Jumat, 15 Mei 2009

Mewujudkan Demokrasi dalam Bingkai Pergerakan Mahasiswa

Demokrasi, sebuah kata yang menunjuk pada keperkasaan rakyat, karena memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan negara berdasarkan kedaulatan yang dimilikinya, telah puluhan tahun kehilangan makna di Indonesia. selama orde baru demokrasi tidak hanya mengalami reduksi makna, melainkan telah jungkir balik dari arti yang sebenarnya dan malah dipakai untuk menghalalkan praktik-praktik politik yang represif dan menindas rakyat.

Menyelenggarakan sistem yang demokratis tidak mudah, dan bahkan tidak semua negara yang mengalami masa transisi berhasil mencapai konsolidasi demokrasi. membangun demokrasi tidak sekedar hanya mengandalkan aturan formal saja. Alam demokrasi memerlukan masyarakat yang mampu menerapkan nilai-nilai demokratis seperti toleransi, kesetaraan, membangun konsesus, mengelola konflik, dan lain sebagainya.

Setelah lebih dari satu dekade menjalani satu masa liberalisasi politik, perjalanan demokratisasi di Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang ideal. Reformasi yang bergulir sejak 1998 ternyata tidak serta merta mendorong terjadinya transformasi demokrasi di Indonesia. Beberapa prasyarat transformasi demokrasi belum terpenuhi dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Di antara beberapa prasyarat demokrasi itu adalah terwujudnya kebebasan, kesetaraan dan perlindungan terhadap hak hak manusia.

Dalam kenyataannya, pelbagai kasus yang menghambat kehidupan ke arah yang lebih demokratis kerapkali terjadi. Berbagai pelanggaran HAM, misalnya, penggusuran yang semena-mena, dan pengusiran, begitu telanjang dan intens. Pascareformasi kita memang mencatat ada beberapa pencapaian yang cukup signifikan. Di antaranya adalah terwujudnya kebebasan pers, terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pencabutan dwifungsi ABRI, sistem multipartai, pilkada, dll. Namun, semua itu masih berkutat pada dimensi yang prosedural dan seremonial belaka. Sementara pada dimensi yang lebih substansial, seperti kedaulatan rakyat, kesetaraan, toleransi, dan keadilan, masih jauh dari yang dicita-citakan.

Alih-alih menghasilkan demokrasi seperti yang diangankan selama ini, wacana dan praksis demokrasi di Indonesia cenderung berkembangdengan suatu sistem yang ciri, pola, logika dan dinamika mendasarrnya dibentuk dan dijalankan oleh politik uang dan kekerasan. Tak ayal, jika kemudian kita melihat munculnya gejala tirani minoritas dimana panggung politik kita didominasi segelintir elite, baik pada tingkatan pusat maupun daerah. Inilah yang menjelaskan mengapa praktik desentralisasi atau otonomi daerah yang seharusnya menciptakan demokratisasi di Indonesia dalam konteks situasi sekarang menjadi desentralisasi kekuasaan kepada sekelompok elite lokal yang juga cenderung korup (Hadiz, 2003). Tirani modal yang kian menggurita juga membuat demokratisasi di Indonesia mengalami distorsi.

Berbagai cacat-cacat yang menghambat terwujudnya praksis demokratisasi di Indonesia tersebut, membawa kita pada persoalan, apakah proses transformasi demokrasi sebagai agenda reformasi benar-benar mengalami kebuntuan.

Posisi dan Peran Mahasiswa dalam Proses Demokrasi di Indonesia Kini

Dalam sejarahnya, mahasiswa melalui pergerakannya telah meneguhkan dirinya sebagai bagian yang tidak pernah terpisah dari perkembangan mutakhir ruang dan waktu dimanapun dan kapanpun ia berada (khususnya dalam proses demokrasi). Mahasiswa selalu mencoba menjadi simbol sebagai bagian tidak terpisahkan dari seluruh upaya penciptaan sistem pemerintahan dan politik yang demokratis seperti yang selama ini dicita-citakan oleh para founding fathers negeri.

Namun, itu semua hanyalah sebagian kecil dari wajah mahasiswa yang realitasnya kini patut kita pertanyakan apa masih tetap berlangsung. apakah mahasiswa masih ajeg dengan idealisme dan kritismenya seperti yang ternaung dalam dokumen-dokumen sejarah perjuangannya? Apakah mereka masih memiliki kemampuan menghadapi gelombang sejarah baru yan gsama sekali berbeda dengan situasi sebelumnya?

Disadari atau tidak, semua fenomena itu sekarang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara berfikir, sikap hidup dan perilaku sosial sehari-hari yang dianut oleh para elit politik dan mulai merambah pada masyarakat kebanyakan. Inilah produk dari sistem sosial, politik, dan ekonomi di masa lalu yang tak bisa dielakkan. Maksud luhur untuk membangun tata kehidupan keindonesiaan yang baru, terhenti pada utopia, bila cara berfikir bangsa sudah rusak.

Dari sinilah salah satu letak kesulitan utama bagi gerakan mahasiswa dalam proses mewujudkan demokrasi di Indonesia. idealisme juga mesti diselamatkan dalam bingkai demokrasi dan perjuangan atas nama kepentingan rakyat.

Menurut J. Benda, ia mengungkapkan bahwa posisi mahasiswa dalam proses demokrasi adalah peran idealism yang tak kenal lelah menjunjung tinggi nilai-nilai seperti: kebenaran (la verite), keadilan (la justice) dan pencerahan (la rasion). Karena itu, mudah dipahami bahwa peran-peran idealisme mahasiswa itu akan tetap diakui, sepanjang mereka masih lantang menyuarakan cita-cita ideal bagi tatanan sosial. Dalam konteks ini, idealism dimakanai sebagai proses jangka panjang mahasiswa dalam meretas dirinya secara kontinyu tanpa ada kepentingan yang sempit dan temporal. Apabila mahasiswa sudah tidak lagi mementingkan tertanamnya nilai-nilai ilmu pengetahuan, dan justru mengutamakan kepentingan pribadi maupun praksis lainnya, maka hal itu adalah bentuk pengkhianatan intelektual (la trahison des cleres).

Ke depan, diharapkan peranan mahasiswa dalam proses demokrasi, mampu tampil sebagai organ bangsa yang memiliki kredibilitas dan kualitas mahasiswa yang bisa dibanggakan. Yaitu mahasiswa yang mampu memberikan kontribusi nyata kepada bangsa untuk mewujudkan demokratisasi yang sesungguhnya. Mahasiswa yang memiliki sifat dinamis, kreatif, responsive dan peka terhadap problema-problema kemasyarakatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar