Hari 3
Rute: Kragan - Lasem - Rembang - Blora - Purwodadi (Grobogan) - Gemolong - Gondangrejo (Kr. Anyar) - Solo - Sukoharjo
Pukul
09.16, Waktunya pulang. Dari Rembang biasanya aku menempuh rute
Rembang-Pati-Grobogan, tapi kali ini aku ingin mencoba jalur lain,
Rembang-Blora-Grobogan. Menurutku, hampir tak banyak perbedaan dari
kedua rute ini, di sepanjang jalan dipenuhi alas jati, sawah dan jalan yang rusak.
Motor
terus melaju kencang, mesin motor mulai panas, sama seperti cuaca di
sepanjang daerah yang kulewati. Terpaksa beberapa kali beristirahat,
sekedar untuk mendinginkan mesin motor dan mesin tubuh.
Pukul
14.00 baru sampai di Solo, istirahat sebentar, lalu pulang ke
Sukoharjo, sampai lagi Kalimangir tepat pukul 15.30. Alhamdulillah...
***
Acara ngukur dalan
selesai, entah berapa ratus kilometer perjalanan yang kutempuh. Kini,
kembali lagi dengan segala rutinitas, yang sudah 3 hari kutinggalkan.
Badan remuk redam, tapi tak ada yang meredam (mijeti), maklum bujangan hehe
Kaplingan, 23/6/2011
Kamis, 23 Juni 2011
Rabu, 22 Juni 2011
'Ngukur Dalan' (Catatan Kesunyian: 6)
Hari 2
Rute: Pare - Jombang - Babat (Lamongan) - Tuban - Kragan (Rembang)
Pukul
06.15, Menembus jalanan Pare-Jombang yang sebagian masih diliputi
kabut pagi. Kali ini perjalananku tidak sendiri (ditemani Kasih :) ),
kami melewati desa-desa di daerah selatan Jombang, hingga sampai di
sebuah tempat, Tebuireng. Kami pun berhenti.
Tebuireng,
dari namanya bisa ditebak kalau daerah ini merupakan daerah penghasil
tebu. Disamping itu daerah ini merupakan 'penghasil' ulama-ulama
besar yang masyhur dan tersebar di seluruh Nusantara.
Ya,
dari Pondok Pesantren Tebuireng inilah kita mengenal nama
Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy'ari (atau sebaliknya? dari beliau kita
mengenal Tebuireng?), pendiri Nahdhatul Ulama dan Pahlawan Indonesia.
Saat berkunjung ke Ponpes Tebuireng, aku berkesempatan untuk berziarah
ke makam beliau.
Di
dekat makam beliau, juga terdapat makam putra beliau, KH. Wahid
Hasyim dan cucu beliau KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah
menjabat sebagai Presiden RI. Juga dalam kompleks pemakaman yang tidak
luas tersebut, juga terdapat makam keluarga beliau dan beberapa tokoh
Ponpes Tebuireng.
![]() |
di kompleks pemakaman Ponpes Tebuireng |
Usai
memanjatkan doa, sembari bertawasul kepada beliau para kekasih Allah,
perjalanan kulanjutkan menuju ke Tuban, dan sempat singgah sebentar
di Alun-alun Jombang .
Pukul 11.00, sampai di Tuban. Istirahat sebentar di tepi Pantai Panyuran, sambil menikmati segarnya minuman legen dan buah Siwalan. Lanjut ke Alun-alun Tuban, istirahat dan solat di Masjid Agung Tuban.
![]() |
Iringan acara khitan |
Tak
jauh dari masjid, ada makam Sunan Bonang. Mumpung ada di sini, maka
aku sempatkan untuk berziarah. Kebetulan di sekitar kompleks
pemakaman, ada peristiwa menarik; ada perayaan khitan. Anak kecil yang
aku taksir usianya masih 7 tahun naik di atas kuda diarak oleh
rombongan hadrah dan beberapa anak kecil yang hendak memperebutkan
hadiah yang digantung di atas tongkat.
Konon, goa ini dulunya merupakan bekas tempat pembuangan sampah (parit) di zaman kerajaan/kolonial dulu ya? saya juga lupa hehe. Setelah ditemukan kemudian dibentuklah seperti sekarang ini, dan dijadikan sebagai obyek wisata andalan Tuban.
Menjelang maghrib, perjalanan kulanjutkan (kembali sendiri) menuju Kragan (Rembang). Menyusuri pantai utara Tuban-Rembang, menikmati pemandangan matahari yang perlahan tenggelam di garis horizon Laut Jawa.
Terang berganti gelap, namun alhamdulillah akhirnya bisa sampai di Kragan.
***
(Bersambung ke Finish! (Catatan Kesunyian: 7)
Keluar Dari Kesunyian (Catatan Kesunyian: 5)
Ketika kita bosan dalam kesepian, kadang kita bisa menjadi gila karenanya.
Bagi saya, agar dapat terhindar dari efek kegilaan tersebut, saya mengobatinya dengan menciptakan 'kegilaan' yang lain, 'kegilaan' yang positif tentunya.
Ngukur dalan sebagian daerah Jawa Tengah-Jawa Timur dengan tujuan wisata rohani dan jasmani ini mungkin bisa anda tiru, kalau mau? hehe :)
Saya ceritakan sebagian dari 'kegilaan' tersebut:
Hari 1 (19/6/2011)
Rute: Sukoharjo - Kr.Anyar - Sragen - Ngawi - Madiun - Nganjuk - Pare (Kediri)
Pukul 13.30 WIB, Berangkat dari Kalimangir, sebuah dukuh yang terletak di sebelah selatan Sukoharjo. Jalanannya yang rusak, membuat laju motor yang kukendarai (sendirian) mesti dipelankan.
Perlahan namun pasti, motor bergerak menuju ke arah utara. Agar lebih cepat aku tidak lewat Solo, tetapi mengambil jalan ke arah Bekonang lalu sampai di Palur (termasuk jalur utama Solo-Surabaya).
Motor melaju kencang, melewati Sragen, lalu istirahat sebentar di Ngawi. Lanjut lagi melewati Caruban (Madiun), dan berhenti lagi untuk solat asar di Alun-Alun Nganjuk (kayak judul lagu?).
Lanjut kemudian sampai di Kertosono (masih masuk Nganjuk), melewati jembatan yang membelah sungai Brantas, dan akhirnya tepat adzan maghrib saya sampai dengan selamat di Pare (Kediri).
Pare atau Mojokuto, tempat observasi Clifford Gertz ketika membuat karya monumentalnya The Religion of Java. Tapi sekarang jarang orang yang tahu tentang hal tersebut, lebih sering orang mengenal Pare dengan Kampung Inggris; Dan saya kemudian singgah sebentar ke tempat tersebut :)
Kampung Inggris, konon katanya orang di kampung ini berbahasa Inggris semua, hingga para pedagang dan tukang becak bahkan memakai Bahasa Inggris. Ah, apa benar???
Saya coba mampir ke salah satu penjual, dan disapa, "Bade ngersakke nopo mas?" Dan buyarlah semua gambaran awalku tentang Kampung Inggris...
(Bersambung ke 'Ngukur Dalan' (Catatan Kesunyian: 6)
Bagi saya, agar dapat terhindar dari efek kegilaan tersebut, saya mengobatinya dengan menciptakan 'kegilaan' yang lain, 'kegilaan' yang positif tentunya.
Ngukur dalan sebagian daerah Jawa Tengah-Jawa Timur dengan tujuan wisata rohani dan jasmani ini mungkin bisa anda tiru, kalau mau? hehe :)
Saya ceritakan sebagian dari 'kegilaan' tersebut:

Neng aloon-aloon Jombang
Rute: Sukoharjo - Kr.Anyar - Sragen - Ngawi - Madiun - Nganjuk - Pare (Kediri)
Pukul 13.30 WIB, Berangkat dari Kalimangir, sebuah dukuh yang terletak di sebelah selatan Sukoharjo. Jalanannya yang rusak, membuat laju motor yang kukendarai (sendirian) mesti dipelankan.
Perlahan namun pasti, motor bergerak menuju ke arah utara. Agar lebih cepat aku tidak lewat Solo, tetapi mengambil jalan ke arah Bekonang lalu sampai di Palur (termasuk jalur utama Solo-Surabaya).
Motor melaju kencang, melewati Sragen, lalu istirahat sebentar di Ngawi. Lanjut lagi melewati Caruban (Madiun), dan berhenti lagi untuk solat asar di Alun-Alun Nganjuk (kayak judul lagu?).
Lanjut kemudian sampai di Kertosono (masih masuk Nganjuk), melewati jembatan yang membelah sungai Brantas, dan akhirnya tepat adzan maghrib saya sampai dengan selamat di Pare (Kediri).
Pare atau Mojokuto, tempat observasi Clifford Gertz ketika membuat karya monumentalnya The Religion of Java. Tapi sekarang jarang orang yang tahu tentang hal tersebut, lebih sering orang mengenal Pare dengan Kampung Inggris; Dan saya kemudian singgah sebentar ke tempat tersebut :)
Kampung Inggris, konon katanya orang di kampung ini berbahasa Inggris semua, hingga para pedagang dan tukang becak bahkan memakai Bahasa Inggris. Ah, apa benar???
Saya coba mampir ke salah satu penjual, dan disapa, "Bade ngersakke nopo mas?" Dan buyarlah semua gambaran awalku tentang Kampung Inggris...
(Bersambung ke 'Ngukur Dalan' (Catatan Kesunyian: 6)
Sabtu, 11 Juni 2011
Sambatan (Catatan Kesunyian: 4)
Sambatan. Bagi sebagian besar masyarakat Jawa (khususnya yang masih di lingkup pedesaan) pasti tak asing dengan istilah ini. Sambatan ini merupakan sebuah aktivitas sosial warga dalam bentuk membangun rumah secara bergotong royong.
Jadi, bila ada salah seorang warga yang akan membangun rumah. Maka, tetangga di sekitarnya atau malah (mungkin) satu kampung/RT, juga akan turut membantu dalam proses pembangunan rumah. "Gotong Royong dan Tanpa Paksaan!", itu semboyannya.
***
Kebetulan, kemarin ada seorang tetanggaku yang sedang membangun rumah. Karena bersifat sukarela, maka tetangga yang membantu juga tidak terlalu banyak. Warga yang lain kebanyakan sedang sibuk dengan pekerjaan/rutinitas masing-masing, entah ke sawah, ke kebun dan lain sebagainya.
***
Tradisi sambatan ini di beberapa masyarakat (bahkan di pedesaan) sudah mulai ditinggalkan. Apalagi di daerah perkotaan, yang karakter masyarakatnya cenderung individualistik. Biasanya mereka lebih suka menyewa buruh (harian atau borongan) untuk membangun rumahnya.
Jadi, bila ada salah seorang warga yang akan membangun rumah. Maka, tetangga di sekitarnya atau malah (mungkin) satu kampung/RT, juga akan turut membantu dalam proses pembangunan rumah. "Gotong Royong dan Tanpa Paksaan!", itu semboyannya.
***
Kebetulan, kemarin ada seorang tetanggaku yang sedang membangun rumah. Karena bersifat sukarela, maka tetangga yang membantu juga tidak terlalu banyak. Warga yang lain kebanyakan sedang sibuk dengan pekerjaan/rutinitas masing-masing, entah ke sawah, ke kebun dan lain sebagainya.
***
Tradisi sambatan ini di beberapa masyarakat (bahkan di pedesaan) sudah mulai ditinggalkan. Apalagi di daerah perkotaan, yang karakter masyarakatnya cenderung individualistik. Biasanya mereka lebih suka menyewa buruh (harian atau borongan) untuk membangun rumahnya.
Langganan:
Postingan (Atom)