Jumat, 08 Januari 2010

Perkawinan dan Kesepakatan

Kemesraan dalam pacaran dalah tipuan, kebosanan dalam perkawinan adalah ujian, dan pertengkaran dalam rumah tangga adalah hikmah.

Itulah kenapa di dalam perkawinan muncul kejutan-kejutan. Kejutan yang tiak ditemukan dalam masa pacaran paling intensif sekalipun. Karena pacaran adalah dunia simulative kalai malah bukan manipulative. Pacaran adalah periode mengintip kenyataan sebagai dunia yang telah terlihat, tapi belum terasakan.

Kenyataan mengajarkan kepada kita, betapa seserte keindahan yang dikenyam pada masa jatuh cinta memuat unsur fatamorgana. Ia merangsang kita. Membuat kita bergairah untuk berlari, berfantasi dan melambung.

Namun, sesungguhnya pusat gairah dan keindahan itu maya, nyaris tak ada, walau indah luar biasa. Itulah kenapa untuk tegang dan berdebar, seseorang cukup melihat genting rumah kekasihnya atau meniti jalan yang pernah dilalui bersama.

Pada masa pacaran, seseorang bisa mabuk dan melayang oleh hal-hal yang ‘kurang masuk akal’ sekalipun. Dan, tugas perkawinan adalah segera menyadarkannya. Perkawinan mengajak melihat dunia dari dekat dan tinggal di dalamnya. Bahwa yang indah itu sesungguhnya biasa-biasa saja. Bahwa yang bikin melambung itu sesungguhnya tak pernah menerbangkan kita ke mana-mana.

Kita tetap saja di sini, begini dan seperti ini. Harus melihat istri atau suami bangun tidur, jelek dan berengsek. Kita bersinggungan langsung ke jantung realitas betapa ada sisi buruk dari pasangan yang tak pernah kita duga. Sisi itu tak harus yang besar dan dramatis, cukup yang simple dan unik, misalnya bau keringat, menguap sembarangan, dan dengkur kala tidur.

Kelakuan, pembawaan, dan kebiasaan pasangan, menyadarkan kita bahwa dia ‘Cuma’ manusia biasa, begitu pula kita. Wajar kalau kita bosan, jenuh dan marah. Itulah watak kenyataan, selalu mengatakan apa adanya. Inilah ujian perkawinan. Ia menantang kita untuk menaklukkan rasa bosan, jenuh dan kemarahan.

Pada periode inilah manusia harus memecahkan teka-teki antara cinta dan kasih saying, tresna kata orang Jawa. Cinta pada periode pacaran sangat berbeda dengan tresna kata orang Jawa. Ada jenis cinta yang dibangun atas dasar perasaan posesif, erotis, dan egoistis. Sedangkan kasih saying, tresna itu, berdasar dari kebaikan hati, rasa haru, dan empati.

Dalam berempati, manusia lebih tidak menginginkan apa-apa sebagai imbalan. Dan, bagi yang percaya, keindahan yang ditimbulkan jauh lebih berlipat keindahannya dari keindahan erotis sehingga meskipun pasangan sudah mulai rusak raganya, masih ada jiwa, ada kasih saying, keindahan yang tak pernah habis-habis untuk ditambang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar