Sabtu, 30 Januari 2010

Pesantren dan Pendidikan Multikulturalisme

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.

Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.

Pentingnya pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas, tentu bukan hanya merupakan tanggung jawab sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal saja, akan tetapi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan institusi-institusi lainnya. Dalam kerangka ini, pesantren merupakan salah satu institusi penting dalam penyelenggaraan pendidikan multikulturalisme. Hal ini didasarkan atas berbagai fungsi yang dimiliki oleh pesantren, baik fungsi pendidikan maupun fungsi sosial.

Pesantren sebagai salah satu ruang pendidikan formal dan nonformal, terutama dalam ranah pendidikan agama islam, merupakan sebuah potensi yang bisa digunakan untuk mengenalkan pemahaman mengenai multikulturalisme. Sebab dalam pesantren berkumpul beragam jenis manusia yang berlatar belakang etnik, suku dan budaya yang berbeda. Hal tersebut akan semakin kompleks bila kita hubungkan dengan masyarakat di sekitar lingkungan pesantren.

Seorang pengasuh pesantren atau kiai, ia bisa berperan sebagai culture broker (pialang kebudayaan) sebuah istilah yang pernah dikenalkan oleh Jezewski dan Sotnik (2001), dalam hal ini ia memiliki peranan yang penting dalam menanamkan pendidikan multikulturalisme di pesantren dan lingkungan sekitarnya. Sosok kiai ataupun ustadz sebagai orang yang dijadikan panutan, bisa membentuk karakter seorang santri untuk menjadi sosok yang toleran atau bahkan menjadi seorang yang eksklusif, bahkan cenderung ekstrem.

Dalam konteks ini, pendidikan pemahaman agama bisa menjadi salah satu faktor penentu pribadi seseorang akan pemahaman multikulturalisme. Karena itu, dengan asumsi agama berperan penting dalam pembentukan budaya, maka apa yang terkandung dalam gagasan multikulturalisme sesungguhnya menyangkut eksistensi agama itu sendiri. Agama bukan hanya diakui sebagai kekayaaan yang unik tetapi bisa menjadi sesuatu yang ikut lebur dalam tempat percampuran (melting pot) budaya yang diakui sebagai milik bersama. Ini sesungguhnya berpotensi untuk melahirkan —meminjam istilah Harold Titus (1979)— perang nilai (war of values) yang sebenarnya lebih dahsyat ketimbang sebuah benturan budaya seperti yang digambarkan Huntington.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar