Rabu, 05 Maret 2014

Ulama Tak Harus Miskin

Dimuat di GAGASAN Solopos, Edisi Jum'at 27 September 2013

Oleh : Ajie Najmuddin*

Tulisan Muhammad Milkhan yang berjudul Ulama dan Kemewahan  di Solopos edisi Jumat, 20 September 2013, menarik untuk ditelaah dan didiskusikan. Ada beberapa hal yang menurut saya perlu didiskusikan lebih lanjut agar pemahaman umum tak terjebak dalam satu versi pemahaman dan pandangan.
Dalam tulisan tersebut dipaparkan gambaran kategori ulama dunia. Bahkan dalam beberapa kalimatnya, seolah kemudian menyudutkan salah seorang tokoh ulama yang menurut sudut pandangnya tak lagi mencerminkan sosok warastatul anbiyaa’ (ulama pewaris para nabi) karena kemewahan yang ditampakkan. Lalu apa yang perlu kita cermati dari tulisan tersebut? Apa pula yang perlu kita luruskan?
Pertama, perlu kita perhatikan argumentasi Muhammad Milkhan yang ia kutip dari Gus Mus, tentang dua kategori ulama menurut Imam Ghazali, yakni ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia yakni mereka yang menggunakan ilmunya untuk kepentingan duniawi.
Sedangkan ulama akhirat merupakan orang-orang yang menggunakan ilmunya lillahi ta’ala (karena Allah SWT). Namun, perlu kita perjelas lagi apakah yang dimaksud oleh Imam Ghazali tentang ulama dunia hanya sebatas yang tampak di luar saja? Bisakah kita katakan ulama ini termasuk ulama dunia hanya karena mobil mewah yang dikenakannya?
Di antara para ulama terkemuka di zaman lampau (sebelum terlalu jauh dengan memberi contoh para nabi atau sahabat), banyak sekali kisah dari mereka yang dari segi lahirnya memperlihatkan kekayaan dan kemewahan. Akan tetapi, dari segi batin rupanya hati mereka tak tertaut dengan harta yang berada di sekeliling mereka.
Contohnya adalah kisah hidup Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazi (wafat pada 181 H). Dia adalah imam besar yang ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in. Dalam biografi dia disebutkan Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah bertanya kepadanya apa sebab dia memiliki perniagaan besar dengan mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke Mekah.
Abdullah bin Al-Mubarak menjawab pertanyaan Imam Al-Fudhail itu dengan mengatakan, ”Sesungguhnya aku melakukan itu untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada orang lain), memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah,”.
Ucapan ini benar-benar terbukti, karena dia sangat terkenal dengan sifat dermawan dan selalu membantu orang miskin dengan sumbangan harta yang sangat besar setiap tahun. Kisah Sufyan Ats-Tsauri, seorang ulama terkemuka di Basrah, juga contoh yang harus kita ketahui. Suatu hari ia memerintahkan seorang santri yang bernama Abdullah untuk menyampaikan kepada Ahmad, guru Abdullah di kampung. Sufyan berpesan, ”Sampaikan kepada gurumu, agar ia tidak cinta dunia.”
Mendengar pesan itu Abdullah merasa bingung. Di matanya, Ahmad adalah seorang yang sangat sederhana, bahkan miskin. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauri yang menyampaikan pesan itu adalah seorang yang kaya-raya. Rumahnya besar lengkap dengan perabotan mewah. Kebunnya sangat luas dan juga memiliki ternak sapi yang amat banyak.
Dalam kebingungan tersebut, Abdullah pulang ke tempat asalnya. Dan menyampaikan pesan Ats-Tsauri kepada Ahmad. Mendengar isi pesan itu, Ahmad terenyuh dan meneteskan air mata. Ia justru membenarkan ucapan Ats-Tsauri karena selama ini dalam kemiskinannya ia masih saja memikirkan dunia.
Apa yang bisa dipetik dari dua cerita di atas? Kekayaan atau kemewahan bukanlah sindikator kedekatan orang dengan Tuhan. Tak ada yang bisa menjamin semakin orang kaya maka akan semakin tertaut hatinya dengan dunia. Bisa jadi dengan ilmu yang dimiliki, seorang ulama yang diberi amanat berupa harta justru bisa lebih mengetahui cara yang baik untuk menasarufkannya, dibanding orang yang tak berilmu, dan dengan cara seperti itu bisa lebih dekat dengan Tuhan.

Ulama dan Umara
Kedua, terkait kritik Muhammad Milkhan terhadap ulama yang menghadiri undangan-undangan tanpa meyeleksinya. Terlepas dari siapa pun yang mengundang, di dalam Islam Nabi Muhammad SAW mengajarkan kewajiban untuk menghadiri undangan. Dalam sebuah hadis memang tersirat bahwa Nabi SAW lebih mencintai undangan kaum miskin. Namun, beliau juga tak pernah menyebut pelarangan untuk memenuhi suatu undangan.
Siapa pula yang tahu niat seseorang, baik atau buruk. Selama ada orang yang hendak berbuat baik, kenapa pula mesti menolaknya? Ingatkah kita pada sebuah kisah pertobatan seorang pembunuh? Berkali-kali ia ditolak pertobatannya oleh para pemuka agama, namun akhirnya oleh Nabi Musa AS dia diterima kehadirannya dan dipersilakan untuk bertobat. Allah Maha Penerima Tobat, selama hamba-Nya memang bersungguh-sungguh bertobat dan tak mengulangi kesalahannya lagi.
Konteks demikian juga selaras ketika kita kaitkan bahwa semestinya antara umara (penguasa) dan ulama bersatu. Muhammad bin Husein Al-Habsyi (2013) pernah menyatakan ulama dan umara ini ibarat imam dan muazin dalam salat. Ketika sang muazin menyeru azan Zuhur pukul 11.00, sedang imam akan salat pukul 12.00, bingunglah jemaah (rakyat).
Sinergi keduanya mutlak diperlukan agar jemaah tidak bingung. Jadi sah-sah saja, ketika mereka berkumpul dalam sebuah majelis. Yang dilarang dari hubungan keduanya yakni ketika ulama mendukung seorang penguasa yang lalim karena hal itu akan menjauhkannya dari rakyat.
Pada akhirnya, semestinya kita tidak perlu memandang ulama dari bentuk lahirnya, termasuk memandang segala kekayaan yang dia miliki. Hal tersebut bukan patokan utama kriteria seorang ulama. Bibit Suprapto dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara (2009) menjelaskan beberapa kriteria penting ulama.
Kriteria tersebut di antaranya, pertama, seorang ulama tentu harus alim, yakni memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu-ilmu keislaman, bahkan semestinya dia juga memiliki spesialisasi disiplin ilmu. Kedua, abid, yakni ahli ibadah atau mengamalkan ilmunya. Ketiga, muttaqin, yakni senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Keempat, ikhlas dan zuhud. Perjuangannya harus hanya karena Allah, bukan karena kepentingan duniawi. Namun, tidak berarti dia apriori terhadap dunia, karena semua itu merupakan sarana menuju Allah. Juga tak ada larangan ulama kaya raya. Apabila boleh kita berandai-andai, alangkah enaknya bila di lingkungan kita, ada seorang ulama yang alim nan kaya.
Dia menyediakan pondok pesantren yang gratis untuk santri-santrinya, bahkan dia menanggung semua kebutuhan santri-santrinya tersebut.  Dengan demikian semua orang, bahkan yang tidak mampu sekali pun, dapat menikmati pendidikan agama darinya dengan hati yang tenang.

*Pengajar di SD Ta'mirul Islam Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar