Minggu, 21 Juni 2009

Balada Pulau Ambalat

Konflik yang melanda antara Indonesia dan Malaysia, itu ibarat dua orang yang hidup bertetangga. Gesekan konflik dan masalah yang melanda hubungan keduanya, pasti sewaktu-waktu bisa terjadi. Konflik bisa terjadi karena tiap individu kadang memiliki keinginan yang berbeda, sehingga bentrokan keinginan antar individu seringkali tidak dapat dihindari. Apabila masing-masing individu lebih mementingkan egonya untuk melampiaskan keinginannya, padahal keinginan tersebut bertentangan dengan individu lain, maka tidak akan terjadi kesepahaman. Dan sebaliknya, bila tiap individu saling memahami ego masing-masing, dan keduanya lebih mementingkan kepentingan bersama, maka akan tercipta keselarasan dan kedamaian dalam menjalin hubungan.

Dalam konteks masalah Indonesia-Malaysia, antara kedua negara telah terjadi konflik bahkan sejak pertama kali Malaysia berdiri. Ketika itu Indonesia merupakan Negara yang paling menentang pendirian Negara Malaysia, dan menganggap Malaysia hanyalah negara boneka Kerajaan Inggris, salah satu pendukung blok barat (Nekolim). Bahkan Indonesia sempat keluar dari PBB karena menolak masuknya Malaysia menjadi anggota dewan keamanan PBB.

Sampai sekarang, kisah mengenai konflik Indonesia-Malaysia menjadi bagian dari pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Tak pelak hal ini sedikit banyak berpengaruh pada pandangan orang Indonesia sekarang terhadap Malaysia, dan mungkin juga sebaliknya. Stigma mengenai Negara Malaysia sebagai musuh bebuyutan Indonesia, mungkin juga berlaku sebaliknya di negeri jiran.

Paradigma semacam ini, pada akhirnya bisa ikut mempengaruhi keputusan tiap individu. Dalam kasus kecil, misal banyaknya kasus penyiksaan yang dilakukan warga Malaysia terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia, dan dalam konteks yang lebih besar yaitu kenegaraan, kebijakan yang dilakukan pemerintah kedua negara bisa saja ikut terpengaruh, meskipun kedua negara telah sepakat untuk melupakan sejarah kelam tersebut.

Sebenarnya kalau kita mau mengakui, konflik yang terjadi lebih banyak disebabkan karena ketidaksiapan kita mengantisipasi terjadinya konflik tersebut. Sebagai contoh pada kasus klaim Malaysia terhadap kesenian Reog Ponorogo dan perebutan Pulau Sipadan-Ligitan. Kita terlalu reaktif pada tindakan yang mereka lakukan, namun tidak pernah berpikir kenapa mereka berani melakukan tindakan tersebut.

Terhadap Reog Ponorogo dan mungkin kesenian lain kita kurang peduli akan keberadaannya, dan tidak ada yang akan menyalahkan kita jika suatu saat kesenian itu menjadi mati. Pulau Sipadan-Ligitan pun demikian, pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut kurang diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dan justru Malaysia yang notabene merupakan “pendatang” di daerah tersebut yang banyak mendirikan bangunan. Maka tak heran hal itulah yang akhirnya menjadi poin penting bagi Malaysia untuk memenangkan sengketa tersebut.

Demikan pun dengan konflik yang terbaru kedua negara dalam memperebutkan Pulau Ambalat. Kasus yang menjadi lanjutan dari kasus Sipadan-Ligitan ini, makin diperuncing karena ditengarai di Perairan Ambalat terdapat kandungan minyak. Perbedaan persepsi batas wilayah Negara, menjadi sebab terjadinya konflik. Setelah “mendapatkan” Sipadan, Malaysia mengklaim bahwa wilayah Ambalat masuk ke dalam teritorinya. Padahal sesuai dengan keputusan Deklarasi Juanda, Pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Indonesia.

Penyelesaian konflik yang mengarah ke jalan perang, seperti provokasi dan saling mengancam antar kedua negara, tidak akan pernah bisa menyelesaikan konflik dan justru akan menambah masalah baru. Artinya, jalur diplomasi harus dikedepankan oleh pemerintah kedua negara daripada bersikap reaktif anarkis. Kalau kita mau mengakui lagi, lemahnya diplomasi Indonesia di tingkat Internasional, menjadi sebab ketidakberdayaan kita dalam menghadapi konflik semacam ini. Diplomasi kita bisa kuat kalau ketahanan nasional kita juga kuat.

Untuk mengatasi berbagai masalah yang sedemikian kompleks membutuhkan sikap arif dari kedua pihak. Sebenarnya sederhana saja, yakni mau tak mau kedua negara sebetulnya saling membutuhkan satu sama lain. Membangun kesepahaman kedua negara memang sulit, karena masing-masing memiliki ego dan kepentingan, dan konflik tak dapat dihindari dalam setiap hubungan, namun bagaimana agar konflik tersebut mengarah ke arah konstruktif, bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar