Rabu, 17 Februari 2010

Lampion Cinta Cau-Bau–Kan


Film Cau-Bau–Kan merupakan salah satu film yang menjadi simbol kebebasan insan perfilman waktu itu, lebih luas fil itu menjadi simbol kebebasan warga Tionghoa yang sebelumnya sempat mengalami ‘penindasan’ di zaman orde baru.
Simbol kebebasan tersebut nampak pada cerita yang berkisah tentang kisah cinta antara seorang Tionghoa (Tan Peng Liang) dan orang pribumi (Tinung). Hubungan yang tak pernah akur antara kedua kelompok sejak zaman kolonial hingga zaman orba, memunculkan konflik tersendiri antar masing-masing kelompok.
Etnis Tionghoa yang sukses secara ekonomi di tanah Hindia Belanda, memunculkan kecemburuan dan kesenjangan sosial di masyarakat, khusunya mereka para wong cilik, yang secara status sosial juga berada di kelas yang paling bawah.
Tinung, menjadi gambaran perempuan di masa itu, sebagai wong cilik terlebih perempuan, dia tidak bisa mendapatkan akses untuk mengenyam pendidikan. Realita sosial itu memunculkan permasalahan baru, kebodohan dan kemiskinan. Sebagai orang yang tidak berpendidikan, menjadikan ia buta akan ilmu pengetahuan. Dan karena minimnya ilmu pengetahuan, membuat pilihan hidupnya khusunya pekerjaannya menjadi semakin sempit, bahkan nyaris tak ada.
Akhirnya, ia dan mungkin banyak orang yang memiliki nasib yang sama dengan dirinya, mesti memilih jalan untuk melacurkan tubuhnya agar bisa tetap bertahan hidup. Ia mungkin tahu, konsekuensi daripada melacurkan diri. Atau bisa saja, ia tak tahu apa yang harus diperbuat selain dengan memilih jalan menjadi penari dan Cau-Bau–Kan.
Kisah hidupnya mungkin agak mirip dengan tokoh Srintil, di novel Ronggeng Dukuh Paruk, keduanya sama-sama mengawali karirnya sebagai seorang penari, namun pada akhirnya berakhir di tangan para lelaki. Dua orang perempuan tersebut juga harus mengalami penderitaan yang pahit, sebagai korban atas kemelut politik yang terjadi. Bedanya hanya, Srintil menjadi gila akibat segala trauma penderitaannya di masa lampau dan ditinggalkan sang kekasih, Rasus. Sedangkan Tinung tetap bertahan dalam ‘kewarasannya’ karena cinta dan kasing sayang Tan kepadanya.
Tipis sekali perbedaannya, namun justru inilah pesan yang hendak disampaikan. Bahwa perjuangan untuk hidup juga membutuhkan tujuan hidup. Dan Tinung memiliki itu, cinta lah yang membuat hidupnya tetap hidup. Seperti nyala lampion yang menerangi gelap malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar