Selasa, 02 November 2010

Partisipasi warga dalam pengelolaan APBD

Pembahasan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Solo tahun 2010-2015, yang sudah diserahkan ke DPRD, masih menyisakan beberapa masalah.

Beberapa hari menjelang dilaksanakannya pembahasan RPJMD tersebut, muncul pemberitaan tentang rendahnya tingkat penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Solo, yang baru terserap 33 persen dari total APBD 2010 hingga triwulan ketiga (SOLOPOS, 24/10).

Indikasi yang pertama dari penyebab rendahnya penyerapan APBD ini adalah rendahnya kinerja pengelolaan pembangunan dan administrasi keuangan. Bahkan Sekda sendiri mengakui hal ini. Rendahnya serapan kegiatan yang bersumber dari APBD Solo, dikemukakan Sekda, terjadi pada hampir semua pelaksanaan program Pemkot dan kegiatan pembangunan.

Pemkot memang perlu mengambil langkah untuk mendorong percepatan penyerapan APBD agar segera terserap habis. Dalam waktu yang masih tersisa, yakni dua bulan (November-Desember), Pemkot mesti segera melakukan percepatan penyerapan APBD yang harus tepat sasaran, tepat mutu dan tepat guna.

Namun bukan itu saja yang harus kita cermati. Apakah dalam waktu yang cukup singkat tersebut ada jaminan partisipasi masyarakat dapat berjalan optimal dalam pelaksanaan APBD tersebut. Jadi, penyerapan (menghabiskan) APBD itu persoalan yang “mudah”, tetapi bagaimana Pemkot juga tidak melupakan partisipasi masyarakat di dalamnya.

Perlu ditegaskan kembali dalam UU No 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, proses tahapan pembangunan yang dimulai dari penyusunan, penetapan, pengendalian pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan perencanaan yang semestinya tetap menyertakan peran serta partisipasi masyarakat di dalamnya.

Refleksi dari proses Musrenbang yang lalu, idealnya stimulus yang telah diberikan Pemkot melalui dana blockgrant atau Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) yang terus naik, berkorelasi positif terhadap tingginya tingkat partisipasi masyarakat.

Namun kenyataannya, berdasarkan data yang dilansir oleh Lampu (2009), tingginya dana stimulan DPK ternyata belum signifikan untuk membangkitkan kembali partisipasi dan keswadayaan masyarakat. Pun dalam permasalahan penyerapan APBD kali ini, apakah masyarakat juga bisa dilibatkan dalam pengendalian pelaksanaan yang waktunya juga sudah mepet.

Secara teori, perimbangan keuangan yang diberikan Pemkot Solo dalam bentuk DPK, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Jika kenyataannya tidak mampu berdampak pada partisipasi masyarakat maka harus diteliti faktor teknis seperti kapan DPK itu direalisasikan. Karenanya pemerintah perlu membuat terobosan salah satunya adalah transparansi keterbukaan informasi pelayanan dan kebijakan yang memungkinan masyarakat dapat terlibat aktif dalam perbaikan pelayanan publik dan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang menghargai hak warga.

Dalam penyelenggaraan pembangunan, masyarakat sewajarnya ikut berperan atau dengan kata lain pemerintah harus bekerja bersama masyarakat. Pada hakikatnya pemerintah bekerja bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk masyarakat. Upaya ini merupakan rangkaian proses untuk menuju penguatan peran masyarakat, bukan sekadar peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan (community driven development).

Dengan kuatnya peran masyarakat, penyelenggaraan pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel dan berorientasi pada rakyat atau dengan kata lain bernuansa good governance di segala lapisan.
Permasalahan penyerapan anggaran yang masih rendah di awal tadi, seharusnya bisa dihindari Pemkot manakala pengelolaan keuangan dan administrasinya tertata dengan baik. Pertama, harus ada kesadaran dari tingkat SKPD untuk berusaha tepat waktu.

Kedua, kepala daerah perlu memberikan target kinerja kepada SKPD dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan. Rapor pencapaian itu sebagai pertanggungjawaban kepada kepala daerah dalam memimpin SKPD yang dipercayakan kepadanya.

Ketiga, umumnya SKPD yang mengelola kas daerah masih bersikap pasif terhadap persentase pencapaian penyerapan keuangan. Sebagai dampaknya maka SKPD yang mengelola keuangan ini juga bekerja sesuai dengan kebiasaan.

Kita sering mendapati pernyataan bahwa berkas pencairan sudah masuk kepada keuangan tapi tidak tahu kapan dana itu bisa dicairkan. Artinya “jantung pemerintahan” yang mengurus keuangan yang dibutuhkan oleh semua SKPD pun belum memiliki standar pelayanan yang menjamin SKPD lainnya mampu memberikan pelayanan kepada warga secara lebih baik

(dimuat di Solopos, 2 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar