan Nahdliyyin Centre (NC), sebuah lembaga sosial ekonomi yang banyak membantu warga miskin. Selain itu juga Muslimat NU dalam usaha menyantuni anak yatim dengan mendirikan panti asuhan.

Upaya pengentasan kemiskinan ini kemudian juga banyak dilakukan di tataran badan otonom (Banom) melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan beberapa organisasi kepemudaan yang ada di bawah naungan NU, semisal di Lakpesdam Jateng yang mengawal anggaran pro-poor atau di Solo sendiri juga ada Forum Studi Warga NU Surakarta (Fosminsa), yang banyak melakukan advokasi kebijakan publik untuk warga miskin.

Meskipun demikian, upaya tadi ternyata belum diikuti oleh kebanyakan pengurus-pengurus NU. Ada kesan bahwa gerakan di kalangan NU secara struktural, masih terbatas pada persoalan dakwah dan pengembangan pengetahuan agama melalui lembaga pesantren dan sebagainya. Sedangkan untuk program riil, seperti gerakan pengentasan kemiskinan ini belum begitu optimal.

Integralisasi Gerakan

Menurut Zuhairi Misrawi (2007), dalam konteks teologi NU, sebenarnya sudah muncul upaya mewujudkan teologi antikemiskinan. Program pemberdayaan masjid juga diadakan di berbagai cabang di Jawa Timur, bahkan di berbagai wilayah dan cabang di Tanah Air. Namun, langkah tersebut belum menjadi bagian integral dari upaya pengentasan kemiskinan yang bersifat menyeluruh. Sebab pada hakikatnya, pengentasan kemiskinan mempunyai ukuran-ukuran yang konkret, yang tidak hanya berhenti pada tataran wacana belaka.

PBB melalui Millenium Development Goals (MDG’s) menegaskan, program pengentasan kemiskinan harus meliputi aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan masyarakat, dan lingkungan yang bersih. Jika ukuran-ukuran itu dijadikan ukuran untuk melihat sejauh mana program pengentasan kemiskinan itu bisa berdampak bagi masyarakat, memang harus diakui, masih banyak kekurangan yang luar biasa.

Dengan kompleksnya permasalahan kemiskinan tersebut, maka upaya NU tidak sekadar mengentaskan warga dari kemiskinan tersebut dari sudut pandang agama, seperti mendorong pemeluknya giat beribadah dan bekerja secara seimbang serta distribusi sedekah, infak, zakat semata, tetapi juga melakukan upaya advokasi kebijakan dan pendampingan kepada penduduk miskin untuk melakukan usaha ekonomi produktif.

Dari situ, sudah selayaknya para pengurus NU mencanangkan komitmen terhadap kaum miskin sebagai prioritas kerja pada tahun-tahun mendatang. Dalam hal ini, setidaknya ada dua agenda utama yang perlu dilakukan NU dalam peringatan 85 tahun kelahirannya yang jatuh Senin, 31 Januari ini. Pertama, membuat program-program riil yang menjadikan kaum miskin sebagai sasaran utama. Selain gerakan dakwah maupun pengembangan pengetahuan agama, juga perlu dibuat program yang riil untuk pengentasan kemiskinan. Program tersebut bisa diwujudkan dari berbagai bidang; pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya.

Kedua, untuk mendukung program yang dicanangkan oleh pengurus tersebut, dukungan dari anggota juga harus dilibatkan. NU memiliki keuntungan karena memiliki anggota dari struktur tingkat nasional hingga tingkat kelurahan bahkan kampung-kampung. Proses pelibatan bisa dilakukan dalam proses partisipasi warga di masing-masing daerah. Dari situ, warga NU bisa memberikan sumbangsih pemikiran baik kepada pemerintah maupun secara langsung untuk bisa mengambil peran untuk membantu mengentaskan kemiskinan.

Dengan demikian, dalam usianya yang hampir seabad, sudah saatnya NU mengambil peran yang lebih besar untuk bisa memberikan kontribusi dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat.

*Penulis adalah Kader Muda NU/aktivis PMII Solo

(Dimuat di harian joglosemar, 31 Januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar