Jumat, 26 November 2010

PKL Ronggowarsito Batal Direlokasi



"Perjuangan kami ternyata tidak sia-sia, sedikit membuahkan hasil...". ok lanjutkan!!!
Harian Joglosemar-
TIMURAN—Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di Jalan Ronggowarsito batal direlokasi. Keputusan tersebut diungkapkan Kepala Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) Kota Solo, Subagiyo setelah melakukan rapat koordinasi dengan perwakilan Paguyuban PKL Ronggowarsito, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) serta Dinas Perhubungan pada hari Rabu (24/11) di Kantor DPP lalu.
Subagiyo mengungkapkan, bila trotoar, taman, atau pun jalur hijau tidak diperuntukkan untuk berdagang. Tetapi, lanjut dia, para pedagang mengajukan konsep untuk mengelompokkan tempat dagangan yang jauh ramah lingkungan.
“Beberapa pedagang yang mewakili paguyuban memiliki usul konsep, untuk penataan PKL sehingga mereka masih dapat diberi kesempatan untuk berjualan di sana,” ungkap Subagiyo kepada Joglosemar, Kamis (25/11).
Pedagang Kuliner
Nantinya para pedagang mengusulkan untuk ditempatkan di pinggiran tembok Taman Putra yang tidak mengganggu akses jalan Ronggowarsito dan juga akses keluar masuknya kendaraan di Taman Putra.
Sehingga PKL ditempatkan di sisi utara Jalan Ronggowarsito. Selain itu, pada pertemuan tersebut, pedagang meminta supaya Pemerintah Kota dapat membuatkan shelter yang telah dikonsepkan.
“Kita menunggu konsep dari para pedagang terlebih dahulu, setelah konsep kita terima baru usulan konsep tersebut kita ajukan kepada Walikota. Dan yang terpenting proyek tamanisasi dari DKP tetap berjalan,” sambung Subagiyo.
Dia menambahkan, shelter pedagang hanya diperuntukkan bagi pedagang kuliner dan kelontong. Sehingga bagi pedagang nonkuliner maupun nonkelontong, seperti pedagang pakaian, bengkel, servis, mebel harus dipangkas ataupun dipindahkan.
Sementara itu, Ketua Paguyuban PKL Ronggowarsito, Suyadi mengungkapkan, senang dengan keputusan Pemkot yang tidak jadi menggusur para PKL yang ada di Jalan Ronggowarsito.
“Kita telah mengukur lahan yang akan digunakan untuk tempat menampung para pedagang yakni sepanjang 75 meter. Nantinya lahan tersebut dapat menampung sekitar 30 pedagang yang masuk ke dalam paguyuban,” terang Suyadi. (har)

*foto: sumber SUARAMERDEKA

Beribu Jalan ke Makkah-Bukan Kisah TKW Loh Yo (Part 2)

"batik-batik....batiknya pak, bu...” teriak para pedagang saat ada calon pembeli yang lewat.

Lalu-lalang para kuli membawa masuk barang dari luar Pasar. Suasana di luar pun tak kalah ramai, jalan yang searah ke barat dipadati mobil, motor, becak, dan para pejalan kaki yang saling ingin mendahului satu sama-lain. Di pangkalan becak, Pak Andi bersama teman-temannya, menunggu datangnya penumpang, ada pula sebagian dari mereka yang masih tertidur pulas di becaknya.

Khusus setiap hari jumat, Pak Andi biasanya hanya menarik sampai jam 11, kemudian dilanjut lagi setelah Jum’atan.

”Becak, pak?” tanyanya kepada seorang bapak yang sedang lewat di depannya.

”Oh, iya,” tanpa banyak bicara, bapak yang berpakaian santai ini naik ke atas becak.

Anu, saya mau jalan-jalan saja pak, nanti tolong saya diantarkan saja ke tempat-tempat bersejarah, di kota ini” lanjutnya

Pak Andi langsung bergegas menarik becaknya, tempat yang pertama dituju daerah Sriwedari, sebentar mampir ke Museum Radya Pustaka. Setelah puas, kembali lagi menuju ke Kraton Solo. Selesai di sana, Pak Joko, mengajak lagi ke Mangkunegaran.

”Sekarang sampun jam 11 lebih pak, saya mesti pulang” kata pak Andi

”loh, kan belum selesai muter-muter-nya?”

Anu pak, kalau hari jum’at saya biasanya narik sampai jam 11 saja, mau siap-siap jum’atan, tapi kalau bapak mau nanti setelah jum’atan saya antar lagi, pripun?”

”Ya sudahlah, nanti saya bisa naik taxi saja, ongkosnya berapa pak?”

Mpun mboten usah, gratis mawon”

”Loh, kok gratis itu maksudnya bagaimana? wong, bapak sudah mengantarkan saya jalan-jalan sampai sejauh itu kok?”

”Sudahlah pak, khusus hari jum’at saya memang biasa menggratiskan becak saya, tanpa terkecuali”

”Jadi bagaimana saya mesti membayar?”, “andaikata saya membayar lebih pun saya mampu kok pak? Tegas pak Joko

Di tengah perdebatan itu, terdengar adzan berkumandang.

Nggih mpun, kita lanjutkan nanti. Sekarang kita shalat jum’at dulu”

Keduanya kemudian menuju masjid terdekat. Pak Joko masih belum habis pikir, kenapa Pak Andi tetap menolak untuk diberi upah narik becaknya. Sementara Pak Andi, santai saja mendengarkan khutbah. Selesai shalat, keduanya bertemu lagi.

”Kalau bapak tetap menolak untuk dibayar, ya sudah. Tapi saya juga punya permintaan untuk bapak, sekiranya saya bisa membantu kira-kira keinginan bapak yang belum terwujud selama ini apa?”, ”siapa tahu saya bisa membantu,” ujar Pak Joko

””itu juga sebagai balasan dari saya atas kebaikan bapak hari ini. Terus terang hati saya terketuk, melihat bapak yang, mohon maaf, tukang becak saja bisa bebuat amal untuk orang lain. Nah, saya juga ingin seperti bapak, memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk orang lain” lanjutnya.

”Kalau itu, saya sejak dulu ingin sekali menunaikan kewajiban saya sebagai seorang muslim, yakni berangkat haji, tapi bapak tahu sendiri, saya ini hanya seorang tukang becak, yang penghasilannya untuk makan sehari-hari saja terkadang masih kurang,”.

”Baik, kalau itu yang menjadi keinginan bapak, tahun depan bapak mesti segera menyiapkan diri untuk mendaftar haji, masalah biaya, saya yang menanggung,”.

Pucuk dicita ulampun tiba. Masih dalam keadaan setengah tak percaya, Pak Andi bertanya lagi,

”Betul, pak”

”Iya” jawab Pak Joko

”Alhamdulillah...” tersungkur lemas badannya, sujud syukur atas apa yang dilimpahkan untuknya. Pertolongan dari Tuhan, bagi hamba-Nya yang ikhlas dalam niat dan perbuatan.



Sodipan, 2010

Beribu Jalan ke Makkah-Bukan Kisah TKW Loh Yo (Part1)

Hari sudah semakin sore, namun uang yang dikantonginya baru Rp. 14.000. Pak Andi yang sudah menarik becak sedari pagi, memutuskan untuk segera pulang.

”lumayan, cukup untuk jatah makan malam,” ucapnya lirih, sembari mengayuh becaknya melewati perempatan jalan.

Baru beberapa meter ia berjalan, berseru kumandang adzan maghrib dari masjid Agung, tapi tetap tak menyurutkan laju becaknya untuk pulang ke rumah.

Dari dalam rumah, terdengar suara kedua anaknya, Tini dan Ahmad, sedang mengaji bersama Tuminah, istrinya. Sambil menidurkan Dani, anaknya yang masih bayi, Tuminah mengajari anaknya membaca huruf hijaiyah.

”alif fathah a, alif kasroh u,” Tini membacanya dengan keras

”Coba ulangi lagi ndhuk, alif kasroh?” tanya Tuminah mencoba membetulkan bacaan anaknya.

”U, eh I” jawab Tini, sambil menudingkan seutas lidi ke arah tulisan yang sedang dibacanya.

Pak Andi masuk mengucapkan salam, dan langsung bergegas ke belakang. Istri dan anak-anaknya biasa berkumpul bersama setiap waktu setelah senja. Tak ada hiburan televisi atau radio di rumahnya. Istrinya meskipun tak pernah tamat SMP, tapi pernah nyantri lima tahun di salah satu pondok pesantren di daerah Jawa Timur. Makanya, ia sendiri yang mengajari anaknya belajar mengaji, ditambah dengan kondisi ketidakmampuan untuk memasukkan anaknya ke TPA.

”Ini Rp. 14.000 bu, yang Rp. 12.000 silahkan kamu pakai untuk kebutuhan besok, sisanya Rp. 2000, seperti biasa, disimpan untuk tabungan haji kita” Kata Pak Andi

Nggih, pak”

Sejak tahun ketiga menikah, Pak Andi memiliki sebuah tekad yang kuat untuk bisa berangkat haji. Niatan yang sungguh tak masuk akal bagi orang awam, melihat pekerjaan Pak Andi yang hanya seorang tukang becak, dan istrinya, buruh cuci pakaian. Namun tidak bagi keduanya, mereka meyakini bahwa segala sesuatu apalagi yang menyangkut kewajiban, harus dilaksanakan, dan tidak hanya sebatas angan-angan ataupun niat belaka, tapi harus ditunjukkan dengan tindakan yang nyata, ya mengumpulkan uang Rp.2000 per harinya.

Penting niate sing ikhlas bu,” pesannya sebelum keduanya tertidur.

***

Senin, 15 November 2010

Lapak Pedagang Jalan Ronggowarsito Dipangkas

BANJARSARI (Harian Joglosemar)—Sekitar 7 Pedagang Kaki Lima (PKL) Jalan Ronggowarsito memangkas separuh lapak mereka. Hal itu dilakukan setelah mereka mendapatkan peringatan sebanyak lima kali.
Mereka diperingatkan untuk memindahkan lapak mereka dari atas selokan yang seharusnya dibuka. “Tidak ada jalan lain, terpaksa lapak dipotong menjadi setengahnya,” kata salah seorang PKL, Mulyono kepada Joglosemar Minggu (14/11).
Dikatakan, sebelumnya mereka memiliki lapak yang cukup luas untuk berjualan sekitar 4 x 2 meter. Namun karena diperingatkan untuk mengosongkan lahan di atas selokan, terpaksa mereka memangkas lapak yang berada di atas selokan. Sehingga lapak mereka kini hanya tinggal, 2 x 2 meter.
“Yang separuhnya sebelumnya di atas selokan. Jadi harus dibongkar. Kata petugas selokan akan kembali difungsikan, jadi kami harus pindah,” ungkap dia.
Dia menjelaskan, sebenarnya luasan itu sangat sempit untuk berjualan. Namun mereka tidak memiliki pilihan lain. Supaya masih diperbolehkan berjualan di kawasan itu, terpaksa mereka memangkas lapak mereka. “Kami ini hanya numpang berjualan, mau tidak mau yang harus mengikuti peraturannya,” terang dia.
Hal senada juga diungkapkan oleh PKL lainnya, Ny Rujak. Menurutnya, kalau mau pindah dia tidak memiliki alternatif tempat lain untuk berjualan. “Daripada pindah, mendingan lapak dikecilkan. Kalau mau pindah ya ke mana?” ungkap dia.
Ia menuturkan, Pemkot Solo sudah memasang patok batas dimana PKL boleh mendirikan lapaknya. Sehingga lapak yang menjorok dari tanda batas yang ditentukan harus segera dibongkar atau dimundurkan.
“Petugas sebenarnya sudah lama memasang patok, pendirian lapak tidak boleh melebihi dari batas yang sudah ditentukan itu,” ujar dia.
Padahal, ia menambahkan, jika dimundurkan, di belakang lapak semipermanen itu, sudah masuk ke lahan pekarangan milik orang lain. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali harus memotong lapak. “Kalau lapak dimundurkan, akan mengenai pekarangan orang, ya terpaksa dipotong,” terang dia. (sul)

Minggu, 14 November 2010

Membangun Jiwa, bukan sekedar membangun Keindahan


Angkringan, Wedhangan, HIK atau apalah namanya tidak hanya menjadi sekedar tempat kuliner untuk mengenyangkan perut, lebih dari itu tempat-tempat ini memiliki makna tersendiri ibagi para pembelinya yang mayoritas dari kalangan menengah ke bawah.

Berbagai macam individu yang berkumpul duduk di bangku panjang mengelilingi sebuah gerobak yang berisikan aneka 'jajanan pasar', hadir dengan berbagai kepentingan. Dari yang sekedar duduk untuk nongkrong karena tak ada pekerjaan, atau memang berniat cari menu makan yang 'murah tapi kenyang', ada pula yang datang ke sana hanya untuk mencari teman diskusi/memang menjadi ruang diskusi, mulai seputar topik sehari-hari sampai kritik kebijakan ekonomi-politik, bahkan setting aksi demonstrasi pun sering dilakukan di sini.

Bagi beberapa pembeli, tempat-tempat ini juga menjadi semacam ruang katarsis (penyucian diri yg membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan). Mereka mengaku menemukan pelepasan 'rasa sumpek', setelah menjalani penatnya aktivitas keseharian, di tempat ini. Ada pula cerita seorang bapak yang sengaja datang ke sebuah angkringan joss yang terkenal kopinya, namun ternyata bukan karena kopi di tempat tersebut rasanya lebih nikmat dari buatan istrinya, melainkan karena memang di situlah ia bisa menemukan kawan-kawan 'diskusi', 'bermain', dsb.

Jadi, sangat disayangkan kalau kemudian pemerintah kota/kab, dengan kebijakannya kemudian menggusur ruang-ruang ini, hanya karena tolak ukur hitungan rupiah, dan menggantinya dengan pembangunan mal, gedung, taman, dsb. Karena dampaknya tidak hanya sekedar rupiah yang hilang, tapi juga ruang katarsis, ruang rakyat yang ada juga akan ikut lenyap. Alangkah baiknya jika antara keduanya bisa disandingkan, kebutuhan pembangunan atau kebijakan memperindah kota akan lebih terasa indah, kalau mereka juga bisa turut merasakan pembangunan dan keindahan tersebut. (dirangkum dari sebuah diskusi singkat di sebuah angkringan).

http://mysukmana.wordpress.com/2008/06/20/sejarah-angkringan-jogja-hiksolo/

Jumat, 12 November 2010

PKL Jl Ronggowarsito Demo Ke Dewan


Kurang lebih 50 orang PKL Jl Ronggowarsito datang ke Gedung DPRD Solo, Jumat (12/11) dan diterima oleh Ketua DPRD, YF Sukasno. Kedatangan mereka bertujuan untuk mempertanyakan 'kejelasan nasib' mereka, setelah menemui jalan buntu dengan pihak Pemkot, yakni tidak ada kesepakatan yang pasti apakah jadi direlokasi atau tidak.

Ketua Paguyuban PKL Ronggowarsito, Suyadi, mengatakan secara tegas bahwa mereka menolak untuk direlokasi, tetapi mau ditata. Ia juga menyampaikan usul dari sejumlah pedagang kepada Ketua DPRD, tentang pembuatan shelter di beberapa titik Jl Ronggowarsito untuk tempat berjualan. Usul tersebut dumaksudkan untuk menengahi kebijakan tamanisasi yang akan dilakukan oleh Pemkot, yang harus dilaksanakan pada akhir Desember nanti, dengan keinginan para PKL sendiri, yakni tetap bertahan berjualan disitu.

Sementara itu, Ketua DPRD, menyambut baik usulan tersebut dan akan segera menindaklanjuti permasalahan tersebut.

Selasa, 09 November 2010

PKL Jl Ronggowarsito Menolak Relokasi

Aksi penolakan Relokasi PKL Jl Ronggowarsito, Solo, rupanya tidak main-main. Mereka menggelar spanduk penolakan di depan tempat mereka berjualan setiap hari. Aksi ini serentak dilakukan oleh para pedagang, setelah audiensi dengan Pemkot, Selasa (9/11) tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan awal antara PKL dan Pemkot, yakni tidak adanya relokasi PKL di Jl Ronggowarsito.

Rencananya, PKL Jl Ronggowarsito, akan mengadukan kasus ini ke anggota dewan agar memperoleh kepastian izin untuk berjualan.



Foto: (dok. pribadi)

Jumat, 05 November 2010

PKL Belakang Kampus UNS Direlokasi


KIOS PKL — Kios pedagang kaki lima yang terletak di Jalan Ki Hajar Dewantara, Jebres, Solo, Rabu (4/11). Rencananya pedagang tersebut akan dipindah di kios PKL belakang Kantor Kecamatan Jebres menyusul selesainya pembangunan tahap II.
(espos)

Selasa, 02 November 2010

Partisipasi warga dalam pengelolaan APBD

Pembahasan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Solo tahun 2010-2015, yang sudah diserahkan ke DPRD, masih menyisakan beberapa masalah.

Beberapa hari menjelang dilaksanakannya pembahasan RPJMD tersebut, muncul pemberitaan tentang rendahnya tingkat penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Solo, yang baru terserap 33 persen dari total APBD 2010 hingga triwulan ketiga (SOLOPOS, 24/10).

Indikasi yang pertama dari penyebab rendahnya penyerapan APBD ini adalah rendahnya kinerja pengelolaan pembangunan dan administrasi keuangan. Bahkan Sekda sendiri mengakui hal ini. Rendahnya serapan kegiatan yang bersumber dari APBD Solo, dikemukakan Sekda, terjadi pada hampir semua pelaksanaan program Pemkot dan kegiatan pembangunan.

Pemkot memang perlu mengambil langkah untuk mendorong percepatan penyerapan APBD agar segera terserap habis. Dalam waktu yang masih tersisa, yakni dua bulan (November-Desember), Pemkot mesti segera melakukan percepatan penyerapan APBD yang harus tepat sasaran, tepat mutu dan tepat guna.

Namun bukan itu saja yang harus kita cermati. Apakah dalam waktu yang cukup singkat tersebut ada jaminan partisipasi masyarakat dapat berjalan optimal dalam pelaksanaan APBD tersebut. Jadi, penyerapan (menghabiskan) APBD itu persoalan yang “mudah”, tetapi bagaimana Pemkot juga tidak melupakan partisipasi masyarakat di dalamnya.

Perlu ditegaskan kembali dalam UU No 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, proses tahapan pembangunan yang dimulai dari penyusunan, penetapan, pengendalian pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan perencanaan yang semestinya tetap menyertakan peran serta partisipasi masyarakat di dalamnya.

Refleksi dari proses Musrenbang yang lalu, idealnya stimulus yang telah diberikan Pemkot melalui dana blockgrant atau Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) yang terus naik, berkorelasi positif terhadap tingginya tingkat partisipasi masyarakat.

Namun kenyataannya, berdasarkan data yang dilansir oleh Lampu (2009), tingginya dana stimulan DPK ternyata belum signifikan untuk membangkitkan kembali partisipasi dan keswadayaan masyarakat. Pun dalam permasalahan penyerapan APBD kali ini, apakah masyarakat juga bisa dilibatkan dalam pengendalian pelaksanaan yang waktunya juga sudah mepet.

Secara teori, perimbangan keuangan yang diberikan Pemkot Solo dalam bentuk DPK, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Jika kenyataannya tidak mampu berdampak pada partisipasi masyarakat maka harus diteliti faktor teknis seperti kapan DPK itu direalisasikan. Karenanya pemerintah perlu membuat terobosan salah satunya adalah transparansi keterbukaan informasi pelayanan dan kebijakan yang memungkinan masyarakat dapat terlibat aktif dalam perbaikan pelayanan publik dan reformasi birokrasi menuju tata kelola pemerintahan yang menghargai hak warga.

Dalam penyelenggaraan pembangunan, masyarakat sewajarnya ikut berperan atau dengan kata lain pemerintah harus bekerja bersama masyarakat. Pada hakikatnya pemerintah bekerja bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk masyarakat. Upaya ini merupakan rangkaian proses untuk menuju penguatan peran masyarakat, bukan sekadar peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan (community driven development).

Dengan kuatnya peran masyarakat, penyelenggaraan pembangunan akan lebih bisa dilakukan secara transparan, akuntabel dan berorientasi pada rakyat atau dengan kata lain bernuansa good governance di segala lapisan.
Permasalahan penyerapan anggaran yang masih rendah di awal tadi, seharusnya bisa dihindari Pemkot manakala pengelolaan keuangan dan administrasinya tertata dengan baik. Pertama, harus ada kesadaran dari tingkat SKPD untuk berusaha tepat waktu.

Kedua, kepala daerah perlu memberikan target kinerja kepada SKPD dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan. Rapor pencapaian itu sebagai pertanggungjawaban kepada kepala daerah dalam memimpin SKPD yang dipercayakan kepadanya.

Ketiga, umumnya SKPD yang mengelola kas daerah masih bersikap pasif terhadap persentase pencapaian penyerapan keuangan. Sebagai dampaknya maka SKPD yang mengelola keuangan ini juga bekerja sesuai dengan kebiasaan.

Kita sering mendapati pernyataan bahwa berkas pencairan sudah masuk kepada keuangan tapi tidak tahu kapan dana itu bisa dicairkan. Artinya “jantung pemerintahan” yang mengurus keuangan yang dibutuhkan oleh semua SKPD pun belum memiliki standar pelayanan yang menjamin SKPD lainnya mampu memberikan pelayanan kepada warga secara lebih baik

(dimuat di Solopos, 2 November 2010)

Senin, 01 November 2010

Peraih Bung Hatta Anticorruption Award 2010: Jokowi Kandangkan Pentungan saat Relokasi PKL

Suaramerdeka- Wali Kota Solo Joko Widodo dan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, belum lama ini mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award (BHAA) 2010. Kegiatan apa saja yang menyebabkan keduanya memperoleh penghargaaan tersebut? Berikut laporannya.

TIDAK mudah memindahkan para pedagang kaki lima (PKL) dari tempat mereka berdagang ke tempat baru. Alasannya, di tempat yang baru tersebut apa bisa mendatangkan keuntungan seperti di tempat lama. Tapi, di tangan Wali Kota Surakarta Joko Widodo, merelokasi PKL tanpa adanya gesekan pun dapat dilakukan.

’’Awalnya memang sulit, tapi kenapa tidak dicoba,’’ kata Joko Widodo kepada Suara Merdeka, akhir pekan lalu.
Ya, formula baru ’’merayu’’ PKL untuk pindah tempat pun diambil oleh pria yang akrab disapa Jokowi ini. Yakni, mengundang para pedagang dalam sebuah jamuan makan. ’’Tidak tanggung-tanggung, saya mengundang ratusan PKL Monjari (Monumen Banjasari-red) itu sampai 54 kali. Ya undangan makan siang, makan malam untuk mereka. Dan, ternyata berhasil,’’ jelasnya.

Menurut dia, masalah mengundang makan para PKL itu pun perlu kesabaran dan ketenangan. ’’Undangan pertama hingga mendekati terakhir ya masih kami minta mereka hanya menikmati jamuan makan saja. Nah, pada undangan makan terakhir baru kami jelaskan kalau mereka (PKL-red) ini mau dipindah. Dan, mereka ternyata tidak menolak. Mungkin peke- wuh,’’ paparnya sembari tersenyum.

Menurut suami dari Iriana Jokowi ini, formula jamuan makan itu lebih dipilihnya daripada harus mengeluarkan tameng dan tongkat pentungan (Satpol PP-red) untuk menghadapi para pedagang luar pasar.
’’Cara ini lebih elegan. Dari sini kami bisa mengetahui kemauan mereka sebenarnya itu apa. Jadi, tempat mereka yang baru itu dibangun sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Bayangkan kalau kami menggunakan Satpol PP’’.
Ya, berkat formula baru inilah Jokowi baru saja menerima penghargaan Bung Hatta Anticoruption Award (BHAA) 2010. Bersama dia, juga terpilih Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto.

Sebenarnya, menurut juri BHAA, pengelolaan PKL bukan salah satu penilaian Jokowi berhak menyandang penghargaan tersebut, dia juga dianggap sukes melakukan reformasi birokrasi. Banyak yang telah dilakukannya. Salah satunya terkait pelayanan pengurusan berbagai izin dan pembuatan KTP secara cepat.

’’Saat ini buat KTP cukup lima menit jadi. Untuk perizinan maksimal selesai enam hari. Jadi, tidak ada yang lama. Kalau dulu memang harus berhari-hari baru izin keluar,’’ jelasnya.
Jokowi mengaku tidak mudah untuk melakukan semua itu. Tapi bermodalkan keyakinan, proyek yang dinamakan One Stop Service itu pun bisa terlaksana.

’’Saya itu tidak pandai komputer, apalagi tentang programer. Tapi bisa terlaksana karena ada niat. Caranya ya panggil orang yang ahli komputer dan programer. Bilang kalau kami minta dibuatkan tentang program ini. Selesai dan sekarang bisa dinikmati hasilnya.’’
Terlepas dari perolehan penghargaan itu, Jokowi menyatakan pihaknya memilih untuk lebih fokus terhadap perbaikan program-program pelayanan publik yang dilaksanakan Pemkot. Sebab, dengan kondisi pencapaian program layanan kepada masyarakat yang baru tercapai 40 persen, Pemkot perlu berupaya keras meningkatkan kualitas layanan.

Bukti Pengakuan

Penghargaan BHAA yang diterima Jokowi mendapatkan tanggapan dari sejumlah kalangan. Ketua DPRD Surakarta, YF Sukasno menyambut gembira penghargaan tersebut. Dia menilai penghargaan itu sebagai bukti pengakuan atas kinerja selama memimpin Solo sejak 2005.
’’Itu penghargaan yang patut disyukuri. Selama ini masyarakat pun bisa menilai bagaimana kinerja beliau sebagai pemimpin. Terbukti pada pemilihan wali kota Solo periode 2010-2015 Jokowi terpilih dengan perolehan suara yang luar biasa, mencapai 90 persen lebih.’’

Dia mengingatkan agar Jokowi bisa mempertahankan komitmennya untuk tetap bersih dan mampu menjadi pemimpin yang baik bagi warga Solo. ’’Dalam mengabdi dan melayani masyarakat, jangan memasang target yang namanya penghargaan ataupun sanjungan. Tentunya harus dilakukan tulus sesuai dengan janji melayani. Dan ini sudah disadari betul oleh Pak Jokowi sejak awal memimpin Solo.’’
Dia juga meminta Wali Kota lebih meningkatkan koordinasi antarsatuan kerja perangkat daerah (SKPD), mengingat hingga menjelang akhir tahun anggaran ini serapan APBD baru 33 persen.

’’Koordinasi antar-SKPD itu diperlukan agar jajaran birokrasi bisa lebih memahami dan akhirnya bisa menerjemahkan keinginan Wali Kota. Sehingga program pembangunan bisa berjalan sesuai harapan dan tepat waktu.’’

Sementara itu, Pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Surakarta Alif Basuki meminta kepada Jokowi agar menjadikan penghargaan itu sebagai sebuah tantangan. ’’Ini secara tidak langsung bisa menjadi tantangan untuk Jokowi sendiri. Bagaimana dirinya mempertahankan predikat antikorupsi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang masih ada,’’ kata Alif, kemarin.
Menurutnya, penghargaan yang diterima Jokowi secara pribadi menunjukkan komitmen dalam pembentukan good government dan reformasi birokrasi berjalan dengan baik. Penghargaan ini pun menunjukkan Jokowi yang bersama Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang menerima penghargaan serupa, sudah lebih baik dibandingkan kepala-kepala daerah lainnya.

Meksipun begitu, pria berkacamata ini melihat Jokowi tidak berbesar kepala dengan penghargaan yang diterimanya. Sebab, sejumlah bidang memang masih perlu pembenahan. Dia mencontohkan untuk kerja Pemkot dalam hal pengadaan barang dan jasa.
Menurutnya, untuk yang satu ini Pemkot masih belum sepenuhnya transparan seusai dengan amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik.

’’Saat ini masih ada SKPD yang melakukannya belum tersentralkan sebagaimana amanat undang-undang. Padahal, proses pengadaan barang dan jasa salah satu contoh tempat terjadinya korupsi,’’ tegas dia.
Sedikit menggelitik apa yang diutarakan budayawan Kota Solo Murti Jono.

Menurutnya, penghargaan antikorupsi BHAA yang diterima Jokowi tidak pas parameter-parameternya. ’’Kalau saya melihat di teve, paramaternya kenapa Jokowi menerima penghargaan itu karena keberhasilannya menata PKL sehingga berdampak meningkatnya PAD. Ini bagus, tapi paramaternya kok nggak nyambung,’’ kata Murti.

Namun Murti mengapresiasi tinggi penghargaan yang diterima Jokowi sebagai Kepala Daerah. Menurutnya , penghargaan ini jauh lebih bergengsi dibanding penghargaan lain seperti Piala Adipura atau penghargaan lainnya yang diberikan pemerintah.
’’Kalau ini diberikan oleh lembaga yang benar-benar independen. Jadi lebih bergengsilah,’’ imbuhnya. (Gading Persada, Aniek R Rosyidah-35)

CeRi

Cemas dan rindu
Membuncah menjadi satu
Perlahan bayangan itu meskipun samar
Terlihat di sudut kamar

Menemani dalam kesunyianku
Wanita malam, engkaukah itu?

Solo, 011110