Senin, 20 April 2009

Berpikir Magis (nonkritis), Mengenai Peristiwa Musibah.

Kadang kita seringkali lupa akan jati diri kita. Ya, manusia adalah ‘makhluk’. Ia seorang hamba, namun, di sisi lain ia juga diberi ‘pangkat’ sebagai ‘khalifah’ di bumi. Sebagai makhluk, manusia memiliki sifat sebagai dzat yang tercipta dan juga memiliki tujuan mengapa ia diciptakan.
Salah satu sifat makhluk adalah ia bisa rusak, mati, dari ada menjadi tidak ada, dan sebagainya dengan kata lain ia tidak memiliki sifat abadi. Banyak bukti yang bisa memperlihatkan kepada kita, tentang sifat rusak itu. Manusia dibatasi oleh usia, bahkan dalam kerusakan itu juga tidak pernah mengenal usia, ibarat pohon yang tidak pernah disiram atau dia ditebang pada saat ‘belum usianya’, manusia pun sama ‘nasib’nya dengan pohon tadi, sewaktu-waktu dan kapanpun akan mengalami suatu keadaan yang bernama kematian.
Waktu kematian yang tidak bisa kita prediksi kapan, begitu juga dengan pertanyaan bagaimana, sedang apa, dengan cara apa kita mati, itu semua tetap menjadi misteri bagi kita. Wallahua’lam.
Lalu muncul pertanyaan, setelah kita sadar dan yakin bahwa kelak kita semua akan mati, lalu kenapa kita mesti repot-repot mempeributkan masalah musibah, bencana, penyakit yang semuanya itu mungkin saja berujung pada kematian kita?.
Kematian adalah sesuatu yang pasti, namun dasar manusia (termasuk penulis) yang mempunyai banyak ‘keinginan’. Salah satunya adalah keinginan untuk terus bertahan hidup. Muncul pertanyaan lagi, apakah bertahan hidup itu juga merupakan bentuk usaha seperti yang telah diperintahkan-Nya?. Perintah agar kita untuk ‘menciptakan’ takdir kita sendiri.
Namun usaha kita untuk ‘menciptakan’ takdir membuat kita seakan ‘bertentangan’ dengan kepastian takdir bahwa kita akan mengalami kematian. Sekuat apapun kita berusaha, namun tak ada yang sanggup melawan ketika maut hendak menjemput.
Jadi mengapa masih banyak yang mempersoalkan mengapa terjadi banyak musibah, banyak kematian, jika itu sebenarnya hal yang tidak bisa kita lawan. Melawan atau pasrah pada takdir yang telah ditetapkanNya kepada kita, sesungguhnya bermuara pada hal yang sama yaitu kepastian takdir itu sendiri. Fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar