Minggu, 23 Agustus 2009

Nafsu

Ketika Bung Karno, membangun Tugu Monas dan Stadion Senayan Jakarta, tentu bukan tanpa maksud, disamping juga dimaksudkan sebagai politik mercusuar. Semua mengisyaratkan kaya makna, metafora dan perlambang yang substantif. Dilihat dari bentuknya, Tugu Monas adalah lambang kejantanan, sedangkan Stadion Senayan adalah lambang perempuan. Sebagaimana prasasti peninggalan di zaman Hindu-Budha, yakni lingga dan yoni yang kental dengan pengejawantahan simbolisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam kehidupan hubungan keduanya sangatlah penting. Sebab, hubungan keduanya yang dirajut dalam ikatan perkawinan akan menghasilkan generasi umat manusia, sejak zaman Nabi Adam-Hawa sampai sekarang. Bisa dibayangkan, jika tidak ada salah satunya, maka kehidupan ini akan mengalami kepunahan (meskipun bisa saja Allah berkehendak lain). Itulah pentingnya nafsu dalam diri manusia. Nafsu (entah itu nafsu makan atau yang lain) dan syahwat itu bermakna untuk melanggengkan regenerasi umat manusia dalam kehidupan.
Yang patut dijadikan perenungan adalah semua bentuk kenikmatan--entah makan, minum, dan seksual--sebenarnya hanya berlangsung sebentar saja. Jika seseorang terjebak ke dalam nuansa syahwat tadi, misalnya berzina, atau makan dan minum secara berlebihan, maka tak ada ubahnya dia hidup seperti hewan,yang dikaruniai nafsu namun tidak dikaruniai akal sehat untuk berpikir. Maka kendalikanlah nafsu tersebut, dan manfaatkan untuk hal-hal positif, niscaya kita bisa menjadi makhluk yang bahkan lebih mulia dari malaikat. wallahua’lam

Meretas Kesalehan Sosial di Bulan Ramadhan

Sebaik-baik dari kalian semua,
Yakni orang yang bermanfaat bagi manusia (yang lain)
(Al-Hadist)

Agama islam, sejak awal kemunculannya diusung oleh Nabi Muhammad saw, disamping memperjuangkan misi tauhid, yakni mengajarkan tentang Allah swt sebagai satu-satunya yang wajib disembah oleh semua manusia, namun juga membawa misi-misi sosial. Seperti mengangkat harkat kedudukan wanita yang sangat direndahkan pada masa itu, kesetaraan kedudukan (egaliter) antara yang kaya dan miskin, pembebasan perbudakan, HAM dan lain sebagainya.
Konflik yang terjadi pada saat itu, tidak hanya terjadi pada pertentangan antara kepercayaan lama dengan ajaran ketauhidan islam, namun juga pertentangan sosial, dimana para pembesar kaum quraisy saat itu merasa khawatir akan ajaran islam yang egaliter. Mereka yang telah mendapat kedudukan dalam masyarakat, menjadi merasa terancam karena posisinya menjadi terusik.
Misi tersebut akhirnya menjadikan ajaran islam pada waktu itu, lebih mudah diterima oleh masyarakat kelas bawah-menengah (karena ajaran islam paling memperjuangkan kedudukan mereka dan tanpa ditambah dengan kualitas keimanan yang kuat para sahabat). Meskipun tidak sedikit juga dari kalangan kelas menengah-atas, yang menerimanya, seperti Abu Bakar ra., Umar ra., Utsman ra. dsb. Konsep islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin benar-benar terwujud pada waktu itu.
Konsep islam rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya menjadi “slogan” tapi benar-benar diwujudkan dalam perbuatan dan manfaatnya kepada masyarakat. Ajaran agama mampu ditransformasikan ke konteks sosial yang lebih luas.

Dalam konsep Suluk Tarbawy (Sayid Sabiq:1963), tentang asas manfaat agama islam dalam masyarakat, yang tergambar dalam sebuah piramida. Yakni agama wahyu (addin al-wahyu), agama keilmuan (addin at-ta’lim), agama kemanusiaan (addin al-insan), agama kemajuan (addin al-ishlah). Dirunut dari yang paling kecil keterlibatannya yakni agama wahyu sampai yang paling besar yakni agama kemajuan. Makin ke bawah makin besar manfaat yang dihasilkan.
Sebagai contoh kecil, air yang bersih dan suci, dalam konsep agama wahyu, bermanfaat bagi umat muslim untuk thaharah (bersuci) secara sah. Namun bila kita kembangkan lagi dalam konsep agama keilmuan, ternyata air tersebut merupakan air yang bermutu/pantas untuk digunakan siapa saja, kaitannya dengan kebutuhan kebersihan dan kesehatan setiap orang. Lebih jauh lagi, bila berlanjut pada agama kemanusiaan dan agama kemajuan, air tersebut bisa menjadi lebih dikembangkan ke konteks yang lebih luas manfaatnya.
Konsep di atas merupakan sebagian rangkaian dari kesalehan sosial. Kesalehan sosial merupakan kesalehan yang terkait dengan kedudukan kita sebagai makhluk sosial, disamping posisi kita sebagai individu. Keduanya antara kesalehan sosial dan individu saling berkaitan satu dengan yang lain. Artinya tidak cukup shalat tiap hari jalankan atau tiap tahunnya kita pergi haji, tapi kita juga masih berbuat korupsi atau membiarkan tetangga kita yang tengah mengalami kesulitan, atau melakukan aksi anarki.
Begitu juga bila kita memiliki kepekaan dan jiwa sosial yang tinggi, namun kita mengesampingkan kewajiban kita sebagai muslim, niscaya orang tersebut akan mengalami suatu keadaan kering spiritual. Artinya keduanya harus selalu seimbang, sebab keduanya sebenarnya bermuara pada satu tujuan yakni totalitas penghambaan kita kepada Allah swt.

Kesalehan Sosial dalam Momentum Ramadhan
Bulan Ramadhan, memberi kita banyak pelajaran mengenai konsep keseimbangan antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Kesalehan individu mewajibkan kita untuk menjalankan puasa, dan dalam puasa tersebut misi kesalehan sosial, yakni bagaimana agar juga mampu merasakan mereka yang dalam kesehariannya sering “puasa”, karena ketidakmampuan mereka untuk membeli makan. Dan setelah itu kita diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fithrah, disamping untuk mensucikan jiwa kita, kembali kita diajarkan untuk saling membantu satu sama lain.
Kesalehan sosial dapat kita wujudkan ke dalam perbuatan yang bermanfaat bagi orang lain. Lebih-lebih pada momentum bulan ramadhan ini, dimana setiap kebajikan yang kita lakukan akan dilipat gandakan pahalanya. Mulai dari hal-hal yang kecil dari memberi makan untuk orang yang akan berbuka puasa dan sahur, atau hal-hal kecil lain yang bisa kita lakukan dan bermanfaat untuk orang lain.
Apabila keduanya mampu kita laksanakan dengan baik, insyaallah kita menjadi individu yang paling baik yang dikatakan nabi dalam hadistnya yakni individu yang bermanfaat bagi yang lainnya, dan tentu saja tanpa meninggalkan kewajiban kita sebagai seorang hamba.

Shalat Tarawih 20 raka'at

Bulan ramadhan, merupakan bulan yang penuh barokah, dimana setiap perbuatan baik yang kita kerjakan, dilipatgandakan pahalanya dibandingkan bila kita mengerjakannya pada bulan-bulan lain. Pada bulan ini, kita juga menunaikan ibadah shalat sunah Tarawih, yang bisa kita kerjakan khusus pada bulan Ramadhan. Berbeda dengan shalat lail mutlak yang boleh dikerjakan setiap malam dalam bulan apa saja. Pahala bagi yang melaksakan shalat tarawih ini diantaranya diampuni dosanya yang terdahulu, dan masih banyak lagi keutamaan yang ada pada shalat ini.
Di Indonesia, shalat tarawih dilaksanakan dengan 20 raka’at plus 3 witir, ada pula yang menjalankannya dengan 8 raka’at plus 3 witir. Keduanya dilaksanakan dengan cara 2 raka’at salam. Tak jauh berbeda dengan negeri kita, di Masjidil Haram, Makah, disana sejak masa rasul saw, Abu Bakar ra, Umar ra, dst sampai sekarang selalu dijalankan dengan 20 raka’at dan witir lebih dari 3 raka’at. Bahkan, di Madinah Shalat Tarawih ada yang menjalankannya sampai 36 raka’at (belum witir). ckck pa gak capek ya.. :-)
Pelaksanaan shalat tarawih dalam berbagai jumlah raka’at yang berbeda tersebut, masing-masing memiliki dasar yang kuat, yang 8 raka’at mengacu pada hadist yang diriwayatkan dari aisyah ra. Sedangkan yang 20 raka’at berdasar pada hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:”rasul saw shalat di bulan ramadhan sendirian sebanyak 20 raka’at ditambah witir
Ada komentar dari Imam Rafi’i untuk hadist riwayat Imam Ibnu Hajar tentang teks hadist rasul saw shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 raka’at di malam ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga orang-orang berkumpul, namun rasul saw tidak keluar. Kemudian, paginya dia bersabda: “aku takut tarawih diwajibkan atas kalian dan kalian tidak mampu melaksanakannya”. Hadist ini disepakati kesahihannya, tanpa mengesampingkan hadist yang diriwayatkan Aisyah ra. Yang tidak menyebut raka’atnya. (Lihat kitab Hamisy Muhibah Juz II hal 466-467).
Pada intinya, pelaksanaan shalat tarawih merupakan amalan sunnah yang sangat dianjurkan, sebab pahala dan keutamaan yang sangat banyak bagi yang mengerjakannya. Makin banyak kita mengerjakannya, makin banyak pula pahala yang akan kita dapat. Sebagaimana perumpamaan, apabila seseorang disuruh memilih uang seribu dan 1 juta yang sama-sama halal, maka secara nalar, orang tersebut akan memilih uang yang 1 juta. Begitu juga ibadah yang kita kerjakan, entah itu tarawih atau shalat sunnah yang lainnya sesuai dengan kaidah Maa Kaana Aktsaru Fi’lan, kaana aktsaru fadhlan (makin banyak amalan yang kita kerjakan, maka makin banyak pula fadhilah yang kita dapat).
Yang penting adalah bagaimana kita menjalankan dan menjaga shalat tarawih kita dengan benar, sesuai dengan syarat rukunnya. Berapapun raka’at yang kita kerjakan, kerjakanlah dengan khusyu’ dan tidak tergesa-gesa. Wallahua’lam

Kamis, 13 Agustus 2009

Agustusan

Tanggal 17 Agustus umumnya dijadikan momen bagi bangsa Indonesia, untuk kembali memaknai semangat kemerdekaan dan nasionalisme. Di segenap penjuru tanah air, diselenggarakan peringatan hari kemerdekaan, dan masing-masing merayakannya dengan cara yang beragam, ada yang menyelenggarakan istighotsah atau tirakatan (do’a bersama), panjat pinang, lomba agustusan, dan lain sebagainya diselenggarakan dengan meriah.

Acara agustusan dapat kita maknai sebagai sebuah proses pewarisan tradisi, pengenalan dan penanaman semangat cinta tanah air yang khususnya ditujukan kepada generasi muda (anak-anak dan remaja). Semangat ini memang harus dikenalkan sejak dini, agar mereka mempunyai rasa cinta tanah air (ruhul wathaniyah), sehingga kelak mereka menjadi sebuah generasi yang mengenal karakter bangsa, dan tidak mudah terpengaruh oleh doktrin dari pihak yang ingin memecah-belah integritas bangsa (sebagaimana terorisme yang berkembang saat ini). Di sisi lain, agustusan juga dapat kita temukan semangat kebersamaan yang bisa memperekat hubungan sesama warga.

Keragaman dalam perayaan di tiap daerah, juga menjadi sebuah hal yang menarik untuk kita perhatikan, betapa bangsa kita kaya akan keragaman dan perbedaan tradisi (multikulturalitas). Perbedaan ini bila mampu kita kelola dengan baik, bisa menjadi modal bangsa ini untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Sebaliknya bisa menjadi benih perpecahan, bila tidak diiringi dengan semangat menghormati perbedaan (ruhut ta’addudiyah).

Pada akhirnya untuk mewujudkan semangat nasionalisme dan rasa cinta tanah air, juga dibutuhkan semangat beragama dalam pemahaman nilai-nilai agama (ruhut tadayun) dan semangat kemanusiaan (ruhul insaniyah), agar tidak terjadi nasionalisme yang kebablasan, seperti yang kita temui pada bangsa Jerman pada era Hiltler, yang beranggapan bahwa kelompok, ras dan bangsanya merupakan yang paling benar, paling tinggi, paling terhormat dan berhak untuk memusnahkan kelompok lain. Nasionalisme tersebut sebenarnya semu, dan tidak akan membentuk menjadi sebuah bangsa yang beradab, yang nantinya bermuara menuju pada konsep negara baldatun thayyibun. Dirgahayu Indonesia!!!

Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) Sebagai Manhaj al-Fikr*

A. Sejarah Kemunculan Aswaja

Pada zaman Rasul SAW masih ada, perbedaan pendapat di antara sahabat langsung dapat diselesaikan dengan “sabda” dari Nabi SAW. Tetapi setelah beliau wafat, penyelesaian semacam itu tidak ditemukan. Perbedaan sering muncul sebagai pertentangan dan permusuhan. Sesungguhnya pada mulanya, persengketaan akibat pertentangan imamah, bukan persoalan aqidah. Dari situ, kemudian merambah ke dalam wilayah agama.

Dalam perkembangannya, pembicaraan tentang aqidah meluas pada persoalan-persoalan Tuhan dan manusia. Terutama terkait perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan. Demikian juga tentang sifat Tuhan, keadilan Tuhan dan kemakhlukan al-Qur’an. Dalam mempertahankan pendapat tentang persoalan tersebut terjadi perbedaan yang sangat tajam dan saling bertentangan.

Pada waktu itu terdapat banyak kelompok-kelompok, diantaranya ada kelompok Jabariyah, yang berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah swt dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedangkan kelompok satunya, Qadariah berpendapat terbalik dengan kelompok Jabariah, yakni menekankan pada aspek takdir yang tercipta karena perbuatan manusia itu sendiri. Lain lagi dengan kelompok mu’tazilah yang menggunakan rasio akal di atas Al-qur’an dan Hadist, sebagai dasar pemikiran. Selain itu juga ada Syi’ah, Murji’ah dsb. Hal ini sebenarnya sudah diprediksi Nabi saw bahwa kelak umat muslim akan terpecah menjadi 73 golongan.

Di tengah pertentangan itu, muncul sebuah dua kelompok moderat yang berusaha mengkompromikan keduanya. Dua kelompok itu kemudian dinamakan Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja). Kelompok itu adalah Asy’ariyah yang didirikan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat 324 H/935 M) dan Maturidiyah yang didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi (wafat 333 H).

B. Konsep Ajaran Aswaja

Secara rinci sumber ajaran aswaja dapat dijelaskan sbb:

1. Bidang aqidah mengikuti mam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi

2. Bidang fiqh mengikuti salah satu madzhab empat yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.

3. Bidang Tasawuf mengikuti Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam Ghozali.

Aqidah Aswaja merupakan jalan tengah (tawasuth) diantara kelompok-kelompok yang bertentangan pada waktu itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Sikap tawasuth ditunjukkan dengan konsep (al-kasb), yang memilki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. al-kasb juga memilki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perebuatannya.

Dengan konsep al-kasb tersebut, Aswaja menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhan-lah yang menentukan semuanya. Dalam konteks kehidupan sekarang, aqidah ini, yang paling memungkinkan dijadikan landasan memajukan bangsa. Dari persoalan ekonomi, budaya, kebangsaan sampai memecahkan peresoalan-persoalan kemanusiaan kekinian seperti HAM, kesehatan, gender dsb. Dalam aqidah ini juga upaya pendamaian antara penggunaan dalil al-naqli dan al-‘aqli.

C. Spirit Ajaran Aswaja

Pada intinya, ajaran Aswaja mengandung spirit sikap keberagaman dan kemasyarakatan, yaitu tawasuth dan I’tidal (moderat), tasammuh (toleran), tawazzun (keseimbangan) dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan, mencegah kemunkaran).

Sikap moderatisme Aswaja merupaka karakter utama dari kaum Aswaja dalam beraqidah. Sikap tawasuth ini diperlukan dalam rangka untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak. Yang prinsip bagi Aswaja adalah berhasilnya nilai-nilai syariat islam dijalankan oleh masyarakat, sedang cara yang dilakukan harus menyesuaikan dengan kondisi dan masyarakat setempat.

Aswaja menolak ajaran aqidah yang dimiliki oleh garis keras. Seperti mu’tazilah yang memaksakan ajarannya kepada orang lain dengan cara keras. Apabila ada orang lain tidak sepaham, dituduh musyrik dan harus dihukum. Juga menolak kelompok yang menutup diri dari golongan mayoritas kaum muslimin. Sebab kaum Aswaja adalah kaum yang selalu dapat menerima masukan dari dalam dan luar utnuk mencapai kebaikan yang lebih utama. Prinsipnya adalah al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).

Hal ini yang menyebabkan Aswaja mudah diterima oleh mayoritas orang muslim, sebab Aswaja tidak pernah a priori terhadap tradisi, selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan kebaikan. Dan juga memungkinkan kaum Sunni (sebutan kaum penganut ajaran Aswaja) bertindak selektif terhadap tradisi. Sikap ini penting untuk mengindarkan dari sikap keberagaman yang destruktif terhadap tradisi setempat. Sikap selektif ini mengacu pada kaidah “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya).

D. Penutup

Pada akhirnya setelah sahabat/i semua mengetahui Aswaja mulai dari sejarah kemunculan, konsep sampai spirit ajarannya. Sahabat/i dituntut agar mampu mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Aswaja dalam konteks pergerakan dan kemasyarakatan. Artinya Aswaja tidak dipandang hanya dari segi pengetahuan akidah dan fiqh, namun lebih pada praktik sesungguhnya sebagai metode (manhaj) dalam bergerak. Wallahu a’lam

Referensi: buku Aswaja an-nahdliyah (LTN NU Jawa Timur)

Rabu, 05 Agustus 2009

Rasa Sayange...

Kasih sayang itu tidak harus ditunjukkan dengan memenuhi semua permintaan kebutuhan orang yang kita sayang, meskipun kita sebenarnya bisa memenuhi permintaannya. Sebagai contoh ada seorang anak yang meminta dibelikan es seharga Rp.500, tapi si ibu menolak keinginannya, meskipun sebenarnya si ibu sangat mampu untuk membelikannya. Si ibu menolak karena anak tadi sebenarnya masih pilek, dan tahu mana yang terbaik untuk sia anak.

Begitu juga Allah swt dalam member ni’mat kepada makhluk-Nya, Dia lebih tahu mana yang sebenarnya yang terbaik untuk kita. Permintaan kita yang tidak kunjung terpenuhi, bukanlah menjadi alasan bahwa Dia telah melupakan rasa sayang-Nya kepada kita. Ni’mat dan musibah sebenarnya memiliki makna sama, yakni ujian, tergantung bagaimana kita bias menyikapinya. Tetap semangat mengarungi hidup ini.

Senin, 03 Agustus 2009

Masjid itu Milik Siapa?


Di pagi yang masih dingin itu Darius datang mengetuk pintu masjid. Ia membawa pesan dari Keluarga Brojo, pesan kematian alias berita duka. Ya, petang kemarin salah satu anggota keluarga Tuan Brojo ada yang meninggal dunia. Maka segera banyak warga sekitar datang turut meringankan beban keluarga Tuan Brojo, meski diketahui keluarga Tuan Brojo adalah penganut Nasrani.

Sudah lebih dari tujuh masjid ia datangi, sampailah ia di masjid yang kedelapan. Di situ ia mendapati masjid dengan bangunan megah dan arsitektur sangat indah. Namun di masjid itu ternyata ia tak bernasib sebaik bangunan masjid.

“Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumussalam…”

Darius diterima Pak Habib, salah seorang takmir di situ, yang kelihatannya baru selesai nderes Qur’an. Setelah basa-basi sekedarnya, Darius segera mengutarakan maksud kedatangannya, yakni ingin menyiarkan berita duka.

“Siapa yang meninggal?”, Tanya Pak Habib

“Ibu Elizabeth, adik Tuan Brojo di desa sebelah”,

Kening Pak Habib berkerut, tanda berpikir, lalu berkata pelan pada Darius, yang intinya begini: masjid ini hanya untuk kepentingan umat Islam.

“termasuk menyiarkan berita kematian?”, Tanya Darius.

“Ya, termasuk menyiarkan berita kematian”

“Tapi, maaf pak, bukankah orang yang meninggal itu juga ciptaan Allah dan Bukankah ketika seseorang meninggal ia tetap hamba Tuhan yang wajib dihormati meski bentuk penghormatan itu bisa lain-lain ritualnya sesuai keyakinannya”

“itu pendapat sampeyan, kalau saya tetap berpegangan pada keyakinan bahwa masjid ini hanya untuk keperluan orang islam.”

Akhirnya, Darius pulang sambil bertanya dalam hati: Masjid siapakah yang megah dengan arsitektur indah yang baru ditemuinya? Kalau memang masjid benar rumah Allah, siapa saja berhak atas fungsi sosial masjid, termasuk menyiarkan berita kematian seorang non-muslim. Sebab, semua orang di bumi ini ciptaan Allah. Persoalan apakah orang itu meninggal jiwanya akan masuk surga atau neraka, tentu merupakan hak prerogatif Allah.

Lebih parah lagi, apabila pelarangan ataupun pembatasan penggunaan fasilitas itu dialamatkan kepada sesama umat muslim, yang juga ingin mengadakan kegiatan di masjid. Wallahua’lam bishowab. (El-Karanjiy)