Sabtu, 19 Desember 2009

PENGARUH ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN: “MENGGALI KEMBALI FALSAFAH HIDUP ISLAM DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN”*

*JUARA III LOMBA ESAI SKI FK UNS 2009

Pengantar
Umat islam saat ini sedang mengalami kondisi yang tepuruk dan terbelakang. Masalah yang dihadapi sangat kompleks, dan penyebabnya muncul dari berbagai hal baik dari dalam umat islam sendiri, maupun akibat pengaruh dari luar. Kebodohan, kemiskinan, penindasan yang menimpa umat muslim diberbagai penjuru dunia, hanyalah segelintir dari berbagai masalah yang ada.
Pada kenyataannya, Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim, masih tergolong dalam kelompok negara berkembang bahkan miskin. Sehingga orientasi untuk mengembangkan pengetahuan, masih ‘dikesampingkan’ untuk menyelesaikan masalah yang berkutat pada soal kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan sebagainya. Ironisnya, negara muslim yang bisa dikategorikan ‘kaya’, belum bisa berbuat banyak untuk menolong saudara mereka di negara lain.
Dalam konteks pengembangan sains misalnya, umat islam selama beberapa dasawarsa hanya sukses menghasilkan beberapa orang peraih hadiah nobel. Dalam konteks yang lebih luas, kalau bangsa-bangsa lain sudah berhasil membangun stasiun luar angkasa dan sudah berfikir tentang bagaimana mengirimkan pesawat ruang angkasa berawak ke Mars, umat kita masih sibuk untuk menyelesaikan problem yang semestinya sudah tidak perlu lagi dipersoalkan.
Padahal kalau kita menilik sejarah, para pemikir islam di zaman keemasannya pernah menorehkan tinta emas, yang pengaruhnya masih bisa kita rasakan hingga detik ini. Sebut saja Jabir bin Hayyan (aljabar) seorang pakar kimia dan ilmu matematika. lalu ada Ibnu Siena, (980-1037 M), sang ahli kedokteran yang dikenal sebagai Avicenna di Barat. Kemudian generasi berikutnya memunculkan nama Imam Ghazali, seorang ahli teologi dan ilmu kalam, juga ada Ibnu Rusyd (1126-1198 M) seorang pakar filsuf dan Ibnu Khaldun seorang sejarawan dan sosiolog yang ternama.
Nama-nama besar di atas, menjadi masyhur tidak hanya di kalangan umat islam saja, tapi juga dikenal oleh orang non-islam sekalipun. Sumbangsih pemikiran-pemikiran mereka yang luar biasa, ikut memberikan pengaruh dan kontribusi terhadap majunya peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dan pada zaman keemasan itulah, kontribusi para pemikir islam terhadap ilmu pengetahuan begitu besar pengaruhnya.

Pengaruh Pemikir Islam di Masa Lampau
Pengaruh pemikiran mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu begitu besar, terbukti dari banyaknya hasil buah pemikiran mereka yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan dijadikan rujukan oleh sekolah-sekolah tinggi di Eropa. Ajaran falsafah Ibnu Siena dan Ibnu Rusyd bahkan sempat mendominasi jalan pemikiran Barat di akhir abad ke 17 M. pemikiran mereka disejajarkan dengan pemikiran Barat yang saat itu didominasi falsafah Augutianisme yang dipelopori St. Bonaventure, dan falsafah Aristotelianisme yang dipelopori St. Thomas Aquinas.
Dalam bidang kedokteran misalnya, ketika Eropa masih dilanda zaman kegelapan dan begitu banyak penyakit yang menjangkit masyarakat seperti TBC, lepra, dan pes yang belum mampu ditemukan obatnya. Di kalangan umat islam, sudah muncul para ahli yang mulai menyelidiki penyakit-penyakit yang dikategorikan menular dan sudah mulai mencari obatnya. Buku karangan Ibnu Siena yang bernama “Al Qanun fit Thibb” mempunyai pengaruh yang besar dalam kemajuan kedokteran.
Di bidang lain pun semisal di bidang ilmu Matematika, lewat pemikiran dari Jabir bin Hayyan, yang kemudian memperkenalkan ilmu aljabar dan kemudian berkembang kepada ilmu matematika. Di bidang geografi, ada Abu Obayd al-Bakriy dan Idrisiy yang mampu membuat peta dunia, yang kemudian menjadi rujukan para pelayar dunia semisal Columbus, sang penemu benua Amerika. Di bidang lain seperti kimia, geologi, bahkan angkasa luar. Saat itu, para peneliti islam sudah selangkah lebih maju dibanding bangsa Barat sekalipun.
Sayangnya semua kejayaan yang telah dibangun, seiring dengan ekspansi yang dilakukan oleh umat islam pada waktu itu ke beberapa Kota dan Negara di Eropa, akhirnya menjadi hancur justru karena perselisihan diantara umat islam sendiri. Perang saudara dan perebutan tahta kekhalifahan akhirnya membuat umat islam menajdi lemah dan lengah. Puncaknya ketika pada masa kekhalifahan Abbasiyah, akibat serbuan bangsa Mongol, pusat pemerintahan waktu itu kota Baghdad dapat dihancurkan, pun dengan buku-buku (simbol peradaban dan pengetahuan) juga turut dihancurkan.
Meninggalnya para ulama, ilmuwan ditambah dengan musnahnya buku-buku penting, menjadi awal dari kemunduran umat islam, khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Yang lebih memprihatinkan, banyak catatan, manuskrip, dan naskah penting milik umat islam yang hilang kemudian muncul kembali dan diklaim sebagai hasil pemikiran orang Barat. Ironis memang, kemajuan peradaban dan pemikiran umat islam harus berakhir seperti itu.
Hal itulah yang menjadi salah satu tantangan kita sebagai generasi muda islam saat ini, untuk kembali meraih kejayaan itu. Kita bukan hanya sekedar mengenang romantisme kejayaan peradaban dan para pemikir islam di masa lampau, namun juga berusaha mewujudkannya. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara kita mewujudkan hal ini ditengah keterpurukan dan keterbelakangan yang terjadi dalam umat islam saat ini? atau adakah konsep yang ideal untuk mewujudkannya?

Menggali Kembali Falsafah Hidup Islam:”Membentuk Generasi Ulu al-Abab”
Keterpurukan dan keterbelakangan umat islam saat ini memang disebabkan oleh banyak faktor. Tetapi sebenarnya, akar dari berbagai persoalan yang menimpa umat islam itu tidak lain disebabkan karena kurang dihayatinya persoalan falsafah hidup (world view) umat islam.
Selama ini, kita seringkali menyaksikan umat islam sedemikian bangganya ketika mengikuti falsafah yang dikembangakan oleh Barat. Padahal, umat islam semestinya menjalankan kehidupannya berpijak pada falsafah hidup bersumber dari al-Quran dan al-Hadist. Jauh-jauh hari Nabi saw telah menjanjikan bahwa umat islam dijamin tidak akan tersesat dalam kehidupannya selama mereka tetap berpegang teguh pada dua sumber tersebut. Umat islam saat ini telah banyak salah jalan karena mengabaikan dan jauh dari pedoman islam: al-Qur’an dan al-Hadist.
Pengetahuan yang semestinya bisa kita gali dari kedua pedoman tersebut, seringkali kita abaikan. Ironisnya, justru orang-orang dari luar umat islam lah yang banyak mendapatkan ide-ide dasar pemikiran dan penemuan baru, yang itu semua sebetulnya terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Para pemikir islam di masa lampau, bisa mendapatkan gagasan dan penemuan baru, karena mereka sadar betul bahwa sumber semua ilmu pengetahuan, tersirat dalam al-Qur’an.
Karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan merupakan alat bagi manusia untuk mengenal kebesaran Allah SWT. Dengan pengetahuan itulah manusia menjadi lebih mengenal Tuhannya dan menyadari akan kelemahannya. Dalam al-Qur’an lah terdapat banyak tanda-tanda (ilmu pengetahuan) daripada kebesaran dan kekuasaan Allah SWT tersebut. Tentu saja tanda-tanda tersebut belum bisa kita manfaatkan, manakala hanya kita yakini tetapi tidak kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam surat ar-Rahman Allah berfirman yang artinya:”Hai Manusia dan Jin, sekiranya kamu mampu menembus langit dan bumi maka tembuslah, dan kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan sulthon (ilmu pengetahuan).”
Dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah mengingatkan kepada kita, mustahil bagi kita untuk bisa ‘menaklukkan’ alam ini, tanpa bekal ilmu pengetahuan yang kita miliki. Dalam ayat lain juga disebutkan:”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan dalam pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. al-Imran:190). Kalimat terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, makin mengukuhkan bahwa hanya orang yang berakal (berilmu), yang bisa membaca tanda-tanda itu.
Sosok manusia yang disebut dalam QS. Al-Imran:190 di atas disebut juga ulu al-albab. Ulu al-albab adalah orang yang mengedepankan dzikir, fikir, dan amal saleh. Ia memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan sebenar-benarnya perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadirannya di muka bumi sebagai pemimpin (khalifah fi al-ardh) menegakkan yang hak dan menjauhi kebatilan.
Identitas ulu al-albab ini dapat dibentuk lewat proses pendidikan yang dipola sedemikian rupa. Pola pendidikan yang dimaksudkan itu ialah pendidikan yang mampu membangun iklim yang dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya dzikir, fikir dan amal shaleh. Pendidikan ulu al-albab mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan maksud sebagai upaya mendekatkan diri dan memperoleh ridha Allah SWT.
Dzikir, fikir, dan amal shaleh dipandang sebagai satu kesatuan utuh. Dzikir merupakan sarana bagi seseorang untuk mendekatkan diri kepada sang khalik. Pendidikan fikir dilakukan di untuk mempertajam nalar atau pikiran. Pendekatan yang dikembangkan lebih berupa pemberian tanggung jawab kepada seseorang untuk mengembangkan keilmuannya secara mandiri, dan tentunya dengan bimbingan seorang guru yang berkompeten dalam keilmuannya.
Metode ini banyak kita temukan dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an banyak sekali menggunakan formula kalimat bertanya dan perintah untuk mencari sendiri, seperti: Apakah tidak kau pikirkan? Apakah tidak kau perhatikan? Apakah tidak kau lihat? Dan sebagainya. Formula kalimat bertanya semacam itu melahirkan inspirasi dan pemahaman bahwa memikirkan, memperhatikan dan melihat sendiri, seharusnya dijadikan kata kunci dalam pilihan pendekatan belajar untuk memperluas ilmu pengetahuan. Sedangkan amal shaleh, ini terkait dengan pengabdian dan profesionalitas. Dengan konsep ini, ilmu pengetahuan yang telah kita dapat, bisa bermanfaat baik untuk diri kita sendiri maupun untuk kemaslahatan untuk orang banyak.
Apabila ketiga konsep ini bisa dijalankan dan dibentuk dengan ideal, niscaya akan terbentuk generasi ulu al-albab, yaitu generasi islam yang memiliki sifat progresif, intelektual, kritis, peka terhadap lingkungan dan yang penting mereka tetap berpegang pada al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup mereka. Hampir serupa dengan karakter pemikir islam di masa keemasannya yang memiliki karakter yang hampir sama.
Dan bila kita kembalikan pada permasalahan keterpurukan, keterbelakangan dan masalah yang begitu kompleks yang dialami umat muslim saat ini. Konsep pendidikan ulu al-albab ini hendak menawarkan kepada kita sebuah generasi yang nantinya diharapkan, menjadi intelektual muslim yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran-pemikiran baru baik bagi umat islam khususnya maupun untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban dunia pada umumnya.

Penutup
Sebagai sebuah konsep awal, pola pendidikan ulu al-albab ini masih memerlukan pengujian yang seksama. Sebab konsep ini disusun semata-mata didasarkan atas pandangan-pandangan yang lebih bersifat idealis, yang bisa jadi jauh dari kebutuhan nyata atau aspirasi masyarakat yang sedang berkembang.
Sebuah konsep dapat dijalankan dengan baik dan maksimal jika ada kesesuaian dengan kekuatan dan kenyataan di lapangan. Sementara dalam realitasnya akhir-akhir ini masyarakat sedang dilanda oleh budaya ekonomi kapitalistik yang serba menuntut keuntungan besar dan cepat dari usaha dan modal yang serendah-rendahnnya. Jika ungkapan tersebut betul, maka konsep ini sangat kontradiktif dengan budaya masyarakat yang berkembang saat ini.
Akan tetapi, sadar akan fenomena kualitas pendidikan yang semakin hari tidak menunjukkan kemajuan, bahkan cenderung merosot, maka konsep diharapkan, sekalipun mungkin dinilai bersifat utopis, menjadi bukti bahwa ternyata masih ada sebagian masyarakat yang benar-benar menaruh keprahatinan yang amat mendalam tentang pendidikan kita selama ini.
Dalam bidang pengembangan keilmuan, kita bersyukur bahwa pada saat ini banyak para pemikir Muslim yang mencoba kembali berpijak pada falsafah hidup islam. Para pemikir muslim membangun paradigma keilmuan keislaman berbasiskan nilai-nilai tauhid yang digali dari al-Qur’an dan al-Hadist. Pemikiran tersebut muncul disebabkan berkembangnya paradigma dikotomi keilmuan yang selama ini dianggap telah ikut andil dalam menciptakan polarisasi pemikiran dan konstruksi keilmuan yang berdampak pada mundurnya peradaban islam.
Pandangan dikotomi ini harus diubah dan diakhiri. Pandangan dikotomi keilmuan selain bertentangan dengan semangat tauhid dan prinsip universalitas islam dalam kenyataannya juga telah mengebiri kreatifitas serta berperan dalam menciptakan split personality dalam diri umat islam., didasarkan pada pemikiran untuk memberikan kontribusi dalam menciptakan sumberdaya manusia yang kaffah dan tidak terpecah.

*Penulis adalah Mahasiswa FE UNS Jurusan Ekonomi Pembangunan


Referensi:
- al-Qur’an
- Armstrong, Karen. 2002. Islam: A Short History. New York
- Abidin, Zainal. 1974. Ibnu Siena: Sarjana dan Filosoof Besar Dunia. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar