Rabu, 30 Desember 2009

Gus Dur In Memoriam


Aku kehabisan kata-kata untuk melukiskan jasa-jasa beliau... ^^

Pro-Kontra tentang beliau itu hal wajar. Bagi orang besar pasti punya banyak kawan juga lawan, yang menyukai dan yang membenci.

Senin, 21 Desember 2009

Fosminsa di SOLOPOS FM


Laweyan (Espos)

Untuk mempercepat pemberantasan kemiskian di Kota Solo diperlukan sinergi yang kuat dengan sektor lain di luar sektor ekonomi. Upaya itu harus disertai dengan adanya master plan pemberantasan kemiskinan di daerah. Demikian antara lain hasil dari Talkshow Empat Hari Penanggulangan Kemiskinan yang diselenggarakan Forum Silaturahmi dan Studi Warga Nahdlatul Ulama Surakarta (FOSMINSA), digelar Rabu (16/12) pukul 10.05–11.00 WIB dan Kamis (17/12) hingga Sabtu (20/12) pukul 16.05-17.00 WIB di Studio SOLOPOS FM.

Perbincangan tersebut bertujuan untuk menghimpun dan memberi masukan, serta membuat evaluasi tentang penanggulangan kemiskinan di Kota Solo. Selain itu, dibahas pula sejumlah program pemerintah baik di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberantasan kemiskinan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo Tahun Anggaran 2010.
Perbincangan yang mengundang berbagai instansi di lingkungan Pemkot Solo, akademisi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini, terselenggara atas dukungan Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro) Surakarta dan The Asian Foundation. - ary/SPFM

Sabtu, 19 Desember 2009

Antara Malang-Solo


Suasana sesak dengan penumpang yang berjubel (dengan berbagai posisi )dan pedagang asongan yang hilir mudik setiap saat, menjadi gambaran suasana yang khas ketika kita tengah berada di dalam kereta api kelas ekonomi. Disitulah, ‘jiwa konsumerisme’ kita akan digoda setiap saat oleh para penjaja dagangan yang setiap saat lewat. Tak jarang, uang yang dikeluarkan untuk ‘belanja di dalam kereta’ (mungkin) melebihi biaya untuk membeli tiket kereta itu sendiri. Tapi, justru itulah yang menjadi ‘keunikan’ naik kereta api kelas ekonomi, yang menawarkan fasilitas ‘tiket murah’ (bayangkan saja harga tiket perjalanan Solo-Bandung hanya Rp. 27 ribu, atau Solo-Jakarta Rp. 38 ribu), fasilitas ‘belanja’ dalam kereta, fasilitas ‘sedekah langsung’ untuk para pengemis plus para pencopet yang senantiasa setia mengawasi kelengahan korbannya. ^^

Ada cerita tentang pedagang asongan dalam kereta ini, ketika itu dalam perjalanan kereta api kelas ekonomi Malang-Solo, Gajayana, seorang pedagang asongan yang sedang menjajakan brem (jajanan khas Madiun) kepada seorang ibu yang duduk di depanku. (mau tidak mau) Aku mendengar percakapan mereka,

“Bu, murah2 bu, ada Brem, wajik dll silahkan dipilih bu ”

regane piro mas (harganya berapa mas)” Tanya ibu tersebut yang aku perhatikan, dari penampilan pakaian dsb. sepertinya orang berduit.

“yang bungkus besar 25 ribu, yang bungkus kecil 17 ribu”

Yo wis, aku tuku sing gede tapi dikei rego 15 ewu yo (ya sudah, aku beli yang besar tapi dikasih harga 15 ribu” tawar si ibu

wah, mboten saget bu, niku nggo nyetor kalian bose mawon dereng cukup (wah, g bisa bu, itu untuk setoran ke bos saja belum cukup)”

Setelah terjadi transaksi yang cukup melelahkan, dan tidak jua mendapat titik temu harga, itupun si pedagang wis direwangi bolak-balik dating-pergi-datang lagi ke ibu tadi, sampai akhirnya pedagang itupun berseloroh

bu, bu, njenengan iku nek tuku ten mall nopo supermarket mawon, sing regane larang2 kae, yo ora pernah ditawar, lha aku sing paling golek bathi mung 500 opo 1000 ae ndadak dinyang terus bu… (bu, bu, anda kalau belanja di mall atau supermarket, yang harganya mahal-mahal itu juga gak pernah ditawar, lha sama saya yang hanya ingin mencari untung hanya 500 atau 100 saja kok masih ditawar terus” ujar pedagang asongan tersebut, lalu pergi meninggalkan si ibu yang masih terbengong-bengong (entah karena antara malu atau kesal) setelah mendengar ucapan tadi.

Sementara aku langsung mengalihkan perhatian ke luar jendela. Kereta yang perlahan mulai berjalan pelan masuk ke dalam sebuah kota. Aku melihat plakat tulisan KEDIRI di stasiun. Ow, ternyata sudah sampai di Kediri…

PENGARUH ISLAM TERHADAP ILMU PENGETAHUAN: “MENGGALI KEMBALI FALSAFAH HIDUP ISLAM DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN”*

*JUARA III LOMBA ESAI SKI FK UNS 2009

Pengantar
Umat islam saat ini sedang mengalami kondisi yang tepuruk dan terbelakang. Masalah yang dihadapi sangat kompleks, dan penyebabnya muncul dari berbagai hal baik dari dalam umat islam sendiri, maupun akibat pengaruh dari luar. Kebodohan, kemiskinan, penindasan yang menimpa umat muslim diberbagai penjuru dunia, hanyalah segelintir dari berbagai masalah yang ada.
Pada kenyataannya, Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim, masih tergolong dalam kelompok negara berkembang bahkan miskin. Sehingga orientasi untuk mengembangkan pengetahuan, masih ‘dikesampingkan’ untuk menyelesaikan masalah yang berkutat pada soal kemiskinan, pengangguran, kelaparan, dan sebagainya. Ironisnya, negara muslim yang bisa dikategorikan ‘kaya’, belum bisa berbuat banyak untuk menolong saudara mereka di negara lain.
Dalam konteks pengembangan sains misalnya, umat islam selama beberapa dasawarsa hanya sukses menghasilkan beberapa orang peraih hadiah nobel. Dalam konteks yang lebih luas, kalau bangsa-bangsa lain sudah berhasil membangun stasiun luar angkasa dan sudah berfikir tentang bagaimana mengirimkan pesawat ruang angkasa berawak ke Mars, umat kita masih sibuk untuk menyelesaikan problem yang semestinya sudah tidak perlu lagi dipersoalkan.
Padahal kalau kita menilik sejarah, para pemikir islam di zaman keemasannya pernah menorehkan tinta emas, yang pengaruhnya masih bisa kita rasakan hingga detik ini. Sebut saja Jabir bin Hayyan (aljabar) seorang pakar kimia dan ilmu matematika. lalu ada Ibnu Siena, (980-1037 M), sang ahli kedokteran yang dikenal sebagai Avicenna di Barat. Kemudian generasi berikutnya memunculkan nama Imam Ghazali, seorang ahli teologi dan ilmu kalam, juga ada Ibnu Rusyd (1126-1198 M) seorang pakar filsuf dan Ibnu Khaldun seorang sejarawan dan sosiolog yang ternama.
Nama-nama besar di atas, menjadi masyhur tidak hanya di kalangan umat islam saja, tapi juga dikenal oleh orang non-islam sekalipun. Sumbangsih pemikiran-pemikiran mereka yang luar biasa, ikut memberikan pengaruh dan kontribusi terhadap majunya peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dan pada zaman keemasan itulah, kontribusi para pemikir islam terhadap ilmu pengetahuan begitu besar pengaruhnya.

Pengaruh Pemikir Islam di Masa Lampau
Pengaruh pemikiran mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu begitu besar, terbukti dari banyaknya hasil buah pemikiran mereka yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan dijadikan rujukan oleh sekolah-sekolah tinggi di Eropa. Ajaran falsafah Ibnu Siena dan Ibnu Rusyd bahkan sempat mendominasi jalan pemikiran Barat di akhir abad ke 17 M. pemikiran mereka disejajarkan dengan pemikiran Barat yang saat itu didominasi falsafah Augutianisme yang dipelopori St. Bonaventure, dan falsafah Aristotelianisme yang dipelopori St. Thomas Aquinas.
Dalam bidang kedokteran misalnya, ketika Eropa masih dilanda zaman kegelapan dan begitu banyak penyakit yang menjangkit masyarakat seperti TBC, lepra, dan pes yang belum mampu ditemukan obatnya. Di kalangan umat islam, sudah muncul para ahli yang mulai menyelidiki penyakit-penyakit yang dikategorikan menular dan sudah mulai mencari obatnya. Buku karangan Ibnu Siena yang bernama “Al Qanun fit Thibb” mempunyai pengaruh yang besar dalam kemajuan kedokteran.
Di bidang lain pun semisal di bidang ilmu Matematika, lewat pemikiran dari Jabir bin Hayyan, yang kemudian memperkenalkan ilmu aljabar dan kemudian berkembang kepada ilmu matematika. Di bidang geografi, ada Abu Obayd al-Bakriy dan Idrisiy yang mampu membuat peta dunia, yang kemudian menjadi rujukan para pelayar dunia semisal Columbus, sang penemu benua Amerika. Di bidang lain seperti kimia, geologi, bahkan angkasa luar. Saat itu, para peneliti islam sudah selangkah lebih maju dibanding bangsa Barat sekalipun.
Sayangnya semua kejayaan yang telah dibangun, seiring dengan ekspansi yang dilakukan oleh umat islam pada waktu itu ke beberapa Kota dan Negara di Eropa, akhirnya menjadi hancur justru karena perselisihan diantara umat islam sendiri. Perang saudara dan perebutan tahta kekhalifahan akhirnya membuat umat islam menajdi lemah dan lengah. Puncaknya ketika pada masa kekhalifahan Abbasiyah, akibat serbuan bangsa Mongol, pusat pemerintahan waktu itu kota Baghdad dapat dihancurkan, pun dengan buku-buku (simbol peradaban dan pengetahuan) juga turut dihancurkan.
Meninggalnya para ulama, ilmuwan ditambah dengan musnahnya buku-buku penting, menjadi awal dari kemunduran umat islam, khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Yang lebih memprihatinkan, banyak catatan, manuskrip, dan naskah penting milik umat islam yang hilang kemudian muncul kembali dan diklaim sebagai hasil pemikiran orang Barat. Ironis memang, kemajuan peradaban dan pemikiran umat islam harus berakhir seperti itu.
Hal itulah yang menjadi salah satu tantangan kita sebagai generasi muda islam saat ini, untuk kembali meraih kejayaan itu. Kita bukan hanya sekedar mengenang romantisme kejayaan peradaban dan para pemikir islam di masa lampau, namun juga berusaha mewujudkannya. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara kita mewujudkan hal ini ditengah keterpurukan dan keterbelakangan yang terjadi dalam umat islam saat ini? atau adakah konsep yang ideal untuk mewujudkannya?

Menggali Kembali Falsafah Hidup Islam:”Membentuk Generasi Ulu al-Abab”
Keterpurukan dan keterbelakangan umat islam saat ini memang disebabkan oleh banyak faktor. Tetapi sebenarnya, akar dari berbagai persoalan yang menimpa umat islam itu tidak lain disebabkan karena kurang dihayatinya persoalan falsafah hidup (world view) umat islam.
Selama ini, kita seringkali menyaksikan umat islam sedemikian bangganya ketika mengikuti falsafah yang dikembangakan oleh Barat. Padahal, umat islam semestinya menjalankan kehidupannya berpijak pada falsafah hidup bersumber dari al-Quran dan al-Hadist. Jauh-jauh hari Nabi saw telah menjanjikan bahwa umat islam dijamin tidak akan tersesat dalam kehidupannya selama mereka tetap berpegang teguh pada dua sumber tersebut. Umat islam saat ini telah banyak salah jalan karena mengabaikan dan jauh dari pedoman islam: al-Qur’an dan al-Hadist.
Pengetahuan yang semestinya bisa kita gali dari kedua pedoman tersebut, seringkali kita abaikan. Ironisnya, justru orang-orang dari luar umat islam lah yang banyak mendapatkan ide-ide dasar pemikiran dan penemuan baru, yang itu semua sebetulnya terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Para pemikir islam di masa lampau, bisa mendapatkan gagasan dan penemuan baru, karena mereka sadar betul bahwa sumber semua ilmu pengetahuan, tersirat dalam al-Qur’an.
Karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan merupakan alat bagi manusia untuk mengenal kebesaran Allah SWT. Dengan pengetahuan itulah manusia menjadi lebih mengenal Tuhannya dan menyadari akan kelemahannya. Dalam al-Qur’an lah terdapat banyak tanda-tanda (ilmu pengetahuan) daripada kebesaran dan kekuasaan Allah SWT tersebut. Tentu saja tanda-tanda tersebut belum bisa kita manfaatkan, manakala hanya kita yakini tetapi tidak kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam surat ar-Rahman Allah berfirman yang artinya:”Hai Manusia dan Jin, sekiranya kamu mampu menembus langit dan bumi maka tembuslah, dan kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan sulthon (ilmu pengetahuan).”
Dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah mengingatkan kepada kita, mustahil bagi kita untuk bisa ‘menaklukkan’ alam ini, tanpa bekal ilmu pengetahuan yang kita miliki. Dalam ayat lain juga disebutkan:”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan dalam pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. al-Imran:190). Kalimat terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, makin mengukuhkan bahwa hanya orang yang berakal (berilmu), yang bisa membaca tanda-tanda itu.
Sosok manusia yang disebut dalam QS. Al-Imran:190 di atas disebut juga ulu al-albab. Ulu al-albab adalah orang yang mengedepankan dzikir, fikir, dan amal saleh. Ia memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan sebenar-benarnya perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadirannya di muka bumi sebagai pemimpin (khalifah fi al-ardh) menegakkan yang hak dan menjauhi kebatilan.
Identitas ulu al-albab ini dapat dibentuk lewat proses pendidikan yang dipola sedemikian rupa. Pola pendidikan yang dimaksudkan itu ialah pendidikan yang mampu membangun iklim yang dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya dzikir, fikir dan amal shaleh. Pendidikan ulu al-albab mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan maksud sebagai upaya mendekatkan diri dan memperoleh ridha Allah SWT.
Dzikir, fikir, dan amal shaleh dipandang sebagai satu kesatuan utuh. Dzikir merupakan sarana bagi seseorang untuk mendekatkan diri kepada sang khalik. Pendidikan fikir dilakukan di untuk mempertajam nalar atau pikiran. Pendekatan yang dikembangkan lebih berupa pemberian tanggung jawab kepada seseorang untuk mengembangkan keilmuannya secara mandiri, dan tentunya dengan bimbingan seorang guru yang berkompeten dalam keilmuannya.
Metode ini banyak kita temukan dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an banyak sekali menggunakan formula kalimat bertanya dan perintah untuk mencari sendiri, seperti: Apakah tidak kau pikirkan? Apakah tidak kau perhatikan? Apakah tidak kau lihat? Dan sebagainya. Formula kalimat bertanya semacam itu melahirkan inspirasi dan pemahaman bahwa memikirkan, memperhatikan dan melihat sendiri, seharusnya dijadikan kata kunci dalam pilihan pendekatan belajar untuk memperluas ilmu pengetahuan. Sedangkan amal shaleh, ini terkait dengan pengabdian dan profesionalitas. Dengan konsep ini, ilmu pengetahuan yang telah kita dapat, bisa bermanfaat baik untuk diri kita sendiri maupun untuk kemaslahatan untuk orang banyak.
Apabila ketiga konsep ini bisa dijalankan dan dibentuk dengan ideal, niscaya akan terbentuk generasi ulu al-albab, yaitu generasi islam yang memiliki sifat progresif, intelektual, kritis, peka terhadap lingkungan dan yang penting mereka tetap berpegang pada al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup mereka. Hampir serupa dengan karakter pemikir islam di masa keemasannya yang memiliki karakter yang hampir sama.
Dan bila kita kembalikan pada permasalahan keterpurukan, keterbelakangan dan masalah yang begitu kompleks yang dialami umat muslim saat ini. Konsep pendidikan ulu al-albab ini hendak menawarkan kepada kita sebuah generasi yang nantinya diharapkan, menjadi intelektual muslim yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran-pemikiran baru baik bagi umat islam khususnya maupun untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban dunia pada umumnya.

Penutup
Sebagai sebuah konsep awal, pola pendidikan ulu al-albab ini masih memerlukan pengujian yang seksama. Sebab konsep ini disusun semata-mata didasarkan atas pandangan-pandangan yang lebih bersifat idealis, yang bisa jadi jauh dari kebutuhan nyata atau aspirasi masyarakat yang sedang berkembang.
Sebuah konsep dapat dijalankan dengan baik dan maksimal jika ada kesesuaian dengan kekuatan dan kenyataan di lapangan. Sementara dalam realitasnya akhir-akhir ini masyarakat sedang dilanda oleh budaya ekonomi kapitalistik yang serba menuntut keuntungan besar dan cepat dari usaha dan modal yang serendah-rendahnnya. Jika ungkapan tersebut betul, maka konsep ini sangat kontradiktif dengan budaya masyarakat yang berkembang saat ini.
Akan tetapi, sadar akan fenomena kualitas pendidikan yang semakin hari tidak menunjukkan kemajuan, bahkan cenderung merosot, maka konsep diharapkan, sekalipun mungkin dinilai bersifat utopis, menjadi bukti bahwa ternyata masih ada sebagian masyarakat yang benar-benar menaruh keprahatinan yang amat mendalam tentang pendidikan kita selama ini.
Dalam bidang pengembangan keilmuan, kita bersyukur bahwa pada saat ini banyak para pemikir Muslim yang mencoba kembali berpijak pada falsafah hidup islam. Para pemikir muslim membangun paradigma keilmuan keislaman berbasiskan nilai-nilai tauhid yang digali dari al-Qur’an dan al-Hadist. Pemikiran tersebut muncul disebabkan berkembangnya paradigma dikotomi keilmuan yang selama ini dianggap telah ikut andil dalam menciptakan polarisasi pemikiran dan konstruksi keilmuan yang berdampak pada mundurnya peradaban islam.
Pandangan dikotomi ini harus diubah dan diakhiri. Pandangan dikotomi keilmuan selain bertentangan dengan semangat tauhid dan prinsip universalitas islam dalam kenyataannya juga telah mengebiri kreatifitas serta berperan dalam menciptakan split personality dalam diri umat islam., didasarkan pada pemikiran untuk memberikan kontribusi dalam menciptakan sumberdaya manusia yang kaffah dan tidak terpecah.

*Penulis adalah Mahasiswa FE UNS Jurusan Ekonomi Pembangunan


Referensi:
- al-Qur’an
- Armstrong, Karen. 2002. Islam: A Short History. New York
- Abidin, Zainal. 1974. Ibnu Siena: Sarjana dan Filosoof Besar Dunia. Jakarta

Selasa, 15 Desember 2009

Gie, Hari ini 40 Tahun Lalu


(detikcom - Rabu, 16 Desember 2009)

16 Desember 1969, sosok itu meregang nyawa. Gas beracun dari puncak gunung tertinggi di pulau Jawa mengakhiri hidupnya, sekaligus mengabulkan kebahagiannya untuk mati muda.

"Seorang filsuf Yunani pernah menulis... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda," itulah kata-kata yang ditulis pemuda itu di buku hariannya.

Pemuda itu, Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66, salah satu tokoh pergerakan mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Lewat aksi-aksinya, Gie ikut berperan menumbangkan Orde Lama, namun Gie tidak lantas mau mendukung pemerintahan Orde Baru.

Tulisan-tulisan Gie kritis menentang kebijakan Orde Baru. Gie bahkan sempat menyindir teman-temannya, sesama angkatan 66 yang duduk di DPR GR. Dia menghadiahi bedak dan pupur agar para aktivis itu bisa berdandan sehingga kelihatan lebih 'cantik' di depan penguasa.

Gie lebih betah menulis daripada duduk manis sebagai anggota dewan. Idealismenya memang sulit dikalahkan. Penyuka lagu Donna Donna ini lebih memilih naik gunung daripada berpolitik praktis.

Gie mencintai gunung dan alam bebas. Puisi-puisinya banyak berkisah tentang kecintaannya terhadap pendakian gunung. Di puncak gunung juga akhirnya salah satu pendiri Mapala UI ini menghadap penciptanya. Di tengah kabut tebal puncak Gunung Semeru, Gie tewas tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-27.

Kisah hidup Soe Hok Gie diangkat ke layar lebar oleh sutradara Riri Riza. Aktor Nicholas Saputra menjadi pemeran Gie. Film ini mendapat Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2005.

Buku 'Catatan Seorang Demonstran' yang diangkat dari buku harian Gie, masih mengilhami para mahasiswa dan aktivis untuk memperjuangkan cita-cita mereka. Para pendaki gunung juga masih mengingat pandangan Gie soal nasionalisme.

"Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung," ujar Gie kala itu.

Hingga hari ini, kata-kata itu masih tetap diingat. Hari ini, tepat 40 tahun lalu Soe Hok Gie meninggal.

tukang parkir naik haji


Ada sebuah kisah (nyata) menarik dan (mungkin) patut menjadi renungan bagi kita semua, yang saya dapatkan sewaktu silaturahmi kepada seorang dosen. Kebetulan, kakak beliau yang beberapa hari sebelumnya baru saja pulang haji juga ikut menemani kami ngobrol. Beliau kemudian bercerita tentang kisah perjalanan hajinya, dan yang menarik justru ketika di mengemukakan alasan ketika beliau hendak berhaji.

Sebelumnya, yang beliau ketahui, haji hanya wajib bagi mereka yang ‘mampu’ (baik secara kesehatan/kondisi tubuh, ongkos, dll) dan untuk mampu secara ‘ongkos’ pada awalnya, beliau (dan mungkin kita semua) juga berpikiran bahwa hanya mereka yang ‘kaya’ lah yang bisa dikategorikan ‘mampu’ secara ongkos. Memang ada benarnya, tapi ketika beliau mendapati kenyataan beliau mengerutkan kening, seorang tukang parkir yang rela menabung atau bisa dikatakan menyisihkan penghasilannya yang mungkin setiap harinya (sekarang) kurang lebihhanya Rp. 5000 untuk digunakan sebagai ongkos haji!!! Dan itu sudah berlangsung sejak tahun 1990-an sampai sekarang.

Ya Allah… kalau kita berhitung, berapa ribu uang yang bisa ia sisihkan dari pendapatannya, bila dibandingkan kita (mungkin), yang mungkin lebih besar dari tukang parkir tadi. Tapi disitulah kebesaran Allah, ada niat ada jalan, mungkin ending-nya hampir sama dengan tukang becak, atau pemulung yang akhirnya bisa naik haji. Tapi lihatlah bagaimana usaha yang dilakukan tukang parkir tersebut.

Kalau kita mau merenung, berapa uang yang kita habiskan sehari-hari, entah itu untuk beli rokok? (bagi yang merokok), pakaian atau sepatu baru? Mobil atau cicilan motor? Kita begitu rela menabung untuk mendapatkan semua itu. Apakah panggilan Allah kepada kita… labbaik allhumma labbaik… bahkan sejak beribu tahun lalu, kita abaikan begitu saja. Seperti orang yang mau sholat, tapi dia tidak mau berwudhu. Bagaimana orang bisa ‘mampu’ untuk berhaji, kalau tidak ada usaha untuk menabung (dari sekarang). Jadi, ayo kita mulai dari sekarang (tidak ada kata terlambat) untuk mewujudkannya, usaha dan tawakkal, perkara usaha kita akhirnya berakhir (entah karena ajal telah mendahului usaha kita), kita pasrahkan pada Allah semata, yang penting ada usaha dulu dari kita, entah sekecil apapun usaha itu, Ayo, kita mulai dari sekarang!!! ^^

Rabu, 09 Desember 2009

Diskusi dan Bedah Buku


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Kentingan bekerjasama dengan HIMPROBSI FKIP UNS dan penerbit buku i:boekoe, mengadakan acara diskusi dan bedah buku “Para Penggila Buku: Seratus Catatan di Balik Buku”, Rabu (9/12) Pukul 08.00 di Ruang Sidang Gedung A FKIP UNS. Acara ini menghadirkan penulis buku tersebut, Muhidin M Dahlan dan Diana AV Sasa, serta pembicara dari FSSR UNS, Drs. Sudharmono, SU. Diskusi yang bertemakan “Memilih Menjadi Penulis” ini, dimaksudkan untuk menstimulus generasi muda agar lebih terpacu dalam budaya tulis-menulis.

tidak hadirnya Pak Dhar yang tengah sakit, tidak menurunkan antusias para peserta diskusi untuk mengikuti acara sampai selesai. overall.. lumayan ^^

Senin, 07 Desember 2009

Tak Ditemukan di RAPBD 2010 Anggaran Sektor PKL Dipertanyakan

(KARANGASEM (Joglosemar): Tidak munculnya anggaran untuk sektor pedagang kaki lima (PKL) dalam draf Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) dipertanyakan. Pasalnya jumlah PKL di Kota Solo tergolong sangat besar yakni mencapai lebih dari 3.000 orang.
“Sejak tahun 2007, Pemkot telah menganggarkan sejumlah dana. Namun peruntukannya bukan untuk melaksanakan Perda No 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan PKL. Dalam RAPBD Tahun 2010, kami justru tidak menemukan alokasi anggaran untuk sektor PKL,” terang Koordinator Forum Silaturahmi dan Studi Warga NU Kota Surakarta (Fosminsa), Ajie Najmudin di Gedung Dewan, kemarin.
Dipaparkan, keberadaan PKL yang jumlahnya cukup besar ini perlu mendapatkan perhatian. Sebab keberadaan mereka dinilai juga ikut berpartisipasi dalam menggerakkan perekonomian lokal. Oleh karena itu dalam audiensi dengan Komisi III disampaikan rekomendasi di antaranya perlunya sosialisasi Perda No 3 Tahun 2008.
Selain itu juga disarankan program penyusunan data base PKL guna menginventarisasi jumlah secara valid. “Program pemberdayaan dan pemetaan usaha bagi PKL juga sangat dibutuhkan,” jelas dia.
Ketua Komisi III, Honda Hendarto dalam acara audiensi dengan Fosminsa mengatakan, menerima dengan terbuka terkait masukan tersebut. Hanya saja permasalahan pengalokasian anggaran berdasarkan mekanisme yang ada harus melalui tahapan Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).
“Bisa saya jelaskan mekanisme pengalokasian anggaran harus melalui KUA-PPAS yang diusulkan Pemkot. Kami sebenarnya cukup menyayangkan hal ini. Namun aspirasi yang disampaikan ini tetap akan menjadi bahan dokumentasi kami,” terang dia.
Diungkapkan Honda, sebenarnya dalam RAPBD 2010 anggaran untuk sektor PKL telah dianggarkan, yakni untuk program sosialisasi. Namun demikian jumlah anggaran memang cukup terbatas.
Menurut Honda, kondisi keuangan Pemkot untuk tahun anggaran 2010 tergolong terbatas. Hal ini disebabkan adanya penurunan penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Pemerintah Pusat. (cka)

Sabtu, 05 Desember 2009

Anggaran tak ada, Fosminsa datangi Dewan: solopos.co.id


Forum silaturahmi dan studi warga NU Kota Surakarta (Fosminsa) memprotes tidak adanya anggaran untuk sektor pedagang kaki lima (PKL) dalam draf APBD 2010. Tujuh anggota Fosminsa, Jumat (4/12), pagi mendatangi Gedung Dewan menyampaikan aspirasi mereka terkait tidak adanya alokasi anggaran untuk sektor PKL tersebut. Koordinator bidang ekonomi Fosminsa, Ajie Najmudin mengatakan dua tahun lalu Pemerintah Kota (Pemkot) Solo telah menganggarkan sejumlah dana. Namun dalam RAPBD 2010, anggaran sektor PKL tidak ada. “Dalam RAPBD tahun 2010, kami tidak menemukan alokasi anggaran untuk sektor PKL, terang Ajie, saat bertemu dengan anggota Dewan dari Komisi I dan saat audiensi dengan Komisi III, Jumat. Anggaran yang ada, hanya dialokasikan untuk program pelayanan administrasi perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur. Anggaran lainnya, papar Ajie, untuk program peningkatan dan pengembangan pengelolaan keuangan daerah, dan juga untuk intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan daerah. Mereka khawatir bila tidak ada anggaran, akan berdampak pada upaya penataan PKL. Menanggapi aspirasi tersebut, Ketua Komisi III DPRD Solo, Honda Hendarto mengatakan ada mekanisme yang harus ditempuh dalam proses penyusunan anggaran dan juga penyampaian aspirasi. Terkait kedua hal itu, Komisi III menerima dan menampung aspirasi yang disampaikan. Sedangkan soal usulan alokasi anggaran untuk sektor PKL, Honda mengatakan bisa diupayakan dalam anggaran perubahan. * iik* (solopos.co.id)