Sabtu, 29 Mei 2010

PKL Solo, Riwayatmu Kini...

JOGLOSEMAR-Opini

Tim verifikasi nasional, menilai bagus proses relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sejauh ini dilakukan Pemerintah Kota Solo. Relokasi tanpa adanya kekerasan, dipandang sebagai hal positif yang perlu ditiru daerah lain (Joglesemar, 22 Mei 2010). Masih lekat dalam ingatan kita beberapa tahun lalu, saat prosesi pemindahan (relokasi) sejumlah PKL dari Monumen Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi dengan prosesi kirab. Prosesi tersebut menjadi semacam simbol keberhasilan Pemkot Solo dalam menata PKL, dengan menggunakan pendekatan tanpa kekerasan. Keberhasilan tersebut juga menjadikan Kota Solo sebagai rujukan dalam hal penataan PKL, terbukti banyak instansi dari daerah lain yang melakukan studi banding penataan PKL ke Pemkot Solo.
Pada kurun waktu sesudah relokasi PKL ke Pasar Notoharjo tersebut sampai sekarang, tercatat Pemkot Solo telah melakukan kebijakan pengelolaan PKL dengan visi dari Walikota sendiri, yakni zero growth population. Dengan visi ini, Pemkot hendak mengarahkan kebijakan untuk menekan pertumbuhan jumlah PKL di Kota Solo, dengan mengubah status mereka dari PKL menjadi pedagang kios. Kebijakan tersebut kemudian diimplementasikan dengan membuat konsep kawasan ataupun kantong-kantong PKL di beberapa tempat melalui metode relokasi, shelter, gerobak, dan tenda.
Realisasi dari kebijakan itu dapat kita lihat, semisal di daerah Jebres. Sebagian PKL yang ada di sekitar kawasan Jalan Ki Hajar Dewantoro (belakang kampus UNS) dipindahkan ke pasar yang dibangun tak jauh dari tempat itu. Di tempat lain, sejumlah PKL juga dipindahkan ke Pasar Ngarsopuro. Sedangkan pada program pemberian gerobak, bisa kita temukan pada PKL di sekitar Stadion Manahan.
Memang, secara teori dengan konsep pengelolaan yang sedemikian rapi diharapkan akan menjadi produk kebijakan yang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada, serta mencapai tujuan yang hendak dicapai dari kebijakan tersebut. Namun, apakah pada kenyataannya harapan dan tujuan tersebut sudah terlaksana dengan baik? Meminjam lirik lagu Bengawan Solo yang diciptakan Gesang, maka bagaimanakah nasib PKL di Solo sekarang?


Menyimpan Masalah
Di balik semua keberhasilan yang digembor-gemborkan Pemkot Solo tersebut, ternyata masih menyimpan banyak permasalahan di dalamnya. Permasalahan yang ada meliputi, payung hukum (Perda) tentang pengelolaan PKL yang belum jelas implementasi pelaksanaannya. Selain itu pemetaan persebaran dan pendataan PKL yang masih belum komprehensif, serta belum adanya sinergitas antara kebijakan yang dikeluarkan Pemkot dengan kebutuhan PKL itu sendiri.
Peraturan terbaru untuk pengelolaan PKL yang dikeluarkan Pemkot, yakni Perda Nomor 3 tahun 2008 menggantikan Perda lama, Perda Nomor 8 tahun 1995 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi, belum juga dibuat peraturan turunannya yakni Peraturan Walikota (Perwali). Ini berarti Perda yang terbaru pun belum bisa diimplementasikan. Padahal dengan Perda baru tersebut, para PKL bisa mendapatkan kejelasan payung hukum yang menaungi keberadaan mereka, seperti yang tercantum dalam pasal 4 dan 8.
Sesuai prosedur, semestinya Perwali tersebut bisa segera diimplementasikan setelah satu tahun produk kebijakan tersebut dikeluarkan dan disosialisasikan, yakni pada tahun 2009. Namun, sampai sekarang sudah lebih dari dua tahun berlalu tanpa ada kejelasan, dan pada akhirnya kebijakan penataan PKL di Kota Solo, masih menggunakan Perda lama yang sebenarnya sudah tidak dianggap sesuai dengan visi dari Walikota sendiri. Ini bisa kita maknai, bahwa keberadaan PKL belum memiliki kejelasan payung hukum, dan keberadaan mereka masih tergantung kepada kebijakan pimpinan yang ada.


Tak ada payung hukum yang jelas mengenai usaha mereka, akan semakin melemahkan posisi para PKL. Dengan mudah mereka bisa digusur dari tempat jualan mereka kapan saja, seperti halnya kasus yang terakhir yang dirasakan para PKL di sepanjang Jalan Kapten Mulyadi, Pasar Kliwon. Dengan alasan akan dibuat proyek pelebaran jalan, sebanyak 195 PKL harus tergusur dari tempat tersebut (Joglosemar, 18 Mei 2010).
Permasalahan yang lain, yakni masalah pemetaan persebaran dan pendataan jumlah PKL di Kota Solo. Relokasi yang telah banyak dilakukan dan pengubahan status PKL menjadi pedagang kios (sesuai dengan visi walikota), ternyata juga belum efektif untuk menekan pertumbuhan jumlah PKL. Dari beberapa data yang ada, dari sampai tahun 2009 pertumbuhan PKL rata-rata per tahun sebesar 17 persen (Jurnal Akatiga).
Salah satu penyebab kurang efektifnya kebijakan tersebut, dari pihak Pemkot, dalam hal ini Dinas Pengelolaan Pasar (DPP), belum memiliki data yang jelas berapa jumlah PKL Solo. Sebagai contoh kecil, data terakhir jumlah PKL dari DPP, bahwa jumlah PKL di Transito sejumlah tiga orang. Namun setelah dilakukan pengecekan langsung di lapangan, jumlah PKL di sana bertambah menjadi 35 orang.
Hal ini akan berdampak pada proses pengambilan kebijakan yang berdasarkan asumsi saja, bukan data riil, yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah produk kebijakan yang kurang optimal dan menyeluruh. Oleh karena itu, mutlak perlu adanya pendataan kembali jumlah dan persebaran PKL di Kota Solo.
Rencana pembatasan pemberian izin berjualan, hanya kepada para PKL yang memiliki KTP Kota Surakarta, sesuai dengan yang tertera pada Perda baru Pasal 6 ayat 3, juga patut dipertanyakan. Sudah menjadi risiko bagi sebuah kota untuk didatangi warga dari luar kota. Dalam kasus penentuan izin berjualan ini, pendekatan sektoral akan lebih cocok diterapkan daripada menggunakan pendekatan teritorial. Dan menjadi sebuah pekerjaan bagi Pemkot untuk bisa menyikapinya dengan bijak.
Hal lain yang patut menjadi perhatian, adalah belum adanya sinergitas antara kebijakan yang dikeluarkan Pemkot dengan kebutuhan PKL itu sendiri. Sering kali PKL kurang dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan tempat keberadaan mereka dulu berjualan, ataupun sesudah direlokasi. Sebagai contoh, apakah dengan adanya relokasi PKL tersebut, akan memberikan efek positif kepada PKL yakni menaikkan pendapatan mereka? Atau justru dengan adanya pemindahan tersebut akan menurunkan pendapatan mereka?
Ketiga permasalahan di atas merupakan catatan kecil tentang permasalahan penataan PKL di Kota Solo dari permasalahan lebih besar, yakni pengelolaan kota itu sendiri. Bila kita kaitkan pada substansi tujuan pengelolaan PKL yang diamanatkan Perda Nomor 3 tahun 2008, yang meliputi peningkatan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum, dan kebersihan lingkungan, maka klaim keberhasilan dalam penataan PKL yang digaungkan oleh Pemkot selama ini, masih jauh dari kata berhasil. Dan harapannya untuk PKL, yang kita analogikan sebagai “bunga trotoar” yang tumbuh sepanjang musim, mereka semestinya ditata bukan “dibuang”.

baca: Artikel terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar