Rabu, 17 Februari 2010

The Freedom Writers

Amerika Serikat, Meskipun selalu mendengung-dengungkan dirinya sebagai negara yang paling menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), namun pada kenyataannya permasalahan gesekan antar etnis, kulit hitam dan kulit putih, masih sering terjadi, pun sampai sekarang.

Konflik tersebut merambah ke segala aspek, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Bahkan, pendidikan yang seharusnya menjadi pranata yang ‘mulia’, tempat penanaman nilai-nilai yang baik, tak luput pula dari pengaruh konflik sosial ini. Hal ini sedikit tergambar dalam film The Freedom Writers yang mengambil setting sebuah sekolah di Amerika Serikat, pasca diberlakukannya integrasi di bidang pendidikan, yang mewajibkan sekolah mesti memasukkan multietnis dalam satu kelas.

Perbedaan etnis menjadi penyebab utama terjadinya gesekan antar siswa, disamping juga latar belakang siswa yang memiliki masa lalu menyedihkan, keadaan ekonomi dan lingkungan yang keras, yang membuat karakter mereka menjadi keras pula. Tiap kelompok merasa paling superior dibanding kelompok lainnya.

Namun sejak masuknya guru baru Erin Grunwell, pandangan dan kebencian mereka terhadap kelompok lain mulai luntur. Mrs. G, panggilan guru baru tersebut, menanamkan paradigma kemanusiaan dalam metode pendidikannya. Perlahan tapi pasti pola pikir siswa kelas 203 yang dulu dikenal brutal dan susah diatur, berubah menjadi siswa yang sangat menghargai keragaman dan kebersamaan. Suasana kelas yang dulu penuh dengan kebencian kini menjadi menyenangkan dan harmonis.

Untuk mencapai itu semua tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, membutuhkan proses yang sulit dan melelahkan. Tapi dengan ketegaran dan kesabarannya, Mrs. G akhirnya mampu mewujudkan hal itu. Dengan cara memberi hadiah siswanya dengan buku-buku tulis. Para siswa tersebut dipersilahkan untuk menulis semua, apa saja, tentan kehidupan mereka masing-masing, masa lalu, sekarang, dan harapan di masa depan. Setiap pekannya akan dicek oleh sang guru. Sang guru pun akhirnya mengerti ‘kisah’ anak-anak didiknya tersebut… Di kelas pun bukan kegiatan belajar mengajar, tetapi hanya ajang bercerita (curhat) siswanya.

Di saat siswanya mulai saling terbuka (terbukti dengan mereka mau menulis), menumpahkan segala keluh-kesah, sang guru mengajak mereka berjalan-jalan ke luar kota untuk mencari tahu apa itu Holocaust. Arsip-arsip tulisan, foto, presentasi multimedia, menggugah perasaan para siswanya. Setelah itu, selain masih meneruskan tulisan mereka, mereka juga diberi bacaan baru, The Diary of Anne Frank. Sekedar untuk membandingkan kisah hidup mereka (para siswa) dengan Anne Frank (seorang anak perempuan Yahudi yang terpaksa bersembunyi dari kejaran Nazi Jerman).
Pelan-pelan para siswa yang tadinya ‘keras hati’, ‘kepala batu’, ‘tidak mau hormat’ itu terbuka hatinya dan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah salah…

Film ini menggambarkan perjuangan guru tersebut menyentuh hati siswa-siswa yang terkenal paling bengal di distrik negara bagian tersebut. Konflik yang bertambah-tambah (konflik sang guru dengan suaminya, konflik dengan guru lainya: tidak diberi kepercayaan oleh guru2 lain, dsb) membuat sang guru harus kerja ekstra. Tapi hasilnya, guru tersebut menjadi guru paling favorit (sampai-sampai para murid ‘bengal’-nya tadi, meminta sang guru untuk tetap menjadi guru kelas mereka pada tahun-tahun berikutnya -padahal regulasi tidak memperbolehkannya).

Film ini (sekali lagi) sangat cocok bagi para guru, pengajar, pendidik, pembina, dsb. Sebelum kita menyampaikan ‘materi’ pada ‘anak didik’ kita, tentunya yang harus kita lakukan terlebih dahulu adalah “Bagaimana Menyentuh Hati”.

Terlepas dari propaganda Holocaust dsb, tapi film ini setidaknya bisa menjadi inspirasi bagi kita dalam menyikapi keragaman dan perbedaan.

3 komentar:

  1. Latar belakang sejarahnya dikenal dengan sebuah yurisprudensi "Brown v. Board of Education of Topeka"

    Keputusan ini diambil oleh Supreme Court dengan amar putusan pemerintah menghentikan pemisahan sekolah negeri antara warga Putih dan Hitam.

    Warren Court memenangkan secara bulat 9 banding 0 bahwa prinsip "seperate but equal", yang menjadi dasar segragasi sosial, telah melanggar konstitusi.

    BalasHapus
  2. Tak jawab yen aku wis neng Amerika wae ^^

    BalasHapus