Kamis, 13 Agustus 2009

Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja) Sebagai Manhaj al-Fikr*

A. Sejarah Kemunculan Aswaja

Pada zaman Rasul SAW masih ada, perbedaan pendapat di antara sahabat langsung dapat diselesaikan dengan “sabda” dari Nabi SAW. Tetapi setelah beliau wafat, penyelesaian semacam itu tidak ditemukan. Perbedaan sering muncul sebagai pertentangan dan permusuhan. Sesungguhnya pada mulanya, persengketaan akibat pertentangan imamah, bukan persoalan aqidah. Dari situ, kemudian merambah ke dalam wilayah agama.

Dalam perkembangannya, pembicaraan tentang aqidah meluas pada persoalan-persoalan Tuhan dan manusia. Terutama terkait perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan. Demikian juga tentang sifat Tuhan, keadilan Tuhan dan kemakhlukan al-Qur’an. Dalam mempertahankan pendapat tentang persoalan tersebut terjadi perbedaan yang sangat tajam dan saling bertentangan.

Pada waktu itu terdapat banyak kelompok-kelompok, diantaranya ada kelompok Jabariyah, yang berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah swt dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedangkan kelompok satunya, Qadariah berpendapat terbalik dengan kelompok Jabariah, yakni menekankan pada aspek takdir yang tercipta karena perbuatan manusia itu sendiri. Lain lagi dengan kelompok mu’tazilah yang menggunakan rasio akal di atas Al-qur’an dan Hadist, sebagai dasar pemikiran. Selain itu juga ada Syi’ah, Murji’ah dsb. Hal ini sebenarnya sudah diprediksi Nabi saw bahwa kelak umat muslim akan terpecah menjadi 73 golongan.

Di tengah pertentangan itu, muncul sebuah dua kelompok moderat yang berusaha mengkompromikan keduanya. Dua kelompok itu kemudian dinamakan Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja). Kelompok itu adalah Asy’ariyah yang didirikan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat 324 H/935 M) dan Maturidiyah yang didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi (wafat 333 H).

B. Konsep Ajaran Aswaja

Secara rinci sumber ajaran aswaja dapat dijelaskan sbb:

1. Bidang aqidah mengikuti mam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi

2. Bidang fiqh mengikuti salah satu madzhab empat yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.

3. Bidang Tasawuf mengikuti Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam Ghozali.

Aqidah Aswaja merupakan jalan tengah (tawasuth) diantara kelompok-kelompok yang bertentangan pada waktu itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Sikap tawasuth ditunjukkan dengan konsep (al-kasb), yang memilki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. al-kasb juga memilki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perebuatannya.

Dengan konsep al-kasb tersebut, Aswaja menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan bahwa Tuhan-lah yang menentukan semuanya. Dalam konteks kehidupan sekarang, aqidah ini, yang paling memungkinkan dijadikan landasan memajukan bangsa. Dari persoalan ekonomi, budaya, kebangsaan sampai memecahkan peresoalan-persoalan kemanusiaan kekinian seperti HAM, kesehatan, gender dsb. Dalam aqidah ini juga upaya pendamaian antara penggunaan dalil al-naqli dan al-‘aqli.

C. Spirit Ajaran Aswaja

Pada intinya, ajaran Aswaja mengandung spirit sikap keberagaman dan kemasyarakatan, yaitu tawasuth dan I’tidal (moderat), tasammuh (toleran), tawazzun (keseimbangan) dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan, mencegah kemunkaran).

Sikap moderatisme Aswaja merupaka karakter utama dari kaum Aswaja dalam beraqidah. Sikap tawasuth ini diperlukan dalam rangka untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak. Yang prinsip bagi Aswaja adalah berhasilnya nilai-nilai syariat islam dijalankan oleh masyarakat, sedang cara yang dilakukan harus menyesuaikan dengan kondisi dan masyarakat setempat.

Aswaja menolak ajaran aqidah yang dimiliki oleh garis keras. Seperti mu’tazilah yang memaksakan ajarannya kepada orang lain dengan cara keras. Apabila ada orang lain tidak sepaham, dituduh musyrik dan harus dihukum. Juga menolak kelompok yang menutup diri dari golongan mayoritas kaum muslimin. Sebab kaum Aswaja adalah kaum yang selalu dapat menerima masukan dari dalam dan luar utnuk mencapai kebaikan yang lebih utama. Prinsipnya adalah al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).

Hal ini yang menyebabkan Aswaja mudah diterima oleh mayoritas orang muslim, sebab Aswaja tidak pernah a priori terhadap tradisi, selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan kebaikan. Dan juga memungkinkan kaum Sunni (sebutan kaum penganut ajaran Aswaja) bertindak selektif terhadap tradisi. Sikap ini penting untuk mengindarkan dari sikap keberagaman yang destruktif terhadap tradisi setempat. Sikap selektif ini mengacu pada kaidah “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggal semuanya).

D. Penutup

Pada akhirnya setelah sahabat/i semua mengetahui Aswaja mulai dari sejarah kemunculan, konsep sampai spirit ajarannya. Sahabat/i dituntut agar mampu mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Aswaja dalam konteks pergerakan dan kemasyarakatan. Artinya Aswaja tidak dipandang hanya dari segi pengetahuan akidah dan fiqh, namun lebih pada praktik sesungguhnya sebagai metode (manhaj) dalam bergerak. Wallahu a’lam

Referensi: buku Aswaja an-nahdliyah (LTN NU Jawa Timur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar