Minggu, 31 Oktober 2010

Atas Nama Kemanusiaan

08.30... Rombongan relawan yang sebagian terdiri dari anggota PC PMII Solo dan KMK, berangkat dari Wisma Mahasiswa Surakarta dengan menaiki 2 mobil. Mobil pertama, mengangkut para relawan (11 orang) dan yang kedua berisi 3 relawan beserta barang-barang (sembako dsb) yang akan didistribusikan ke Posko pengungsian di daerah Boyolali-Muntilan. Rencana awal, berdasarkan 'maping' yang sudah dilakukan tim awal, ada 2 titik yang akan kami tuju, daerah Tlogo Mulyo (Boyolali) dan Sawangan (Kab. Magelang). Setelah melewati jalan Selo-Muntilan, rombongan langsung menuju ke titik yang pertama, Tlogo Mulyo. Meskipun sempat 'nyasar', namun akhirnya sampai juga di tempat yang kami tuju.

10.45... Di titik yang pertama ini, yang notabene termasuk dalam daerah KRB (Kondisi Rawan Bencana) 3, nampak suasana di kampung sudah sepi, hanya tersisa bapak-bapak dan para pemuda yang menjaga rumahnya masing-masing. Sedangkan para wanita dan anak-anak sudah diungsikan ke daerah KRB 4, di daerah bawah. Setelah bertemu dengan Bapak (?), kami dibantu 2 petugas SAR yang ada di situ, menurunkan barang-barang yang sudah kami beri tanda 'B'. Selesai semua, kami langsung pamit untuk bergerak lagi ke tujuan yang kedua.

12.00... Untuk menuju ke pos yang kedua yang letaknya berada di bawah, jalan yang kami tempuh di sepanjang jalannya hampir semuanya 'hijau' dan sejuk di mata. Aku berpindah bersama Joko dan Sigit, di belakang mobil bak terbuka, yang sebagian isinya sudah diturunkan. Joko bercerita, dulu pernah ketika dia naik di mobil bak terbuka seperti ini, hampir saja ia jatuh karena penutup di bagian belakang terbuka. Tapi untungnya waktu itu, katanya, mobil berjalan pelan, jadi dia tidak sampai jatuh ke jalan.



12.30... Sekitar setengah jam perjalanan, kami menghampiri posko pengungsian yang terletak di tengah lapangan, namun bukan pos ini yang kami tuju, lanjut lagi kami pun sampai di pos yang kedua. Dari pintu masuk aku baca 'plang'nya: "SMP Sawangan" (Muntilan). Temanku ada yang nyletuk: "waduh sekolah kok dijadikan tempat pengungsian, padahal kondisinya belum terlalu darurat di daerah ini (KBR 4), kasihan kalau harus mengorbankan KBM". (Ya sudahlah, namanya aja kondisi darurat, kataku dalam hati :) Memang, kalau aku bandingkan, sangat berbeda kondisinya dengan titik yang pertama, karena di sini menjadi tempat (pusat) pengungsian warga dari berbagai desa setempat. Ruang kelas disulap menjadi tempat istirahat, ruang kantor menjadi gudang logistik, di dalam mushola juga kulihat ada adik bayi yang sedang tertidur pulas di samping ibunya. Hujan yang turun bersamaan dengan kedatangan kami, menambah dingin hawa di daerah tersebut. Selesai kami menurunkan, kami tidak langsung pulang, beberapa teman-teman ada yang ingin melihat maupun mengetahui kondisi para pengungsi (atau foto2?? ^^). Rencana setelah ini, kami akan mengambil bantuan yang ada di Muntilan kemudian mendistribusikan kembali ke sini. Namun setelah kami rembug, mengingat mobil yang disewa ini terbatas waktunya, maka kami memutuskan untuk langsung pulang ke Solo.


Foto: Suasana Kota Jogja pasca hujan abu (foto diam

13.50 melewati Muntilan-Salam-Sleman-Jogja. Mulai masuk daerah Sleman-Jogja, bekas hujan abu kemarin masih nampak, di pinggir jalan masih terlihat putih, pun dengan atap rumah daun di pepohonan, semua nampak tertutup debu. Lebih parah lagi, ketika kami melewati ring road utara, melintasi Jl Kaliurang, debu masih menghiasi pemandangan Kota. Jogja seperti bukan kota yang aku kenal. Para pengendara motor mesti memakai masker agar tidak terganggu pernapasannya. Sampai di perbatasan Jogja-Klaten, rombongan beristirahat di sebuah Warung Bakso Jepang. Maknyusss pokoe lah...

15.42 Rombongan sampai di Wisma Mahasiswa Surakarta, Kestalan (Belakang RRI)

Rabu, 27 Oktober 2010

Doa-ku untuk 3 M (Mentawai, Merapi, Maridjan)...


Belum reda duka yang menimpa belahan timur Nusantara, dalam waktu yang beruntun, kabar serupa kembali terdengar dari berbagai penjuru nusantara. Mentawai yang digoyang gempa dan dihantam tsunami, menyusul Merapi yang kembali bergejolak, awan panas atau yang biasa dikenal dengan 'wedhus gembel' yang keluar dari dalam, menerjang pemukiman penduduk dan menelan korban jiwa.

Terserah kita mau menafsirkan apa gerangan yang menjadi penyebab semua ini, adzab-kah? kesalahan manusia-kah yang semena-mena terhadap alam? kesalahan pemerintah yang kurang tanggap bencana? dll. Tapi yang pasti, di setiap bencana ada duka di sana, pun ada hikmah yang tersembunyi di baliknya, tergantung bagaimana perspektif kita terhadapnya.

Mbah Maridjan, sang 'juru kunci' Gunung Merapi, yang berakhir hidupnya di sana jua, membuktikan sendiri hal itu. Bagi mereka yang ditinggalkan, menjadi perasaan duka dan kehilangan. Tapi sebaliknya, bagi beliau mungkin itu adalah hikmah dan kebahagiaan, ketika beliau dicabut ruhnya dalam keadaan sujud (sholat), posisi puncak kehambaan seorang abd kepada sang Ma'bud. wallahu a'lam bi shawab. untuk segenap korban yang meninggal, allahummaghfirlahum, warchamhum, wa'afihi wa'fu 'anhum..